Monday, July 17, 2006

Catatan Kritis Rencana Siaran Pendidikan
Oleh : Paulus Mujiran *)

Senin, 17 Juli 2006 Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) bersama TVRI untuk pertama kalinya menayangkan siaran pendidikan di TVRI. Praktiknya penyeragaman pendidikan melalui kebijakan berskala nasionla kembali terulang.

Belum usai kontroversi penyeragaman kelulusan melalui ritus ujian nasional (UN), pemerintah Depdiknas bekerja sama dengan TVRI menayangkan siaran pendidikan dari pukul 07.15 WIB – 09.30 WIB dan disiarkan ulang pukul 14.15 WIB – 16.30 WIB. Menurut Direktur Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Depdiknas Suyanto, siaran tersebut dimaksudkan untuk meningkatkan standar pendidikan nasional dan hasil kelulusan ujian nasional.

Untuk tahap pertama, program ditujukan sebatas SMP dan kelak akan diperluas untuk semua jenjang pendidikan. Materi difokuskan pada tiga mata pelajaran UN yakni matematika, bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Suyanto menegaskan program tersebut dikhususkan terutama bagi daerah di luar kota. Alasannya karena masih ada kesenjangan kualitas pendidikan di kabupaten dengan kota.

Tidak tanggung-tanggung biaya penyelenggaraan program mulai materi sampai pembelian perangkat televisi sebesar Rp 213,69 miliar. Pengadaan televisi masing-masing dua unit berukuran 30 inci dan bantuan diberikan melalui block grant disalurkan lewat provinsi.

Bagi sekolah, siaran pendidikan ini merupakan bentuk pemaksaan kedua kalinya setelah UN. Karena materi siaran adalah mata pelajaran yang di ujian-nasionalkan, bukan tidak mungkin sekolah diwajibkan mengikuti siaran yang diadakan pemerintah. Apalagi disediakan bantuan televisi, jadwal siaran dan petunjuk pelaksanaan siaran. Tidak saja mengandung krepotan, tetapi juga memaksa sekolah mengubah jadwal yang sudah direncanakan.

Pertama, penempatan jam tanyang ditempatkan pada jam-jam produktif sekolah. Pada jam pertama, kedua, dan ketiga biasanya ditempatkan mata pelajaran yang menuntut konsentrasi anak didik, apalagi disiarkan setiap hari pada Senin, Selasa, Rabu, Kamis. Selama ini sekolah sengaja menempatkan pelajaran olah raga dan pendidikan jasmani pada permulaan pelajaran dengan alas an kalau terlalu siang panas terik matahari. Apakah dengan demikian kegiatan olah raga dan pendidikan jasmani juga harus diadakan pada siang hari?

Belum begitu jelas apakah penempatan pada permulaan proses belajar mengajar agar anak didik mengikuti siaran tersebut dengan konsentrasi penuh? Mau tidak mau sekolah harus mengubah jadwal pelajaran dan menambah jam pelajaran lagi untuk menyesuaikan jam-jam yang terpaksa digeser karena harus mengikuti siaran pendidikan.

Kedua, belum jelas apakah siaran pendidikan tersebut ditayangkan dengan iklan atau tidak. Jika ditayangkan dengan iklan siaran tersebut menjadi berubah dengan tayangan komersial dengan rating cukup tinggi karena di tonton 28.378 pelajar SMP, belum lagi guru dan orang tuanya. Siaran tersebut tentu saja akan menggaet banyak pemasang iklan apalagi jika diwajibkan ditonton. Apakah pesan dalam iklan yang diselipkan dalam siaran pendidikan mendidik?

Ketiga, materi siaran pendidikan yang hanya materi UN sangat disayangkan. Perdebatan UN sudah ramai dipaparkan di media massa yang hanya mendidik anak didik menjadi berbudaya instant, tidak menghargai proses serta mengabaikan aspek-aspek afektif.

Dampak siaran pendidikan secara nasional memiliki dampak amat luas. Masalahnya adalah akan muncul kecenderungan budaya baru di kalangan pendidik dan anak didik. Yakni budaya pragmatis. Mereka cenderung memfavoritkan mata pelajaran yang disiarkan, apalagi kelak diujian-nasionalkan dan melupakan mata pelajaran lain. Mestinya karena siaran bersifat nasional, masalah budi pekerti, nilai-nilai kemanusiaan mendapat porsi seimbang dengan siaran mata pelajaran UN.

Sisaran berskala nasional menemui kendala lapangan. Pertama, soal jangkauan tayang TVRI. Sampai saat ini TVRI bila dibandingkan dengan televisi swasta nasional yang ada kualitas siaran jauh lebih buruk. Tayangan yang tidak jernih dan materi siaran yang dikemas membosankan menyebabkan TVRI cenderung ditinggalkan pemirsanya. Di Jakarta saja siaran TVRI tidak bisa diterima dengan jernih.

Di Semarang tidak ada bedanya. Bahkan di beberapa pelosok Jawa, TVRI hanya bisa diterima dengan antenna khusus dan parabola. Maka menyelenggarakan siaran pendidikan berskala nasional dengan menggandeng TVRI sangatlah diragukan mampu menjangkau seluruh pelosok Nusantara. Kecuali TVRI dan Depdiknas tidak hanya menyediakan televisi dan antena, tetapi juga stasiun relai tambahan sehingga jangkauan siaran semakin luas.

Kedua, apakah siaran nasional pendidikan tidak bertubrukan dengan muatan lokal dalam pendidikan yang kini kian ngetren sejalan dengan otonomi daerah dan otonomi pendidikan?

Jika tema-tema siaran tidak mewakili keseluruhan daerah atau hanya mengambil latar Jakarta, pasti akan ada kesenjangan. Muatan lokal mesti mendapatkan perhatian.

Ketiga, apakah sudah dipikirkan atau belum oleh Depdiknas bagaimana dengan sekolah yang mempunyai siswa ratusan, bahkan ribuan. Apakah menonton massal akan membantu mencerna isi siaran?

Dalam hemat saya, siaran pendidikan nasional yang akan ditayangkan perdana 17 Juli 2006 bersamaan dengan dimulainya tahun ajaran baru tidak akan berkontribusi langsung terhadap peningkatan standar pendidikan dan hasil kelulusan. Hingga kini yang belum terselesaikan adalah disparitas (kesenjangan) antar sekolah di berbagai daerah yang belum merata. Baik itu sarana-prasarana maupun tenaga pendidikan.

Selain itu, rendahnya anggaran pendidikan. Dengan anggaran yang ada sekarang ini mustahil peningkatan mutu pendidikan akan tercapai. Dari anggaran yang rendah bisa dijelaskan kualitas tenaga pengajar, kesejahteraan guru, dan penyediaan sarana prasarana pendukung pendidikan.

Depdiknas tidak bisa berkelit pada penyelenggaraan UN tahun depan dengan mengklaim sudah penyelenggarakan siaran pendidikan berskala nasional ketika polemik UN kembali mengemuka selama kendala-kendala itu belum dituntaskan. Seolah-olah dengan mengadakan siaran pendidikan, masalah standar pendidikan dan hasil kelulusan tercapai. Itu bukan sim salabim yang sekejap mengubah keadaan.

Meminjam kata Muchtar Buchori, penyelenggaraan siaran pendidikan melengkapi kebingungan pemerintah yang tidak mempunyai visi tegas pendidikan. Akibatnya kebijakan yang diambil selalu bersifat spekulasi, coba-coba dan eksperimen belaka. Kalau sudah ada visi tegas, tinggal merumuskan langkah bagaimana mencapai visi itu. Tragisnya, yang dijadikan kelinci percobaan adalah jutaan anak didik yang masa depanya masih sangat ditentukan pendidikan dan lingkungan. *) Paulus Mujiran, Pendidik, Ketua Pelaksana Yayasan Kesejahteraan Keluarga Soegijapranta. (Sumber Media Indonesia–Kamis,13 Juli 2006)

0 Comments:

Post a Comment

<< Home