Monday, July 17, 2006

Catatan Kritis Rencana Siaran Pendidikan
Oleh : Paulus Mujiran *)

Senin, 17 Juli 2006 Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) bersama TVRI untuk pertama kalinya menayangkan siaran pendidikan di TVRI. Praktiknya penyeragaman pendidikan melalui kebijakan berskala nasionla kembali terulang.

Belum usai kontroversi penyeragaman kelulusan melalui ritus ujian nasional (UN), pemerintah Depdiknas bekerja sama dengan TVRI menayangkan siaran pendidikan dari pukul 07.15 WIB – 09.30 WIB dan disiarkan ulang pukul 14.15 WIB – 16.30 WIB. Menurut Direktur Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Depdiknas Suyanto, siaran tersebut dimaksudkan untuk meningkatkan standar pendidikan nasional dan hasil kelulusan ujian nasional.

Untuk tahap pertama, program ditujukan sebatas SMP dan kelak akan diperluas untuk semua jenjang pendidikan. Materi difokuskan pada tiga mata pelajaran UN yakni matematika, bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Suyanto menegaskan program tersebut dikhususkan terutama bagi daerah di luar kota. Alasannya karena masih ada kesenjangan kualitas pendidikan di kabupaten dengan kota.

Tidak tanggung-tanggung biaya penyelenggaraan program mulai materi sampai pembelian perangkat televisi sebesar Rp 213,69 miliar. Pengadaan televisi masing-masing dua unit berukuran 30 inci dan bantuan diberikan melalui block grant disalurkan lewat provinsi.

Bagi sekolah, siaran pendidikan ini merupakan bentuk pemaksaan kedua kalinya setelah UN. Karena materi siaran adalah mata pelajaran yang di ujian-nasionalkan, bukan tidak mungkin sekolah diwajibkan mengikuti siaran yang diadakan pemerintah. Apalagi disediakan bantuan televisi, jadwal siaran dan petunjuk pelaksanaan siaran. Tidak saja mengandung krepotan, tetapi juga memaksa sekolah mengubah jadwal yang sudah direncanakan.

Pertama, penempatan jam tanyang ditempatkan pada jam-jam produktif sekolah. Pada jam pertama, kedua, dan ketiga biasanya ditempatkan mata pelajaran yang menuntut konsentrasi anak didik, apalagi disiarkan setiap hari pada Senin, Selasa, Rabu, Kamis. Selama ini sekolah sengaja menempatkan pelajaran olah raga dan pendidikan jasmani pada permulaan pelajaran dengan alas an kalau terlalu siang panas terik matahari. Apakah dengan demikian kegiatan olah raga dan pendidikan jasmani juga harus diadakan pada siang hari?

Belum begitu jelas apakah penempatan pada permulaan proses belajar mengajar agar anak didik mengikuti siaran tersebut dengan konsentrasi penuh? Mau tidak mau sekolah harus mengubah jadwal pelajaran dan menambah jam pelajaran lagi untuk menyesuaikan jam-jam yang terpaksa digeser karena harus mengikuti siaran pendidikan.

Kedua, belum jelas apakah siaran pendidikan tersebut ditayangkan dengan iklan atau tidak. Jika ditayangkan dengan iklan siaran tersebut menjadi berubah dengan tayangan komersial dengan rating cukup tinggi karena di tonton 28.378 pelajar SMP, belum lagi guru dan orang tuanya. Siaran tersebut tentu saja akan menggaet banyak pemasang iklan apalagi jika diwajibkan ditonton. Apakah pesan dalam iklan yang diselipkan dalam siaran pendidikan mendidik?

Ketiga, materi siaran pendidikan yang hanya materi UN sangat disayangkan. Perdebatan UN sudah ramai dipaparkan di media massa yang hanya mendidik anak didik menjadi berbudaya instant, tidak menghargai proses serta mengabaikan aspek-aspek afektif.

Dampak siaran pendidikan secara nasional memiliki dampak amat luas. Masalahnya adalah akan muncul kecenderungan budaya baru di kalangan pendidik dan anak didik. Yakni budaya pragmatis. Mereka cenderung memfavoritkan mata pelajaran yang disiarkan, apalagi kelak diujian-nasionalkan dan melupakan mata pelajaran lain. Mestinya karena siaran bersifat nasional, masalah budi pekerti, nilai-nilai kemanusiaan mendapat porsi seimbang dengan siaran mata pelajaran UN.

Sisaran berskala nasional menemui kendala lapangan. Pertama, soal jangkauan tayang TVRI. Sampai saat ini TVRI bila dibandingkan dengan televisi swasta nasional yang ada kualitas siaran jauh lebih buruk. Tayangan yang tidak jernih dan materi siaran yang dikemas membosankan menyebabkan TVRI cenderung ditinggalkan pemirsanya. Di Jakarta saja siaran TVRI tidak bisa diterima dengan jernih.

Di Semarang tidak ada bedanya. Bahkan di beberapa pelosok Jawa, TVRI hanya bisa diterima dengan antenna khusus dan parabola. Maka menyelenggarakan siaran pendidikan berskala nasional dengan menggandeng TVRI sangatlah diragukan mampu menjangkau seluruh pelosok Nusantara. Kecuali TVRI dan Depdiknas tidak hanya menyediakan televisi dan antena, tetapi juga stasiun relai tambahan sehingga jangkauan siaran semakin luas.

Kedua, apakah siaran nasional pendidikan tidak bertubrukan dengan muatan lokal dalam pendidikan yang kini kian ngetren sejalan dengan otonomi daerah dan otonomi pendidikan?

Jika tema-tema siaran tidak mewakili keseluruhan daerah atau hanya mengambil latar Jakarta, pasti akan ada kesenjangan. Muatan lokal mesti mendapatkan perhatian.

Ketiga, apakah sudah dipikirkan atau belum oleh Depdiknas bagaimana dengan sekolah yang mempunyai siswa ratusan, bahkan ribuan. Apakah menonton massal akan membantu mencerna isi siaran?

Dalam hemat saya, siaran pendidikan nasional yang akan ditayangkan perdana 17 Juli 2006 bersamaan dengan dimulainya tahun ajaran baru tidak akan berkontribusi langsung terhadap peningkatan standar pendidikan dan hasil kelulusan. Hingga kini yang belum terselesaikan adalah disparitas (kesenjangan) antar sekolah di berbagai daerah yang belum merata. Baik itu sarana-prasarana maupun tenaga pendidikan.

Selain itu, rendahnya anggaran pendidikan. Dengan anggaran yang ada sekarang ini mustahil peningkatan mutu pendidikan akan tercapai. Dari anggaran yang rendah bisa dijelaskan kualitas tenaga pengajar, kesejahteraan guru, dan penyediaan sarana prasarana pendukung pendidikan.

Depdiknas tidak bisa berkelit pada penyelenggaraan UN tahun depan dengan mengklaim sudah penyelenggarakan siaran pendidikan berskala nasional ketika polemik UN kembali mengemuka selama kendala-kendala itu belum dituntaskan. Seolah-olah dengan mengadakan siaran pendidikan, masalah standar pendidikan dan hasil kelulusan tercapai. Itu bukan sim salabim yang sekejap mengubah keadaan.

Meminjam kata Muchtar Buchori, penyelenggaraan siaran pendidikan melengkapi kebingungan pemerintah yang tidak mempunyai visi tegas pendidikan. Akibatnya kebijakan yang diambil selalu bersifat spekulasi, coba-coba dan eksperimen belaka. Kalau sudah ada visi tegas, tinggal merumuskan langkah bagaimana mencapai visi itu. Tragisnya, yang dijadikan kelinci percobaan adalah jutaan anak didik yang masa depanya masih sangat ditentukan pendidikan dan lingkungan. *) Paulus Mujiran, Pendidik, Ketua Pelaksana Yayasan Kesejahteraan Keluarga Soegijapranta. (Sumber Media Indonesia–Kamis,13 Juli 2006)

Bacaan Selanjutnya!
Pendidikan Kesopanan di Sekolah
Oleh : Ki Supriyoko *)
Akhir Juni lalu majalah The Reader's Digest mempublikasikan hasil studinya tentang kesopanan (courtesy study) pada masyarakat kota besar di 35 negara. Ribuan orang dijadikan subjek studi yang diamati perilaku kesopanannya oleh petugas yang telah terlatih tanpa sepengetahuan subjek studi yang bersangkutan.

Hasil studi tersebut menyatakan masyarakat New York (Amerika Serikat) menduduki peringkat pertama dalam hal kesopanan; menyusul kemudian peringkat kedua sampai dengan keempat adalah masyarakat Zurich (Swiss), Toronto (Kanada), dan Berlin (Jerman). Itu semua berada di Barat. Lalu bagaimana dengan Timur? Masyarakat Jakarta (Indonesia) hanya menduduki rangking ke-28 dari 35 kota (negara); sedangkan Seoul (Korea Selatan), Kuala Lumpur (Malaysia), dan Mumbai (India) masing-masing berada di rangking ke-32, ke-33, dank e-35.
Mengomentari temuan tersebut, utamanya tentang peringkat pertama yang dipegang oleh New York, maka Jennifer Harper dalam tulisannya Courtesy Study Gives N.Y. a Reason to Say Thank You di harian The Washington Time edisi 22 Juni 2006 menyatakan sesuatu yang mengagumkan telah terjadi di New York. Dengan mengutip data studi, ia menyatakan 19 dari setiap 20 penjaga toko akan mengucapkan terima kasih ketika Anda datang mengunjunginya.

Komentar seperti itu ditulis karena salah satu indicator kesopanan versi majalah tersebut adalah apakah penjual mengucapkan terima-kasih kepada pengunjungnya.

Mengejutkan kita

Sebagai bangsa yang peduli kesopanan, bisa jadi kita terkejut atas hasil studi tersebut. Benarkah bangsa Timur, utamanya Indonesia, yang oleh masyarakat dunia dikenal sebagai bangsa yang ramah dan sopan justru memiliki tingkat kesopanan yang jauh lebih rendah daripada bangsa Barat yang dikenal bebas dan individualistis. Benarkah kesopanan masyarakat Jakarta lebih rendah daripada New York.

Apakah tingkat "kesibukan" (crowd) kota selaku berkorelasi negative dengan tingkat kesopanan penduduknya? Rasanya tidak ! Jakarta dan New York jelas sama-sama sibuk, namun kesibukan New York jauh lebih tinggi dari Jakarta.

Menurut majalah News Week edisi 3 Juli 2006, New York dinobatkan sebagai salah satu dari sepuluh kota tersibuk dan termahal di dunia. Nyatanya masyarakat New York justru leih sopan daripada Jakarta.

Dengan tanpa mempermasalahkan ketepatan metodologinya, hasil studi tersebut sebaiknya kita terima untuk mengkritik masyarakat dan meningkatkan kesopanan dalam berperilaku. Adapun salah satu bentuk pengkritikan tersebut adalah menanamkan pendidikan kesopanan di kalangan siswa sekolah.

Pendidikan kesopanan di sekolah tersebut sangat penting di samping secara kuantitatif jumlah siswa di Indonesia sangat besar, sekitar 55 juta anak, juga perilaku sosial siswa di masyarakat sering kali dijadikan tolok ukur keberhasilan atau kegagalan pendidikan terhadap generasi muda kita. Pada sisi yang lain tingkat kesopanan perilaku siswa kita, utamanya di kota-kota besar, sedang mengalami degradasi. Sebagai contoh banyak siswa yang bersikap acuh tak acuh ketika berpapasan dengan guru, baik di sekolah maupun di luar sekolah.

Secara kasus perkasus, dalam beberapa tahun terakhir bahkan banyak oknum siswa kita yang melakukan pelanggaran serius terhadap asas kesopanan. Misalnya terlibat peredaran narkoba, melakukan pencurian barang berharga, dan melakukan hubungan seksual pranikah. Kasus-kasus seperti ini tidak saja terjadi di kota metropolis seperti Jakarta, Surabaya, dan Medan, tetapi juga di kota pendidikan seperti Yogyakarta, Malang, dan Bandung.

Banyaknya kasus penaggaran asas kesopanan tersebut antara lain disebabkan karena semakin miskinnya tokoh teladan di sekolah dan di masyarakat. Sekarang ini banyak guru yang bukan pendidik, melainkan sekadar pengajar. Di sisi lain di masyarakat banyak orang yang semula ditokohkan ternyata terbongkar kedoknya sebagai koruptor.

Realitas yang ada sekarang ini hampir seluruh sekolah di Indonesia tidak ada yang mengajarkan kesopanan secara formal, baik dalam bentuk mata aktivitas ekstrakurikuler maupun mata pelajaran intrakurikuler. Memang di Jakarta ada sekolah swasta yang mengangkat kesopanan (budi pekerti) sebagai mata pelajaran, namun ironisnya sekolah yang demikian itu justru dianggap melawan arus.

Belajar dari Amerika Serikat

Dalam upaya meningkatkan kesopanan berperilaku kita bisa balajar dari mana saja, termasuk dari AS. Masyarakat New York meraih level pertama dalam hal kesopanan versi majalah The Reader's Digest. Memang di AS juga relatif sedikit sekolah yang mengangkat kesopanan menjadi mata pelajaran, namun bukan berarti tidak ada sama sekali. Marryknoll High Scholl Hawai yang menjadi anggota Pan-Pacific Asscociation of Privet Education (PAPE) merupakan salah satu sekolah di AS yang menjadikan kesopanan sebagai mata pelajaran. Kepada sekolahnya, Andre W Corcoran, pernah mengajak diskusi saya mengenai masalah kesopanan ini.

Dari diskusi tersebut terkesan bahwa Andre kurang peduli terhadap orang tua yang sudah terlanjur melanggar asas kesopanan, namun sangat peduli terhadap generasi muda, utamanya siswa sekolah, supaya jangan sampai melanggar asas kesopanan.

Universitas di AS juga banyak yang menaruh perhatian terhadap kesopanan dengan meneliti, membuka program khusus, membuka kursus dan sebagainya. Katakan Kohns Hopkins University, California University (San Diego), dan University of Michigan. Di Universitas yang terakhir ini banyak guru besar pendidikan yang terlibat di dalamnya, antara lain Michael Nettles, Virginia Richardson, Valerie Lee, John Burkhardt, dan Karen Wixson.

Kursus kesopanan dan kuliah jarak jauhpun sekarang dapat diakses melalui internet, misalnya Lawrence Hinman's Course, San Diego, Web-CT, AICPA's Course, New Jersey. Ini semua adalah "gaya" orang AS untuk meningkatkan kesopanan berperilaku bagi masyarakat, utamanya anak sekolah.

Bagaimana cara kita belajar dari AS? Kita bisa membuka internet untuk mempelajari apa yang dilakukan, berpartisipasi dalam program yang diselenggarakan, atau dapat berkomunikasi langsung dengan para penyelenggaranya.
*) Ki Supriyoko, Ketua Tim Pengembangan Pendidikan Budi Pekerti.
(Sumber Media Indonesia–Kamis,13 Juli 2006)


Bacaan Selanjutnya!
Menyelamatkan Pendidikan Nasional
Oleh : Arief Rahman *)

Kontroversi ujian nasional (UN) pada dasarnya bermula dari keinginan pemerintah untuk menjadikan kebijakan tersebut sebagai evaluasi keberhasilan dan prestasi proses belajar-mengajar dari siswa selama di sekolah. Yakni, dengan menetapkan standar tunggall kelulusan pada tiga mata pelajaran yang diujikan, tanpa adanya ujian ulangan.

Kalau UN hanya ditujukan untuk mendapatkan peta prestasi akademik di tingkat sekolah menengah atas dan sekolah menengah pertama, hampir dapat dipastikan tidak akan menetaskan berita hangat di media massa sebagaimana yang terjadi sekarang ini. Misalnya, peserta didik yang tidak lulus UN berjuang agar Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) menyelenggarakan ujian ulangan seperti tahun ajaran 2004-2005. Berita lain, SMK Negeri I Cilegon diharuskan mengulan UN karena ditemukan bukti ada joki UN. Sejumlah kepada sekolah mengambil kebijakan sendiri dengan memberikan kelonggaran bagi siswa yang tidak lulus UN, tetapi memiliki catatan prestasi bagus selama ia sekoalh dan dinyatakan lulus. Dan, ada pula yang melampiaskan kekesalan dengan membakar sekolahnya sendiri.

Berita hangat diturunkan Media Indonesia antara 21 hingga 22 Juni 2006 adalah akibat pemerintah menjadikan UN sebagai factor penentu kelulusan siswa SMP dan SMA atau sederajat degan hanya menggunakan tiga mata pelajaran yang secara nasional diujikan. Padahal proses pembelajaran yang dilakukan di sekolah selama tiga tahun menjadi tidak terlalu berarti. Artinya jerih payah siswa selama tiga tahun direduksi ke dalam tiga mata pelajaran, yaitu bahasa Inggris, matematika dan bahasa Indonesia, dengan batasan skor minimal 4,26 bagi setiap mata pelajaran yang diujikan.

Jauh hari pemerintah memang telah menyosialisasikan bahwa untuk tahun ajaran 2005-2006 tidak akan diadakan UN seperti tahun sebelumnya, Rambu-rambu itu memang sedikit banyak telah menjadi pengarah yang memotivasi belajar para siswa untuk mencapai tujuan. Sejumlah sekolah terpicu meningkatkan kualitas pengajaran agar bisa mencapai prestasi 100% tingkat kelulusannya.

Dalam rangka mencapai tujuan itu banyak siswa ikut bimbingan belajar, baik yang diselenggarakan sekolah maupun pihak lain. Sekolah-sekolah membuat program untuk menunjang kualitas pengajaran di tiga bidang mata pelajaran yang akan diujikan. Ujung-ujungnya, secara financial, ujian nasional menjadi beban berat, baik bagi orang tua murid maupun pihak penyelenggara pendidikan itu sendiri.
*) Arif Rachman, Pakar Pendidikan Tinggal di Jakarta
(Sumber Media Indonesia – Senin, 3 Juli 2006)


Bacaan Selanjutnya!
Siswa Tumbal SPMB
Oleh : Haidar Aji Kalbuadi *)

"Tak Semua Siswa Pintar ada di bangku perkuliahan perguruan tinggi. Dan tidak semua yang duduk di bangku kuliah adalah siswa pintar"

Kata-kata itu sekarang seperti terngiang-ngiang di benak seluruh siswa dan orang tua siswa yang kini sedang bergulat menempuh seleksi penerimaan mahasiswa baru (SPMB).

Keampuhan kata-kata tersebut seperti dibuktikan di pentas dunia pendidikan Indonesia. Hasil ujian nasional telah memvonis sebagian siswa pintar terlempar dari peluang menerobos kursi perkuliahan.

Siswa yang tak lulus ujian nasional sekarang lebih "beruntung". Siswa yang tak lulus ujian boleh dibilang istimewa. Secara pandai, mereka memperjuangkan nasibnya bersama rekan sepenanggungan, sejumlah guru, dan elemen masyarakat lain, termasuk kalangan artis-selebritis.

Nyali besar para siswa tersebut mendapat sorotan, liputan, dan semangat berbagai media massa. Barekat liputan gencar dan keberanian luar biasa tersebut, ujian nasional lantas menjadi bahan bahasan pembawa makalah di berbagai seminar dan diskusi, menjadi editorial Koran-koran nasional, regional, dan local. Bahkan, menjadi cover berita majalah. Demikian pula, televise menghiasi layer kacanya dengan topic tayangan seputar sisi gelap ujian nasional.

Kehilangan Muka

Padahal, masih banyak siswa tak lulus ujian yang hanya berupa angka belaka. Mereka berakhir dalam caratan statistic persentase siswa tak lulus ujian nasional. Tidak tampak ratapan, isak tangis, dan raungan siswa. Mereka tak tampak berdemontrasi, tak ada protes, tak ada solidaritas-solidaritasan. Meski secara eksterm, ada pula siswa yang meluapkan amarah kekecewaan dengan mencoba membakar sekolahnya sendiri.

Kesemuanya itu membuat pemerintah melalui Mendiknas tampak kalang kabut. Sebab, secara berduyun-duyun kalangan politisi yang berada di parlemen ikut mendesak pemerintah agar mau melakukan ujian nasional susulan. Akhirnya, setelah bergeming, pemerintah memberikan semacam opsi kelonggaran dengan menawarkan ujian Paket C.

Penawaran itu dapat dipahami dalam kerangka menjaga agar semua pihak baik yang pro maupun yang kontra penyelenggaraan ujian nasional susulan, tidak kehilangan muka (loosing face).

Bila tidak ada ujian Paket C, betapa besar jumlah siswa yang menjadi tumbal SPMB tahun ini. Siswa menjadi tumbal secara bertingkat. Pada level pertama, siswa telah menjadi korban kebijakan pemerintah menjadikan ujian nasional sebagai factor penentu kelulusan siswa SMA atau sederajat dengan hanya mengunakan tiga mata pelajaran yang secara nasional diujikan.

Padahal, semua mafhum, aktifitas belajar-mengajar yang dilaksanakan di sekolah selama tiga tahun menjadi tidak berarti sama sekali. Maknanya, kerja keras memeras keringat dan mengasah otak selama tiga tahun direduksi atau dikonversi ke dalam tiga mata pelajaran, yakni bahasa Indonesia, bahasa Inggris, dan matematika. Batasan skor (passing grade) minimal kelulusan 4,26 bagi setiap mata pelajaran yang diujikan.

Martir

Hebohnya ujian nasional tahun ini menjadi special karena ia tiba-tiba seakan menjadi martir dari pembenahan dan penyelamatan dunia pendidikan nsional atas kekeliruan dan "kebandelan" pemerintah. Ketidak-lulusan siswa menjadi istimewa krena tak hanya disikapi dengan janji-janji manis, tapi mengharuskan menteri pendidikan dan jajarannya memberikan solusi cepat mengatasi siswa pintar, tapi nasibnya tidak bersinar terang.

Selain itu, aparat kementerian pendidikan harus merampungkan sejumlah kasus pelanggaran pelaksanaan ujian, semacam perjokian, bocoran jawaban, maupun sejenisnya di beberapa daerah.

Ketidak-lulusan siswa dalam ujian nasional menjadi tambah istimewa sorotannya karena di dalamnya terdapat siswa berotak encer dan juara olimpiade fisika yang telah memperoleh jatah bangku kuliah melalui jalur khusus, seperti Penelusuran Minat dan Kemampuan (PMDK). Akan menjadi lelucon abadi bila siswa berprestasi terganjal masa depannya karena ujian nasional.

Untunglah, sejumlah pemangku kursi universitas masih berlapang dada menerima siswa yang menempuh ujian Paket C. Secara tak tersurat, sebenarnya pemerintah melakukan ujian nasional susulan ala Paket C. Tapi secara formal, tidak mau mengakuinya. Dengan kata lain, siswa pintar sedang apes saat ujian nasional sebenarnya hanyalah tumbal.

Tumbal untuk membuktikan bahwa sebenarnya pemerintah sungguh-sungguh melakukan evaluasi keberhasilan dan prestasi proses belajar-mengajar siswa selama di sekolah. Tujuan kebijakan tersebut dirupakan dalam wujud ujian nasional yang controversial. Yakni, dengan menetapkan stardar tunggal kelulusan pada tiga mata pelajaran yang diujikan tanpa adanya ujian ulangan.

Tumbal

Pertanyaan berikutnya, apakah hanya mereka tumbal dunia pendidikan untuk menegaskan bahwa penjabat yang mengurusi pendidikan benar-benar serius meningkatkan kualitas pendidikan Indonesia. Tidakkah selama ini telah begitu banyak siswa berikut orang tuanya yang terobang-ambing oleh gonta-ganti kurikulum maupun kebijakan pendidikkan. Bukankah kitas semua telah terbiasa dengan adanya tumbal?

Bukankah kita hanya membuat tumbal ketika siswa yang telah mengikuti ujian nasional dinyatakan tak lulus dan tak berhak ikut SPMB karena dianggap tidak pintar, sedangkan perumus kebijakan pendidikan yang bodoh entah di mana.

Bukankah kita hanya membuat tumbal dengan menyematkan label tak lulus ujian, sedangkan pejabat pendidikan yang memperdagangkan nilai dan menyemir prestasi tidak tersentuh. Bukankah kita kerap menjadikan tumbal pejabat pendidikan level bawah sebagai pesakitan, tapi justru yang duduk di kursi kepejabatan lebih tinggi lolos dan berpesta pora.

Tapi, pantaskah kita mempersembahkan tumbal siswa dengan memakai selogan demi meningkatkan kualitas pendidikan nasional?

*) Haidar Aji Kalbuadi, memperoleh doctor ilmu humaniora dari Universitas Berlin Jerman.
(Sumber Indopos – Senin, 3 Juli 2006)
Bacaan Selanjutnya!