Tuesday, May 22, 2007

Bagaimana Nasib Visi 2020?

Oleh : AM. Fatwa *)

Maret 2007 yang lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla serta sejumlah pejabat negara menghadiri acara pelun­curan buku Kerangka Dasar Visi Indone­sia 2030 (KDVI 2030) di Istana Negara Yang diterbitkan oleh Yayasan Indone­sia Forum. Sesudah itu, banyak yang membahas baik di media cetak maupun elektronik.
Tampaknya, KDVI 2030 lebih men­dapat perhatian dari para pejabat ne­gara. Namun, sebenarnya pada Mei 2006, telah ada sebuah Surat kabar yang meng­gelar seminar tentang visi Indonesia se­telah sewindu reformasi dan membuat satu laporan khusus pada terbitannya pada 19 Mei 2006 yang berjudul Mencari Visi Indonesia 2030. Selain itu, pada Sep­tember 2006, Kadin telah menggelar workshop dan roundtable Visi 2030.

Sungguh aneh. Para petinggi negara, para elite politik, pengusaha, dan media massa telah lupa bahwa pada 9 Novem­ber 2001, MPR RI telah mengesahkan Ketetapan MPR Nomor VII/MPR/2001 tentangVisi Indonesia Masa Depan yang berisiVisi Indonesia Ideal,yaitu cita-cita luhur sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945 dan Visi Indone­sia 2020. Visi Indonesia 2020 (ada yang menyebut "tahun emas 2020") pada da­sarnya telah mencakup seluruh aspek kehidupan berbangsa dan bernegara dengan memperhatikan tantangan yang dihadapi.

Cukup banyak tantangan yang dihadapi bangsa Indonesia menjelang tahun 2020 secara garis besar anta­ra lain: Pertama, pemantapan persatuan bangsa dan kesatuan negara, untuk mempertahankan integrasi dan integri­tas bangsa yang sangat majemuk yang harus menggunakan konsep negara ke­pulauan sesuai Wawasan Nusantara. Ke­dua, sistem hukum yang adil untuk me­negakkan keadilan, dengan mewujud­kan aturan hukum yang adil, institusi, dan aparat penegak hukum yang jujur, profesional, dan tidak terpengaruh oleh penguasa, serta tegaknya supremasi hukum. Ketiga , sistem politik yang de­mokratis, yang bertumpu pada kedaulatan rakyat dan di topang oleh budaya politik yang sehat, yaitu pe­rilaku yang santun, mengedepankan per­damaian, antikeke­rasan dalam berba­gai bentuk, dan sif at sportif yang diharap­kan melahirkan ke-pe­ mimpinan nasional yang demokratis, kuat, dan efektif.

Keempat, sistem ekonomi yang adil dan produktif, yaitu terwu­judnya ekonomi yang berpihak pada rakyat dan terjaminnya sistem insen­tif ekonomi yang adil dan mandiri ber­basis pada kegiatan rakyat, terutama Yang bersumber dari pertanian, kelaut­an, dan kehutanan. Kelima, sistem sosial budaya yang beradab, yaitu terpeliha­ranya dan teraktualisasinya nilai-nilai universal yang diajarkan setiap agama dan nilai-nilai luhur budaya bangsa. Keenam, sumber daya manusia yang ber­mutu, yang diwujudkan dengan sistem pendidikan berkualitas yang dapat me­lahirkan sumber daya manusia yang an-dal dan berakhlak mulia. Ketujuh, tantangan globalisasi untuk memperta­hankan eksistensi dan integritas bangsa dan negara Indonesia serta memanfaat­kan peluang untuk kemajuan bangsa dan negara.

Menyimak tantangan-tantangan ter­sebut di atas, terlihat sekali bahwa hal-hal tersebut memang perlu mendapat perhatian dan sekaligus harus menjadi agenda untuk menghadapi, menanggu­langi, dan menyelesaikannya. Atas dasar kenyataan tersebut, maka ditetapkan oleh MPR RI Visi Indonesia 2020, yaitu terwujudnya masyarakat Indonesia yang religius, manusiawi, bersatu, demokratis, adil, sejahtera, maju mandiri, serta baik dan bersih dalam penye­lenggaraan negara.

Masyarakat Indonesia yang religius, ditandai antara lain dengan ter­wujudnya masyarakat Yang beriman, bertak­wa, dan berakhlak mu­lia sehingga ajaran agama dan nilai-nilai luhur budaya diamal­kan dalam perilaku ke­seharian. Manusiawi dapat diartikan meng­hargai nilai-nilai kema­nusiaan yang adil dan beradab. Bersatu, di­ maksudkan antara lain memiliki sema­ngat persatuan dan kerukunan bangsa, toleransi, memiliki kepedulian, sportif, dan tanggung jawab sosial. Sedangkan demokratis, diartikan antara lain terwu­judnya keseimbangan kekuasaan antara lembaga penyelenggara negara, hu­bungan pusat dan daerah, serta efektivi­tas peran dan fungsi partai politik, dan berkembangnya budaya demokrasi. Se­mentara adil, antara lain dimaksudkan tegaknya hukum yang berkeadilan dan terwujudnya keadilan dalam distribusi pendapatan, sumberdaya ekonomi, dan penguasaan aset ekonomi serta hilang­nya praktik monopoli.

Visi masyarakat sejahtera antara lain dapat dilihat dengan meluasnya kesem­patan kerja dan meningkatnya penda­patan penduduk, tercapainya hak atas hidup sehat, dan meningkatnya indeks pengembangan manusia. Maju, diarti­kan antara lain meningkatnya kemampu­an bangsa dalam pergaulan antarbangsa, kualitas pendidikan, disiplin, dan etos kerja. Mandiri, antara lain memiliki ke­mampuan dan ketangguhan dalam me­nyelenggarakan kehidupan berbangsa dan bernegara, ekonomi bertumpu pada kemampuan sendiri dan memiliki kepri­badian bangsa dan identitas budaya In­donesia. Baik dan bersih dalam penye­lenggaraan negara, dapat diartikan pro­fesional, transparan, akuntabel,memiliki kredibilitas dan bebas KKN, serta peka dan tanggap terhadap kepentingan dan aspirasi rakyat di seluruh wilayah negara termasuk daerah terpencil dan perbatasan.

Pengungkapan kembali Visi Indone­sia 2020 secara garis besar ini dimaksud­kan untuk mendorong agar semua pi­hak dapat mengingat kembali Ketetap­an MPR RI Nomor VII/MPR/2001 ter­sebut dan menjadikannya sebagai mo­tivasi, pedoman, serta arah kebijakan dalam penyelenggaraan kehidupan ber­bangsa dan bernegara untuk mewujud­kan cita-cita luhur Bangsa Indonesia.

Hal ini tidak berarti meremehkan visi­visi lain yang dirumuskan pihak lain, namun sebagai produk resmi MPR RI, Visi Indonesia 2020 tidak semestinya bernasib ditelantarkan, dilupakan, atau diremehkan dan tidak digunakan seba­gai acuan. Sebaliknya, produk yang diha­silkan oleh wakil-wakil rakyat tersebut harus dijadikan pedoman dan arah yang harus ditempuh oleh segenap komponen bangsa.
*) AM. Fatwa, Wakil Ketua MPR RI, (Harian Seputar Indonesia – Kamis, 19 April 2007)
Bacaan Selanjutnya!

Kebangkitan Nasional dan Visi 2030

Oleh : I Basis Susilo *)

DUA bulan sebelum Hari Kebangki­tan Nasional tahun ini, Yayasan Forum Indonesia meluncurkan buku Kerangka Dasar Visi Indonesia 2030. Menurut buku ini, Indonesia 2030 berpenduduk 285 juta jiwa, produk domestik bruto (PDB) USD 5,1 triliun, jadi negara i n­dustri maju, masuk lima besar kekuatan ekonomi dunia, memiliki 30 perusa­haan dunia yang tercatat dalam 500 per­usahaan terbesar dunia, dan berpenda­patan USD 18 ribu per orang per tahun. Visi itu didasarkan pada asumsi per­tumbuhan ekonomi riil 7,62 persen, inflasi 4,95 persen, dan pertumbuhan penduduk 1,2 persen per tahun: Visi ter­sebut mensyaratkan: ekonomi berbasis keseimbangan pasar terbuka dengan dukungan birokrasi yang efektif.

Selain itu, ada pembangunan berbasis sumber days alam, manusia, modal, serta, teknologi yang berkualitas dan berke­lanjutan; dan perekonomian yang terin­tegrasi dengan kawasan sekitar dan global. Setiap bangsa memerlukan visi ke de-pan yang kuat sebagai dasar dan pe­tunjuk arah bergerak maju. Tanga dasar dan arah yang jelas, bangsa mudah ter­ombang-ambing oleh dinamika per­ubahan.
Kemajuan Tiongkok saat ini, misal­nya, didasari visi yang jelas untuk 2020, 2050, dan 2080, yang dibuat awal 1980-an, saat negeri itu masih miskin dan di­anggap terbelakang. Kemajuan Singa­pura pun didasari visi yang dibuat 1959 oleh Lee Kuan Yew yang mematok ne­geri pulau itu menyamai negara-negara Eropa Barat pada 1980. Tabun 1959, Singapura masih amat terbelakang se­hingga visi itu dianggap mimpi.

Konsolidasi dan Koreksi Diri

Untuk menggapai visi itu, diperlukan konsolidasi dan koreksi diri yang me­madai. Dengan konsolidasi diri, suatu bangsa memperkukuh komitmen bersa­ma, memperkukuh fundamen bersama, dan memperkuat kapasitas. Dengan koreksi diri, kesalahan, penyelewe­ngan, kerusakan bisa dideteksi secara diri untuk segera diperbaiki. Kita lihat contoh India, Jepang, dan Tiongkok.

Secara budaya, bahkan peradaban, India sudah mempunyai dasar yang amat kukuh karena terbentuk berabad­abad. Tetapi sebagai bangsa modem, sampai pengujung abad ke-20, India masih enggan membuka diri. Para pemimpinnya melihat kemajuan fisik Barat, tetapi tidak terpAau dan menim begitu saja karena khawatir kehilangan jati diri.
Namun, pelan tetapi pasty, bangsa itu memperkuat kapasitas industri dan membangun komitmen dengan demok­rasi supaya lebih siap saat menghadapi globalisasi. Mekanisme koreksi diri bekerja secara memadai karena bangsa itu sejak merdeka sepakat menjalankan sistem demokrasi. Jepang melakukan konsolidasi diri selama 250 tahun sebelum Restorasi Meiji pada awal 1860-an. Selama 250 tahun itu ia menata diri melalui konflik, persaingan, bahkan perang, komu­nikasi, membangun kejepangan, untuk mencapai keseimbangan yang mantap sebagai bangsa.

Dengan itu, ia bisa bersepakat tentang hal-hal mendasar dan arah tujuan ber­sama yang dituju bangsanya. Pengala­man kalah pada Perang Dunia II tak mampu menghancurkan bangunan da­sar dirinya. Walau Tiongkok punya peradaban be­sar, dalam era modem ia mengalami proses konsolidasi dahsyat. Di akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, Tiongkok dijadikan bulan-bulanan bangsa-bangsa Barat dan Jepang. Pera­saan terhina dan dihina sedemikian itu
rikan pelajaran berhargabaginya untuk membangun jati diri yang kuat. Setelah Perang Dunia II, Tiongkok mulai melakukan konsolidasi dan ko­reksi diri secara keras oleh Mao Tse-tung dengan Revolusi Kebudayaannya. Revolusi itu menyebabkan kemero­sotan ekonomi, tapi keuntungan soft goods berupa kepercayan diri clan hati­hati terhadap kekuatan asing tidak bisa dipungkiri, bahkan oleh Deng Xiao­ping sekalipun. Selanjutnya, Deng melakukan koreksi diri Tiongkok dengan empat moder­nisasinya pada akhir 1970-an. Salah satu koreksi total adalah sistem pendidikan.

Bagaimana Kita?

Sudan cukupkah konsolidasi diri clan koreksi diri bangsa kita? Dibandingkan dengan Jepang, India, dan Tiongkok, bangsa kita memang tidak punya kesempatan cukup untuk konsolidasi dan koreksi diri. Tetapi jika dibandingkan dengan Malaysia, bangsa kita punya sejarah clan pengalaman berkonsolidasi dan koreksi diri yang lebih memadai. Na­mun, nyatanya kita merasakan kini ke­majuan Malaysia tampaknya bisa lebih solid dibandingkan dengan kita.

Sejak 1908, melalui perjuangan ide, fisik, diskusi, dan konflik internal, bangsa kita sudah mempunyai fondasi yang culcup, memadai. Tonggak-tonggak sejarah menunjukkan kesepakatan nasional. Ada lima tujuan bernegara: merdeka, berdaulat, bersatu, add, dan makmur. Ada Sumpah Pemuda. Ada Pancasila. Ada UUD 1945. Ada NKRI. Ada Bendera Merah Putih. Ada Bahasa Indonesia. Ada Tritura. Ada Reformasi. Ada Rupiah. Dan sebagainya. Tetapi, kesepakatan-kesepakatan itu oleh beberapa pihak masih dianggap lonjong, tidak bulat, sehingga masih ada upaya-upaya untuk mengingkari kesepakatan-kesepakatan nasional tersebut.

Misalnya, soal dasar negara kita, masih saja ada yang mempersoalkan dan mencoba mengubahnya. Akibat­nya, terus-menerus kita menguras ener­gy bangsa kita untuk hal-hal yang sudah seharusnya tidak kita persoalkan lagi. Mekanisme koreksi diri pun sudah dilakukan dengan berbagai cara. Tetapi akhir-akhir ini kita terjebak untuk lebih asyik ber-guyon ria secara cengenges an untuk membahas soal-soal penting bagi bangsa kita. Kesalahan dan penye­lewengan cenderung kita jadikan sa­saran bulan-bulanan humor semata ke­timbang sebagai soal series yang harus diatasi bersama.

Padahal, untuk bisa mewujudkan Visi Indonesia 2030, diperlukan konsoli­dasi dan koreksi diri yang memadai se­hingga guncangan-guncangan yang di­sebabkan aksi kita untuk mewujudkan visi itu tidak akan merusak atau meng­hancurkan fondasi hidup kita dalam berbangsa dan bertanah air. Kita masih butuh proses konsolidasi dan koreksi diri. Misalnya, semua elite strategic bangsa kita menyepakati waktu khusus, misalnya satu jam da­lam sehari, untuk membahas soal-soal kebangsaan kita di man4 pun, terutama di dan melalui media massa.

Artinya, semua media massa mesti memprogramkan acara-acara berpers­pektif nasional. Ide ini mungkin tam­pak aneh di tengah liberalisasi, saat ini, tetapi untuk membangun landasan yang kukuh kebangsaan kita, sesuatu harus dilakukan sebelum terlalu terlambat.
* I Basis Susilo, dosen pada jurusan Hubungan Internasional FISIP Unair, saat ini juga dekan FISIP Unair. (Sumber Indopos – Sabtu, 19 Mei 2007)

Bacaan Selanjutnya!

Pendidikan dan Regenerasi Bangsa

Oleh : Yonky Karman *)

Menurut Pramoedya, banyak faktor sejarah di Tanah Air bukan produk pendidikan, tetapi produk budaya, sehingga bangsa Indonesia tidak dibentuk oleh pendidikan, tetapi oleh budaya (Andre Vitchek & Rossie Indira, Saya Terbakar Amarah Sendirian, 54).

Dan, budaya yang dominan adalah Ja­wanisme. Dalam budaya feodal, rasiona­litas ilmu dalam pendidikan kalah dengan mentalitas feodal "asal bapak senang", tact kepada atasan tanpa sikap kritis. Yang penting bukan bicara kebenaran, tetapi tidak menyinggung perasaan atasan.

Swasta juga terjebak industri pendidik­an. Sekolah-sekolah padat modal didirikan demi memperebutkan pangsa pasar yang jumlahnya amat kecil. Di Provinsi Papua Barat, hampir 80 persen siswa SD dan SMP terancam putus sekolah. Dengan angka, sekitar 97.000 siswa SD dan 27.500 siswa SMP. Cita-cita education for all di Tanah Air nyaris menjadi mimpi.

Pendidikan di Indonesia seharusnya mengubah mentalitas dan mengeluarkan bangsa dari keterbelakangan. Jika pen­didikan berhasil melahirkan manusia In­donesia mencapai massa kritis yang mam­pu memberi arah perkembangan bangsa, maka terjadilah regenerasi bangsa. Martin Buber mengibaratkan pendidikan sebagai perkembangbiakan spiritual (The Writings of Martin Buber, 317-24).

Orientasi Nilai

Sebagai makhluk dengan tubuh dan jiwa, regenerasi bisa dibedakan antara per­kembangbiakan fisik (physical propaga­tion) dan spiritual (spiritual propagation). Regenerasi bangsa tidak cukup hanya le­wat beranak cucu, tetapi juga lewat pene­rusan nilai dan visi. Sebuah bangsa ber­tahan melebihi satu generasi karena iden­titas diri yang ditopang kontinuitas nilai dan visinya.

Sejauh ini, perkembangbiakan nilai be­lum menjadi fokus pendidikan nasional. Meski kebudayaan daerah (dan nasional?) Bering diagung-agungkan, nilai tambahnya belum tampak dalam menghasilkan manu­sia Indonesia. Pendidikan belum dihargai sebagai jalan regenerasi bangsa.

Filosofi pendidikan kita tidak fokus. Pendidikan diselenggarakan tanpa refleksi, hanya bagian aktivisme dan kadang reaktif. Gambaran manusia Indonesia produk pendidikan nasional tidak membumi. Se­bagai contoh, institusi pendidikan dibe­bani tujuan menghasilkan insan bertakwa, sebuah tugas yang belum tentu bisa diemban institusi agama.

Salah satu parameter keberhasilan pro­ses pembelajaran adalah internalisasi nilai dalam beberapa tahap (kognitif-afektif-ko­natif-praktik). Setelah pelajar mengerti se­suatu, is menghargai yang dipelajari. Lalu, muncul komitmen pribadi untuk melaku­kan yang sudah dihargai itu. Akhirnya, apa yang diyakini sebagai baik dilakukan se­cara konsisten tanpa hambatan internal (misalnya, rasa takut) dan eksternal (mi­salnya, tekanan dari orang lain).

Mengintegrasikan nilai bukan sebuah proses sederhana. Itu pendidikan hati yang melibatkan manusia seutuhnya (Thomas Moore, The Education of the Heart, 1996). Nilai dikembangbiakkan lewat refleksi dan ekspresi bebas, tetapi bermartabat. Peng­ajaran tidak hanya berhenti di otak. Tindakan juga bukan bagian aktivisme, me­lainkan bagian dari tanggung jawab.

Dalam perkembang-biakan nilai, gene­rasi yang belajar tidak hanya menerima pengajaran, tetapi juga memproduksi dan memperbaruinya. Pelajar dibersihkan dari sampan pikiran dan diajak memikirkan kehidupan yang indah. Demikianlah, pen­didikan mencerdaskan dan mencerahkan.

Orientasi proses

Pembelajaran seperti itu menempatkan pelajar sebagai subyek, pusat, dan fokus pendidikan. Guru hanya facilitator dan pendamping murid. Proses pembelajaran dilakukan dalam suasana berbagi di Amara guru dan murid. Maka, mengajar bukan hanya transfer pengetahuan, tetapi kegi­atan berbagi pengetahuan sekaligus keti­daktahuan.

Tekanan pembelajaran bukan hanya ke­cerdasan intelektual, tetapi juga kecerdas­an yang komprehensif. Bukan hanya trans­fer pengetahuan atau pembekalan kete­rampilan, tetapi juga perkembangbiakan nilai. Maka, pendidikan melahirkan jiwa baru. Jiwa bangsa diteruskan saat generasi pengajar mentransfer nilai kepada gene­rasi pelajar, yang nanti bertumbuh men­jadi generasi pengajar yang baru.

Keberhasilan pendidikan di Indonesia harus membuktikan diri dengan memupus kultur feodal di sekolah. Dalam relasi kekuasaan yang pincang, guru cenderung merasa punya pengetahuan, murid tidak memilMnya. Murid diposisikan sebagai konsumen pengetahuan yang harus mem­belinya dari guru. Bahkan, transaksi itu jadi vulgar, seperti kecurangan pelaksana­an ujian nasional di Medan yang dilapor­kan pars penggiat pendidikan yang ter­gabung dalam komunitas Air Mata Guru.

Selain feodalisme, salah satu problem besar bangsa adalah sifat konsumtif lebih kuat dari sifat produktif. Konsumerisme menjadi salah satu pangkal korupsi. Maka, pencapaian pendidikan nasional harus di­ukur dari keberhasilan mencetak insan muda yang kreatif dan produktif.

Proses

Menjadi intelektual adalah proses yang membutuhkan ketekunan dan ketelitian. Tahun 1934, saat masih sedikit orang In­donesia bertitel sarjana, Sjahrir mengeluh kurangnya kehidupan ilmiah dan minat sungguh-sungguh atas ilmu pengetahuan di kalangan kaum bertitel (Renungan dan Perjuangan, 5-6). Ukuran orang saat itu terutama bukan tingkat kehidupan inte­lektual, tetapi pendidikan sekolah.

Para pernegang titel itu cuma tabu ba­caan vak sendiri, tetapi mereka bukan intelektual. Bagi mereka, ilmu pengetahu­an hanya sesuatu yang lahiriah, bukan kekayaan batiniah. Ilmu pengetahuan ha­nya diperlakukan sebagai barang coati, bukan hakikat hidup, yang berkembang, yang harus selalu dipupuk dan dipelihara.

Ketiadaan sikap intelektual bukan ka­rena orang Indonesia kurang cerdas, tetapi karena belum terbentuk iklim dan masya­rakat yang menghargai ilmu pengetahuan. Orang baru berkenalan dengan kulit ilmu pengetahuan, bukan ilmu pengetahuan se­bagai pengertian yang hidup dan menun­tut keseriusan, seperti banyak dijumpai di Eropa. Itulah keluhan Sjahrir.

Sejauh ini, pendidikan kita lebih berori­entasi hasil. Orientasi hasil mementingkan jawaban coal daripada proses pengerjaan. Ujian nasional kita membuat siswa mem­fokuskan diri pada bidang-bidang studi yang diuji. Bidang-bidang studi lain yang penting dalam nation and character build­ing menjadi terabaikan. Terjadilah pen­dangkalan tradisi intelektual.

Dalam masyarakat yang memiliki tradisi intelektual, studi akademis menuntut cara belajar yang baik dan serius. Untuk itu, dibutuhkan pengekangan diri dan disiplin. Meminjam istilah Weber, orang melaku­kan asketisisme intelektual. Cara belajar demikian dengan sendirinya menabur be­nih-benih watak intelektual.

Jepang menempuh jalan pendidikan untuk bangun dari kehancuran negeri aki­bat Perang Dunia II. Pengalaman Jepang adalah pengalaman banyak negara, seperti Jerman, Korea Selatan, Vietnam. Indone­sia tidak akan maju jika terns tertinggal dalam pendidikan. Dalam jangka panjang, pendidikan di Tanah Air bisa menyelesai­kan problem ketertinggalan bangsa di bi­dang ilmu pengetahuan dan teknologi. Kelangsungan bangsa tergantung pendi­dikan yang berorientasi nilai dan proses.
*) YONKY KARMAN Pengajar Sekolah Tinggi Teologi Cipanas
(Sumber Harian Kompas - Sabtu, 12 Mei 2007)
Bacaan Selanjutnya!

Saturday, January 13, 2007

Berhijrah Perilaku dan Pola Pikir

KH. Dr. Tarmizi Taher

Tahun baru Hijriyah merupakan era baru dakam sejarah Islam yang sangat menentukan bagi perjuangan, penyebaran, dan dakwah Islam. Di bulan Muharram itu, Nabi Muhammad SAW melakukan hijrah dari Makkah menuju Madinah (Yastrib) untuk mengubah tatanan kehidupan masyarakat dalam berbagai bidang.

Menurut Ketua Umum pimpinan Puast Dewan Masjid Indonesia (DMI) KH. Dr. Tarmizi Taher, secara historis, hijrah merupakan titik awal kebangkitan Islam; Islam mengalami kemajuan pesat. Semangat nilai yang dikandung dalam hijrah itu pula yang mendasari khalifah kedua, Umar bin Khattab (memerintah : 634-644 M/13-23H) menetapkan penaggalan baru Islam yang dikenal dengan tahun baru Hijriyah. Berikut ini kutipan wawancara dengan mantan Menteri Agama RI itu:

Bagaimana Nabi Muhammad membangun umat Islam itu melalui semangat hijrah?
Di Madinah, Nabi Muhammad melakukan reformasi dan membangun masyarakat madani yang lebih bermartabat, berkeadilan, dan terbuka. Pertama-tama Nabi membangun Konstitusi Madinah (Piagam Madinah) yang dijadikan sebagai dasar bermasyarakat dan bernegara.

Reformasi bidang apa saja yang dilakukan Nabi Muhammad?
Reformasi bidang politik, agama dan hukum. Nabi Muhammad memegang langsung tiga kekuasan negara : eksekutif, yudikatif dan legislatif (yang artinya Nabi Muhammad adalah kepala pemerintahan atau kepala negara, sekaligus beliau adalah sorang Rasulullah). Pada saat yang sama, negara mengakomodasi semua kepentingan masyarakat. Mereka tidak dibedakan berdasarkan suku, kelompok politik, maupun agama. Semua lapisan masyarakat duduk sama rendah, berdiri sama tinggi, sehingga ketiga lembaga itu berdiri secara kuat dan independen.

Dalam bidang agama, demi tegaknya civil society, ketika berdakwah – yang diarikulasikan secara rasional, arif dan bijak, penuh hikmah dan argumentatif – Nabi Muhammad semata-mata hanya bertujuan meningkatkan kualitas beragama, bukan untuk konversi penganut agama lain. Prinsip yang dikedepankan Nabi adalah prinsip kebebasan beragama bagi setiap individu (pasal 25-33, Konstitusi Madinah). Prinsip ini terefleksikan melalui pengakuan negara dalam melindungi kebebasan beribadah bagi umat beragama. Secara teologis, landasannya adalah : “Tidak ada paksaan dalam beragama“ (QS.2:256).

Dalam bidang hukum, prinsip Islam adalah menjadikan nilai keadilan di atas segalanya. Jadi, masyarakat madani adalah masyakarat yang tak berkelas (aclassless society). Artinya, hukum tidak membedakan antara the have dan the have not, semua memperoleh keadilan hukum. Sikap dan kebijakan Nabi Muhamad sebagai kepala negara dan masyarakat sekaligus mengakui persamaan hak setiap warga negara, tanpa pandang bulu. (Pasal 34,40 dan 46, Konstitusi Madinah).

Dalam konteks kekinian, bagaimana aplikasi hijrah bagi kaum muslim?
Sebagai salah satu konsep penting dalam Islam, hijrah dalam konteks kekinian bukan lagi sekadar berpindah tempat, melainkan menuju perubahan, perjuangan, dan menyampaikan visi Islam. Karena itu, hijrah yang harus dilakukan kaum Muslim saat ini bukan lagi hijrah secara fisik, tetapi lebih pada perilaku. Misalnya, ikut berpartisipasi memberikan solusi terhadap berbagai masalah yang datang silih berganti yang tengah dihadapi bangsa ini.

Dalam kaitan hidup keberagaman yang harmonis, bagaimana penerapan makna hijriyah pada masyarakat Muslim Indonesia?
Dahulu Nabi hijrah untuk menciptakan peradaban yang lebih baik dan membentuk masyarakat Madani yang berperilaku terpuji serta menjunjung tinggi toleransi beragama. Ketika itu, selain umat Muslim, penganut agama lain juga hidup berdampingan di Madinah, penganut agama lain juga hidup berdampingan di Madinah. Kemajemukan dan keharmonisan itu yang tampaknya serupa dengan kehidupan masyarakat Indonesia. Perdamaian dalam masyarakat yang majemuk seperti itu patut kita teladani dari makna hijrah Nabi.

Kita harus kembali kepada komitmen ajaran agama masing-masing. Umat Islam kembali kepada ajaran Islam yang rahmatal lil alamin. Oleh karena itu, ajaran Islam harus benar-benar diimplementasikan dalam kehidupan bermasyarakat.

Artinya, kita mesti hijrah dalam hal pola pikir?
Tentu. Hijrah dalam hal perbuatan harus dimulai dengan hijrah dalam hal pola pikir. (dari kufur/ingkar menjadi beriman). Yang tak kalah penting, hijrah yang harus dilakukan oleh umat Islam di Indonesia adalah hijrah untuk memperbaiki mutu pendidikan. Sebab, sistem pendidikan yang harus dikembangkan umat Islam adalah sistem pendidikan yang tidak hanya menekankan pada kemampuan Iptek saja, tetapi juga tidak mengenyampingkan kemampuan iman dan takwa (imtak) anak didik. Jauhkan generasi kita dari sistem pendidikan yang sekuler.
(Sumber Indo.pos – Jum’at,12/01/ 2007)

Artikel terkait :
- Momentum Membangkitkan Semangat Islam
- Sistem pendidikan satu pipa

Bacaan Selanjutnya!

Thursday, January 11, 2007

Delapan Catatan Kritis Pendidikan

Oleh : Dr. H.Arief Rachman, MPd *)

Menutup tahun 2006 yang telah berlalu, kita bersyukur karena pemerintah mempunyai komitmen kuat untuk menyejahterakan dunia pendidikan. Menurut Dr. H. Arief Rachman MPd, Ketua Harian Komisi Nasional Indonesia untuk UNESCO, hal itu patut diapresiasikan.

PEMERINTAH merujuk pada UU No.20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional untuk berkomitmen memajukan pendidikan. Meski demikian, sebagai seorang pendidik, ada delapan hal yang harus dikritisi. Harapannya, catatan ini mampu menjadi refelksi yang jernih untuk melangkah dengan lebih baik.

Catatan yang pertama, hingga saat ini, dunia pendidikan di Indonesia ternyata belum memunculkan sikap kritis. Dalam praktiknya, evaluasi akhir dari keberhasilan seorang anak didik baru pada tingkat kognitif. Sama sekali belum mencantumkan ranah afektif dan psikomotorik. Padahal, dua ranah itu sama pentingnya sebagai indikator keberhasilan pendidikan.

Selain itu, penetapan standar kelulusan yang dipancung dalam indikator kelulusan minimal angka terendah yang sama untuk seluruh Indonesia sangat tidak tepat. Hal itu justru menunjukkan sikap tidak konsisten terhadap aplikasi undang-undang pendidikan.

Catatan yang kedua, kita mempunyai problem akut mutu guru. Kualitas tenaga pendidik harus selalu ditingkatkan. Memang harus diakui, banyak guru dengan gaji pas-pasan tetap memberikan dedikasi yang tinggi. Namun, semangat saja tentu tidaklah cukup. Karena itu, sistem yang mempersiapkan guru juga harus ditinjau ulang oleh pemerintah.

Menjadi seorang guru tidaklah cukup mempunyai intelektualitas belaka, namun harus mempunyai kemampuan untuk memproses pembelajaran dalam kelas. Saat ini guru cenderung mengikuti metodologi yang hanya memungkinkan anak berpikir konvergen dan tidak divergen. Karena itu, lembaga pendidikan yang mencetak guru harus diwaspadai.

Jangan sampai mereka mencetak guru yang tidak memenuhi standar. Guru yang sejati haruslah mampu menyeimbangkan cara berpikir sistematik dan cara berpikir kreatif. Kita prihatin sekali ada oknum guru yang mendidik tanpa cinta. Dengan kekerasan, bahkan guru melecehkan muridnya. Hal itu sangat mencemari citra seluruh guru.

Karena itu, hentikan praktik pembelian posisi guru dan gantikan dengan menciptakan suatu ujian praktik dan proses sertifikasi untuk para guru di tingkat nasional, kemudian kemukakan secara terbuka proses pendaftaran serta seleksinya.

Catatan ketiga adalah pada sisi manajemen pendidikan. Ada beberapa hal penting yang harus dibenahi bersama. Misalnya, faktor moralitas pengelola institusi pendidikan.

Perbaikan itu tentu saja dimulai dari tingkat teratas sampai level terbawah. Terutama tingkat keamanahan seorang pendidik. Jangan sampai seorang yang tidak mempunyai kapasistas sebagai manajer (baca : pimpinan) lembaga pendidikan harus diserahi tugas yang berat itu. Sistem pendidikan kita juga tidak boleh lagi memmunculkan manajer pendidikan yang berorientasi bisnis. Mereka yang menyalahgunakan wewenangnya untuk sebuah proyek memperkaya diri sendiri. Tentu pemerintah harus mendukung pendanaan sehingga pendidikan mura itu bukan lagi sekadar slogan.

Kita memang masih harus bersabar karena pemenuhan 20 persen anggaran APBN untuk pendidikan barus bisa tercapai tahun 2009. Tapi, dalam proses menjuju ke sana, kita tidak boleh memeras keuangan peserta didik. Tidak benar kalau pendidikan yang baik hanya bisa dinikmati oleh mereka yang kaya. Mereka yang mempunyai keterbatasan ekonomi juga harus diberi akses menikmati setiap proses pendidikan.

Catatan yang keempat, harus diakui Indonesia adalah negara yang luas. Perkembangan kualitas pendidikan di tiap daerah berbeda-beda. Pengeluaran pemerintahan daerah saat ini mencapai sekitar dua pertiga dari total pengeluaran pendidikan. Secara keseluruhan, dana yang tersedia sebelumnya mencukupi, di mana pengeluaran pemerintahan pusat ditambah dengan pengeluaran pemerintah daerah mencapai hampir tiga persen GDP.

Tetapi, ada sejumlah kabupaten yang tidak memiliki sumber daya yang cukup untuk memenuhi kebutuhan pendidikan mereka. Hal ini berdampak pada timpangnya pengeluaran per murid. Pemerintah pusat harus memberikan lebih banyak sumber daya untuk bidang pendidikan kepada pemerintah daerah melalui dana alokasi khusus ketimbang melalui proyek-proyek. Tentu saja disertai pengawasan dan mekanisme akuntabilitas yang tepat. Itulah yang dimaksud dengan pemerataan pendidikan yang tepat.

Ingat indikator keberhasilan pendidikan bukan hanya gedung sekolah yang luks atau megah. Bukan itu. Juga bukan hanya terletak pada beberapa orang anak didik kita yang menjadi juara olimpiade. Pendidikan yang merata tercipta ketika kualitas anak didik kita di pemda yang ekonominya tertinggal tersubsidi dengan baik sehingga menyamai kualitas pendidikan di daerah yang lebih maju.

Catatan kelima, proses pengembangan pendidikan di Indonesia belum didukung budaya penelitian yang kuat. Padahal, penelitian akan menentukan proses pengambilan sebuah kebijakan dan berujung pada pelaksanaan.

Inilah contohnya. Indonesia setiap tahun mencetak beribu-ribu lulusan sarjana. Namun, banyak di antara mereka yang tidak terpakai dalam dunia kerja. Kenapa? Sebab, tidak ditopang oleh data yang benar.

Jika ada survei yang membuktikan secara valid bahwa Indonesia sudah overload sarjana hukum, kenapa tidak diistirahatkan dulu fakultas hukum pada universitas-universitas kita. Kalua ada data valid yang menunjukkan bahwa Indonesia butuh ahli geologi dan pakar bencana alam untuk menafsirkan puluhan bencana secara rasional, mengapa tidak dibangun lebih banyak fakultas yang mendukung itu.

Yang keenam, dunia pendidikan kita tidak boleh dipisahkan dari ekonomi, politik, kebudayaan, dan pertanahan. Semua berhubungan. Salah besar kalau kita memandang problem negeri ini secara parsial. Ketika ada pertanyaan kenapa dunia pendidikan kita belum maju, jawabnya adalah karena dunia politik kita juga belum maju. Atau karena kebudayaan kita belum maju. Korupsi masih menjadi kelaziman. Jangan semata-mata mengambing-hitamkan pendidikan kita kalau dunia “lain” tidak mau melangkah bersama-sama.

Catatan ketujuh, pendidikan kita belum sepenuhnya berorientasi global. Pdahal, tantangan untuk go global itu sudah ada sejak reformasi dimulai. Membangun jaringan yang kuat dengan komunitas internasional harus segera dilakukan. Itu penting karena Indonesia mempunyai kebudayaan yang menarik untuk dipublikasikan secara luas. Biarkan masyarakat Barat belajar tentang kita secara utuh.

Terakhir, banyak mereka yang terdidik tapi tidak beradab. Tidak berbudaya. Siapa yang lebih berbudaya, seorang sarjana atau seorang warga Badui di pedalamam Banten? Saya mungkin akan menajwab orang Badui. Sebab, mereka lebih hormat kepada orang tuanya, taat kepada adat, dan komitmen terhadap nilai luhur tempat tinggalnya.

Apalah arti terdidik kalau memusuhi bangsa sendiri. Mengagung-agungkan bangsa lain secara berlebihan karena dirinya lulusan luar negeri. Terus terang, hal itu ironis dan memuakkan.

Mereka yang mahir dalam teori tapi tidak peka sosial juga useless. Sukses pendidikan adalah ketika apa yang dipelajari dalam ruang-ruang pembelajaran bermanfaat bagi masyarakatnya. Hal itu bisa dicapai dengan pembinaan secara integral unsur spiritual, emosional, dan intelektual.

Fajar baru tahun 2007 telah datang. Bagaimanapun, kita harus tetap optimistis. Bagaimana bangsa ini bisa lebih maju jika dibangun oleh mereka yang berjiwa kerdil. Optimisme diiringi dengan kerja keras pasti aka mewujudkan Indonesia madani yang kita cita-citakan bersama. Insya Allah.
*) Dr. H. Arief Rachman, MPd, Ketua Harian Komisi Nasional Indonesia untuk UNESCO (Sumber Harian Indo.pos– Sabtu, 06/01/2007).
Bacaan Selanjutnya!

Menghargai Tenaga Pendidik Berprestasi

Oleh : Eti Herwati, Mpd*)

Perkembangan dan perubahan yang cepat dalam sistem politik di tanah air yang berdampak pada reformasi di berbagai bidang membawa dampak terhadap dinamika di bidang sosial, budaya dan politik termasuk bidang pendidikan.

Pembangunan bidang pendidikan harus menyesuaikan dengan dinamika tersebut agar tetap aktual dan dapat diterma oleh masyarakat. Salah satu bentuk penyesuaian itu adalah penghargaan bagi guru/tenaga kependidikan yang mempunyai prestasi dan atau dedikasi yang luar biasa sehingga dapat meningkatkan mutu pendidikan.

Penghargaan tersebut merupakan salah satu wujud rasa terima kasih pemerintah kepada guru yang mempunyai prestasi dan atau dedikasi yang luar biasa. Pemberian penghargaan tersebut diharapkan dapat memacu guru/tenaga kependidikan untuk selalu meningkatkan prestasi dan dedikasinya, karena keragaman geografis, situasi dan kondisi tanah air menuntut guru selalu mempunyai sifat inovatif dan dedikasi yang tinggi dalam pelaksanaan tugasnya.

Untuk menjamin ketepatan dan kesesuaian dengan latar belakang dan tujuannya, maka pemberian penghargaan bagi guru (tanaga kependidikan) diselenggarakan dengan asas-asas sebagai berikut :

Pertama, Asas Pengganjaran, bahwa guru dalam pengabdiannya tidak meminta dihargai atau ganjaran, anmun jasa profesionalitasnya yang bersifat kemanusiaan disertai kemampuan dan kesetiaannya menanamkan rasa persatuan dan kesatuan sebagai bangsa Indonesia pada peserta didik memang layak diberikan ganjaran.

Kedua, Asas Keadilan, bahwa penghargaan pada guru harus bebas dari kepentingan kelompok atau golongan berdasarkan suku, agama, ras, daerah, politik dan lain-lain, tetapi sepenuhnya didasrkan atas pertimbangan keadilan berdasarkan prestasi, pengabdian, dedikasi dan loyalitasnya dalam mewujudkan proses pembelajaran yang berkualitas.

Ketiga, Asas Akuntabilitas, bahwa penghargaan harus didasarkan pada hasil penilaian terbuka, objektif dan jujur, dengan mengikutsertakan semua yang berkepentingan (stakeholders) pada proses dan hasil pembelajaran di sekolah dalam rangka mempersiapkan sumber daya manusia yang memilki kemampuan meningkatkan kesejahteraan hidup perseorangan , keluarga dan masyarakat.

Keempat, Asas Arus Bawah (buttom up), bahwa pemberian penghargaan harus didasari oleh kepercayaan pada kemampuan melakukan penilaian secara ojektif oleh aparat di lapangan termasuk pihak yang berkepentingan (stakeholders), yang langsung dapat mengamati dan mengikuti kegiatan guru dalam melaksanakan profesinya di sekolah dan pengabdiannya di masyarakat.

Kelima, Asas Motivasi dan Promosi, bahwa pemberian penghargaan harus difokuskan pada aspek-aspek yang berhubungan dengan pekerjaan guru sebagai suatu profesi/prestasi, kinerja, pengabdian, kesetiaan, disiplin, dedikasi dan loyalitas, agar berfungsi untuk meningkatkan motivasi kerja, dan berpengaruh pada pengembangan karir guru.

Keenam, Asas Keseimbangan, bahwa pemberian penghargaan harus seimbang dalam arti tidak hanya meberikan peluang yang tinggi bagi guru-guru yang bekerja di perkotaan yang dekat dengan pusat-pusat pendidikan tinggi sehingga selalu terbuka kesempatan meningkatkan kemampuan profesionalitasnya, dan mengabaikan guru-guru di desa-desa.

Ketujuh, Asas Demokrasi, bahwa pemberian penghargaan harus memberikan peluang yang sama pada semua guru untuk berkompetisi dalam untuk berkompetisi dalam suasana kebebasan dalam mengimplementasikan profesionalitasnya, melalui kreativitas, inisiatif, prakarsa dan kepeloporan dalam bekerja, sepanjang tidak merugikan kepentingan peserta didik, masyarakat bangsa dan negara.

Penghargaan yang diberikan kepada guru berprestasi dalam bentuk antara lain, (1), Pemberian medali dan piagam/sertifikat, (2) Hadiah berupa uang atau cendera mata, (3) Tugas belajar, izin belajar atau pendidikan dan latihan yang bersifat peningkatan kualitas, (4) Mengikuti seminar, studi banding, pendidikan dan pelatihan/penataran atau yang sejenis dalam rangka penyegaran atau peningkatan kemampuan profesi, (5) Beasiswa.
*) Eti Herawati, Mpd, Guru matematika SMP Negeri 1, Karang Ampel, Indramayu, Jawa Barat (Sumber Pikiran Rakyat – Sabtu, 21/10/2006).
Bacaan Selanjutnya!

Sunday, December 31, 2006

Enterpreneur Pencipta Lapangan Kerja

Oleh : HM. Aksa Mahmud*)

Tidak dapat dipungkiri bahwa dewasa ini banyak sarjana lulusan perguruan tinggi yang belum mendapatkan pekerjaan. Akibatnya, banyak sarjana hanya sebagai pencipta pengangguran dibanding sebagai pencipta peluang kerja. Sehingga masalah kualitas SDM perguruan tinggi sangat penting untuk diperhatikan dan dicarikan solusinya.

Memperperhatikan kondisi yang cukup memprihatinkan tersebut, sudah selayaknya diperlukan perhatikan yang serius, baik dari pemerintah, pihak pengusaha, dan terutama perguruan tinggi sendiri sebagai lembaga penghasil sarjana tersebut. Jadi perguruan tinggi hanya berharap mendapatkan mahasiswa yang sebanyak-banyaknya, tanpa diimbangi dengan pemikiran dan tindakan nyata, mengenai bagaimana setelah mereka lulus nantinya.

Untuk mengatasi hal itu, perlu kirannya dilakukan langkah preventif untuk mengantisipasi banyaknya sarjana yang menganggur, utamanya dengan menanamkan serta membangun jiwa dan perilaku entrepreneur atau kewirausahaan sejak mereka menjadi mahasiswa. Dengan begitu, setelah lulus kelak diharapkan beberapa sarjana yang belum mendapatkan pekerjaan berpeluang menjadi sarjana yang mandiri, yaitu sarjana yang mampu menghadapi tantangan dunia kerja di masyarakat dan bahkan mapu menciptakan lapangan kerja.

Sekedar mengingatkan bahwa agama Islam mempunyai pandangan tegas terhadap pentingnya membangun jiwa dan perilaku wirausahawan ummat. Pertama, sesuai firman Allah dalam Surat Al-Insiqaq (84) ayat enam, yang berbunyi, “wahai manusia sesungguhnya engkau harus berusaha dan kerja keras (secara sungguh-sungguh dan tekun), menuju keridhaan Allah, maka pasti kamu akan menemui-Nya.“

Kedua, sesuai Sabda Rasullah SAW, yang mengatakan, „Berkerjalah untuk duniamu seakan-akan kamu akan hidup selamanya, dan bekerjalah untuk akhirat seakan kamu akan mati besok pagi,“

Secara umum dapat dipastikan bahwa kata wirausaha berasal dari „Wira“ yang berarti „Pahlawan“ dan „Swasta“ berarti „Partikelir“ atau dalam istilah asingnya „Enterpreneur“ yang berasal dari bahasa Perancis, yang berati „seorang yang berusaha“, atau „Pengusaha“. Oleh ahli ekonomi Prof. Schumpeter mendefinisikan pengusaha „sebagai seorang yang mampu menciptakan atau memberikan nilai tambah dengan mengombinasikan secara efisien dan efektif dari sumber daya ekonomi yang ada melalui kegiatan-kegiatan produksi, perdagangan dan pemasaran.“

Selanjutnya dapat dijelaskan tentang Karakteristik, Watak, Jiwa dan Ciri Wirausahawan, yakni :
Karakteristik Wirausahawan, menurut pakar bisnis McClelland, adalah seseorang yang mempunyai virus kepribadian yang menyebabkan seseorang selalu ingin berbuat lebih baik, dan terus maju, memiliki tujuan yang realistis dan siap mengambil risiko dengan perhitungan-perhitungan yang tepat.
Watak Wirausahawan, dapat meliputi banya aspek : Berwatak maju; Berpandangan positif, kreatif dan inovatif; Ulet, tekun, dan tidak lekas putus asa; Mempunyai komitment kuat dan kompetensi; Pandai bergaul dan setiakawan; Memelihara kepercayaan; Pribadi menyenangkan; Selalu meyakinkan diri sebelum bertindak; Sangat menghargai waktu; Tidak ragu terhadap saingan; Selalu bersyukur, beriman,berbuat baik dan jujur.
Jiwa dan Semangat Wirausahawan dapat meliputi; Percaya diri sendiri; Tahu apa mau dan cita-citanya; Rasa bertanggung jawab atas tugas dan kewajibannya; Berani mengambil resiko yang diperhitungkan; Selalu berinisiatif dan disiplin; Bertekad menyebar-luaskan segala kebaikan bagi masyarakat.

Ciri-ciri Wirausahawan dapat meliputi : Punya kemauan dan semangat tinggi; Mampu mengorganisasi pekerjaan dengan baik; Berorientasi masa depan; Terampil dalam mengambil keputusan; Mendasarkan tindakan pada usaha untuk memperoleh hasil atau pendapatan. Dalam praktiknya dapat dijelaskan beberapa uapaya yang dapat dilakukan dalam membangun dan membekali jiwa Enterpreneurship bagi mahasiswa Universitas Al-Zaytun Indonesia yang perlu dilakukan :

Pertama, membuat sebuah fondasi yang kokoh, dengan menanamkan serta mengembangkan jiwa enterpreneur para mahasiswa, dimulai dengan mengembangkan sikap jujur yang merupakan dasar untuk melakukan perbuatan positif lainnya, serta meningkatkan sikap disiplin terhadap waktu atau mematuhi peraturan yagn ada di kampus. Diharapkan, dengan fondasi dasar tersebut maka mereka akan berusaha dengan cara beretika, dapat membina daya kreativitas dan inovasi, yang memungkinkan mereka akan siap berasing secara sehat. Juga akan menanamkan keberanian dalam mengambil keputusan dan risiko yang mungkin timbul berdasarkan perhitungan yang matang, yang dilandasi oleh percaya diri.

Kedua, mengajarkan mata kuliah kewirausahaan yang aplikatif, di setiap jurusan akademik di kampus-kampus sehingga diharapkan dengan mendapatkan materi kewirausahaan tersebut, maka mahasiswa baik dari fakultas ilmu sosial maupun eksakta akan termotivasi serta mempunyai wawasan ilmu dan pengetahuan nyata yang cukup untuk bekal berwirausaha secara mandiri.

Ketiga, mengelompokkan mahasiswa melalui kelompok terbatas berupa lembaga swadaya mahasiswa yang bergerak di bidang kewirausahaan, yang berpotensi dan mempunyai karakter untuk menjadi wirausaha, serta mencoba mengembangkan bakat dan minat mreka, diantaranya melalui aktivitas yang berkaitan dengan praktek usaha/bisnis baik di lingkungan kampus atau di luar kampus, dengan berusaha memagangkan mereka pada perusahaan-perusahaan yang ada.

Keempat, perlunya dibentuk lembaga pengembangan wirausaha untuk mahasiswa di lingkungan kampus, karena dengan lembaga tersebut diharapkan bisa membantu mengembangkan potensi mahasiswa yang berjiwa wirausaha, sekaligus memantau perkembangan aktivitas dan praktik bisnis yang dilakukan oleh mahasiswa. Lewat lembaga ini, diharapkan bisa menjalin kerja sama dengan pihak perbankan, lembaga-lembaga terkait tertentu, seperti Depnakertrans, Depkop dan BUMN, dalam rangka mencari sumber permodalan untuk mahasiswa yang sudah mulai merintis usaha, serta upaya membantu jalur pemasaran dari produk dan jasa yang mereka hasilkan.

Kelima, memperkuat relasi antara kampus dengan asosiasi kewirausahaan semacam lembaga KADIN, HIPMI, INKINDO dan sebagainya. Karena dengan melibatkan kalangan asosiasi kewirausahaan tersebut, amak akan mempermudah transfer pengetahuan dari kalangan dunia usaha swasta dengan mahasiswa yang sedang belajar. Forum diskusi, workshop, seminar dan praktik bisnis dapat dijadikan tema sentral dalam membangun ciri mahasiswa yang berwawasan kewirausahaan.

Keenam, melakukan pembinaan dan pengawasan lebih lanjut, setelah mereka lulus kuliah dan memulai usaha/bisnis, sehingga bisnis yang dilakukan oleh alumninya bisa berkemabgan dengan baik, serta jalinan kerjasama antar alumni dan almamaternya bisa terbina dengan baik. Jadi apabila mereka menjadi pengusaha yang suskes diharapkan akan memberikan bantuan, baik moril maupun material terhadap mahasiswa dari perguruan tinggi almamaternya.

Kesimpulan. Diharapkan dengan keenam pendekatan tersebut, akan dapat menjadi jalan keluar dalam upaya mengurangi sarjana pengangguran nantinya. Sebab lulusan atau sarjana yang tidak terserap oleh dunia kerja diharapkan akan dapat menciptakan lapangan kerja baru sebagai wirausaha yang berlatar belakang pendidikan tinggi.

*) HM. Aksa Mahmud adalah Wakil Ketua MPR RI. Artikel ini disampaikan sebagai makalah di hadapan Keluarga Besar Universitas Al-Zaytun Indonesia pada acara Silahturahim Idul Fitri 1427H, tanggal 25 November 2006.
(Sumber Majalah Berita Indonesia – 28/ 2006)
Bacaan Selanjutnya!

Menebar Jurus Enterpreneur Sejati


Kuliah Umum : HM Aksa Mahmud di Kampus Al-Zaytun

Wakil Ketua MPR RI HM Aksa Mahmud menyebut, Syaykh Abdussalam Panji Gumilang, pimpinan Al-Zaytun sama seperti dirinya seorang enterpreneurship atau pengusaha sejati. Bahkan, menurut Aksa gurunya enterpreneurship ada di Al-Zaytun yaitu Syaykh Panji Gumilang.

Sebab, kata Aksa, prinsip dasar seorang pengusaha adalah mengusahakan sesuatu dari yang tidak ada menjadi ada, dari barang tidak ada menjadi ada, dari tidak punya uang menjadi punya uang, dari tidak dapat untung menjadi dapat untung, dan berbagai prinsip dasar lainnya.

Dalam kuliah umumnya,bertemakan “Membangun Jiwa dan Perilaku Kewirausahaan (Entrepreneurship) di Kalangan Mahasiswa Universitas Al-Zaytun Indonesia”, Sabtu, 25 November 2006 itu, Aksa Mahmud menekankan bahwa setiap pelajar dan mahasiswa sedini mungkin harus sudah mempunyai jiwa enterpreneurship. Prinsip dasar dari enterpreneur tidak lain adalah harus berlatih. Tidak ada orang yang pintar berenang tanpa turun ke air untukbelajar berenang. Atau, tidak ada orang yang pintar berusaha tanpa harus berusaha latihan untuk mencari uang.

Aksa bercerita bagaimana dalam sejarah perjalanan hidupnya sudah terlatih belajar sambil berusaha. Sejak SD ia sudah terbiasa menjual bonbon. Atau membeli ikan di pinggir pantai seharga Rp 10, lalu menjualnya ke kota seharga Rp 12.

Enterpreneur harus memilki jiwa keberanian, kejujuran, dan percaya diri. Ketika masyarakat di Kota Makassar masih naik angkot, sesuai kemampuan ekonomi rata-rata masyarakat, Aksa justru sudah berbisnis jasa taksi. Seorang guru besar ekonomi di kota Anging Mamiri ini sampai-sampai mengingatkan Aksa untuk bertidak hati-hati.

Tetapi karena keyakinan dan rasa percaya diri yang tinggi, bahwa yang dipikirkan Aksa adalah angkutan umum buat orang-orang yang memiliki uang banyak, dan mereka berasal dari kelas menengah ke atas, maka pilihan sebagai pionir di bisnis jasa taksi terbukti berhasil.

Aksa berkesimpulan, jika tidak memiliki keberanian dan kepercayaan diri jangan terjun menjadi enterpreneur. Wilayah ini adalah profesi yang bagaikan perang, tidak ada habis-habisnya. Pengusaha mulai bangun sudah harus memikirkan bagaiman memenangkan usaha, mulai tidur itu pula yang dipikirkan, bahkan saat mimpi di malam hari atau siang bolong sekalipun mimpinya adalah bagaimana memenangkan usaha. Seorang pengusaha barus berhenti berusaha setelah dipanggil ke liang lahat.

Studi Kasus Semen Bosowa

Penerapan prinsip dasar pengusaha yang demikian sudah Aksa Mahmud terapkan betul sejak awal menjadi pengusaha, termasuk tatkala mendirikan perusahaan semen bernama Semen Bosowa di tahun 1997. Saat itu hanya ada dua pengusaha nasional yang membangun industri semen. Tetapi Aksa berprinsip, kalau kedua orang itu bisa maka iapun pasti bisa pula.

Aksa lalu mengikuti semuah seminar mengenai industri semen termasuk di luar negeri. Di Singapura Aksa tertarik salah seorang pemakalah ekspert warganegara Swiss dan beragama muslim pula. Keduanya lalu berkenalan, berbicara, Aksa dengan terus terang mengutarakan niatnya hendak membangun industri semen di Sulawesi Selatan.

Ekspert asing itu tertarik membantu rupanya hanya karena rasa kasihan, begitu sedikitnya pengetahuan Aksa akan industri semen. “Karena Anda bercita-cita tinggi dan tidak punya pengetahuan,” kata ekspert itu memberi alasan mengapa rasa kasihannya timbul. “Saya bilang, itulah sebabnya saya pakai kau karena kau yang pintar dalam bidang itu. Jadi, kau lebih besar dari saya. Tapi saya harus lebih besar dari kau nanti,” kata Aksa.

Aksa berprinsip pengusaha harus lebih cerdasr dari orang pintar. Prinsip pengusaha memakai orang pintar dengan kecerdasannya, hingga kini masih berjalan dalam roda usaha Bosowa. Dalam bisnis Aksa selalu didampingi oleh profesional, sebab dalam manajemen perusahaan modern enterpreneur hanya menemukan (inventing) saja sifatnya, selanjutnya serahkan kepada profesional.

Aksa tak ragu menggaji ekspert asing tadi 15 ribu dollar AS sebulan, setara Rp 150 juta perbulan. Kemana-mana dia dibawa sebagai orang yang akan bertanggung-jawab mendirikan industri semen, termasuk menemui direksi sejumlah bank untuk memperoleh kepercayaan. Sempat timbul perbedaan pendapat, ekspert maunya mengerjakan proyek dari awal hingga selesai, dikerjakan oleh kontraktor asing, dan pemilik tinggal terima kunci saja saat selesai, atau biasa dikenal sebagai turn-key project.

Aksa sempat tak setuju sebab merasa bangsanya punya kemampuan membangun industri semen. Namun karena ada ketakutan profesionalnya itu pergi meninggalkan dirinya, yang bisa berakibat proyek bisa batal dan hancur, Aksa lalu mengalah, oke, setuju.

Terbuktilah pilihan profesional yang sistem turn-key project benar adanya. Delapan bulan setelah penanda-tanganan kontrak, pada pertengahan tahun 1997 resesi mulai menimpa Indonesia. Tetapi ekspert asing sebagai profesional dengan yakin malah mengatakan proyek semen milki Aksa hanya akan batal kalau dunia sudah kiamat.

“Begitu yakinnya dia dengan konsep profesional. Selam dunia belum kiamat proyek ini pasti selesai. Itulah yang membuat saya mengalah,” kata Aksa. Ketika resesi mencapai puncaknya, Semen Bosowa justru sudah mulai beroperasi pada tahun 1999.

Jalan Tol Bintaro

Kata Aksa, pengusaha juga harus tetap bisa melakukan transaksi kendati tidak ada pembeli, tidak ada barang, dan tidak ada uang. Kalau bicara uang, baru beli barang, berarti itu bukan pengusaha namannya. Yang hebat adalah, kalau pengusaha bisa beli barang tapi tidak punya uang. Modalnya adalah kepercayaan.

Dengan konsep demikian Aksa Mahmud di tahun 2005 berhasil memilki proyek Jalan Tol Bintaro Pondok Aren. Saat itu bank mau menjual 98% saham perusahaan pengelola jalan tol ruas Bintaro Pondok Aren. Dalam lelang, Aksa yang diwakili salah seorang anaknya menagjukan harga penawaran tertinggi. Ia yakin para penawar lain yang hadir bukanlah pemilki uang, mereka tak bisa memutuskan harga penawaran dalam waktu segera, karena itu pastilah ia menawa dari harga terendah dulu.

Berbeda denga Aksa yang langsung menawar pada harga tinggi, satu kali, dua kali, dan tiga kali harga penawaran sebesar Rp 300 milyar langsung diputus. Sebab tidak ada waktu bagi penawar lain untuk berdiskusi dengan owner-nya untuk menaikkan harga tawaran.

Ketika tiba waktunya untuk membayar, kecerdasan berikutnya yang dibutuhkan adalah bagaimana supaya uang orang yang dipakai untuk membeli saham tadi dibayar. Arus kas perusahaan dari pendapatan harian jalan tol jelas tiak sanggup untuk membayar hutang. Padahal prinsip lain pengusaha adalah, pintar meminjam harus lebih pintar lagi mengembalikannya demi untuk menjaga nama baik hingga tak sampai kehilangan kepercayaan.

Langkah jitu Aksa Mahmud selanjutnya adalah membeli salah sebuah perusahaan yang sudah listing di Bursa Efek Jakarta (BEJ), tentu dengan harga murah, disepakati sebesar Rp 12 milyar. Setelah dibeli, dan pemegang saham barunya yang dicatatkan adalah sebuah perusahaan pemilik dan pegelola jalan tol ruas Bintaro Pondok Aren, maka harga saham perusahaan listing ini sontak naik. Dari harga per lembar Rp 25 saat dibeli seharga Rp 12 milyar, melejit menjadi Rp 100 per lembar.

Modal perusahaan pun naik dari sebelumnya Rp 12 milyar menjadi Rp 1.5 trilyun. Dengan demikian, melepas 10% saja saham ke publik sudah dapat mengembalikan hutan. Berarti 90% untung sudah di tangan.

“Jadi, itulah permainan dalam dunia usaha. Enterpreneur itu sebenarnya adalah bagaimana bisa bermain denga situasi-situasi,” kata Aksa memberikan kiat jitu berusaha.

Pembangkit Listrik

Aksa masih memiliki pengalaman menari saat mendirikan pembangkit listrik. Tatkala mengikuti rombongan perjalanan Wakil Presiden Jusuf Kalla ke China, Aksa berkenalan dan mendekati salah seorang pengusaha China di sana.

Aksa bercerita ingin membangun proyek pembangkit tenaga listrik kapasitas 2 X 100 MW di Cirebon, Jawa Barat, izin sudah di tangan tetapi uang tak punya. Pengusaha negeri tirai bambu itu lalu bilang oke, dan bersedia datang ke Indonesia untuk berdiskusi.

Pembelian Bank Kesawan merupakan kisah sukses lain dari Aksa Mahmud sebagai enterpreneur sejati. Sama serpti saat mendirik Semen Bosowa, atau mendirikan pembangkit listrik di Cirebon, Aksa membeli Bank Kesawan tanpa memiliki uang kecuali negosiasikan bagaimana cara pembayarannya saja.

“Jadi, bagaimana cara memainkan kita beli barang ini, kemudian kita bisa memilki bank ini tanpa keluar uang, dan uang bank ini sendirilah yang kita pakai untuk membeli dirinya,” kata Aksa.

Ketika proses pembelian ditanda-tangani disepakati direktur utama dan direktur kredit yang baru nantinya haruslah orangnya Aksa Mahmud. Direktur sisanya boleh dipegang oleh orang lain.
(Sumber Majalah Berita Indonesia – 27/ 2006)
Bacaan Selanjutnya!

Pendidikan Budi Pekerti Kita

Oleh : Mochtar Buchori*)

Ketika saya masih di tweede inlandsche school (pribumi kelas dua, setara SD), pendidikan budi pekeri (singkatan resminya PBP) disampaikan melalui dongeng. Tiap dongeng di tutup dengan kata-kata “Liding dongeng…”, artinya inti cerita. Di sinilah moral cerita dirumuskan.

Pada pendudukan Jepang, saya murid sekoalh guru. PBP dierikan dalam bentuk indoktrinasi. Dan, di zaman reformasi, fungsi PBP diambil alih pendidikan agama, dilakukan melalui khotbah atau nasihat. Bagaimana PBP sebaiknya dilaksanakan dalam situasi bangsa serta krisis ini?

Inilah pertanyaan dasar Temu Warga Sekolah membicarakan PBP dan dihadiiri sekitar 80 guru. Bersama Dr Daoed Joesoef, saya diminta menjadi narasumber.

Cara Berbeda

Melalui pertemuan itu, amat diharap agar pendidikan budi pekerti dipikirkan guna mengatasi krisis bangsa. Pertemuan diharapkan membahas cara-cara menyelenggarakan PBP. Untuk itu saya menggunakan pendekatan “Pendidikan Budi Pekerti dalam Konteks Regenerasi Bangsa”.

Untuk itu, penyelenggaraan PBP selayaknya berbeda dari cara-cara konvensional. Alasannya, tujuan utama PBP konvensional adalah melahirkan individu yang saleh, bermoral, berbudi pekeri luhur, dan sebagainya. Sedangkan tujuan utama PBP untuk regenerasi bangsa adalah melahirkan generasi yang berwatak dan cakap.

Dengan kata lain, PHP konvensional mengacu moralitas individual, sedangkan PBP regenerasi bangsa mengacu moralitas kolektif. Ini perbedaan esensial, sebab kemelut bangsa ini lahir dari lemahnya moralitas kolektif. Menghadapi ketidakadilan di masyarakat, kebayakan dari kita bersikap mengambil jarak. Saya terkena atau tidak? Untuk apa ribut, kalau ketidakadilan tidak menyentuh saya? Sikap ini lahir dari kuatnya tradisi moralitas individual dan lemahnya moralitas kolektif di masyarakat. Antara dua jensi moralitas ini tidak ada keseimbangan dan ketersambungan.

Maka, berdasarkan perbedaan itu, PHP konvensional mengutamakan pembinaan kepribadian perorangan, tidak memerhatikan pembinaan kepribadian kelompok. Kepribadian bangsa adalah bentuk terakhir kepribadian masyarakat kita.

Perbedaan kedua antara PBP konvensional dan PBP untuk regenerasi bangsa terletak pada cara memaknai kata “moral”, “moralitas”, dan “pendidikan moral”. Dalam PBP konvensional, “pendidikan moral” terbatas pada kegiatan membimbing siswa mengenal norma-norma etika, tidak menyentuh pengamalan nilai-nilai itu. Dalam PBP untuk regenerasi bangsa konsep “moralitas” dan “pendidikan moral” diperdalam, tak hanya mengenal nilai-nilai, tetapi juga memahami, menghayati dan mengamalkannya.

Ada perbedaan asumsi pada dua jenis PBP ini. PBP konvensional berasumsi, mengenal nilai-nilai, otomatis akan mengantar anak ke pengamalan. PBP regenerasi bangsa berasumsi, antara mengenal nilai-nilai dan mengamalkan, ada jarak mental yang panjang penuh hambatan. Hambatan mental akan teratasi bila ada bimbingan dari pendidik.

Hanya PBP yang berusaha membimbing siswa menjalani proses mental yang panjang akan melahirkan generasi yang memilki moralitas kolektif dan kepribadian kelompok. PBP yang hanya mengandalkan khotbah, nasihat dan indoktrinasi tidak akan mampu melahirkan generasi yang memiliki moralitas kelompok dan watak bangsa.

Selain itu, PBP konvesional melupakan kenyataan, jika tak diangga realisme akan menghasilkan moralitas naif. Reinghold Niebuhr (1892-1971), mengingatkan, “Moralitay without ralism is naivite or worse, and realism without morality is cynicism or worse”.

Bagaimana sebaiknya PBP diselenggarakan agar melahirkan generasi dengan moralitas realistik? Meminjam ungkapan Lawrence Pintak, kolumnis AS, untuk membuat generasi mendatan menerima nilai-nilai pembaruan, “kita harus melibatkan mereka dalam penyelesaian persoalan, tidak menyalahkan mereka karena tidak meneruskan jejak generasi lampau. Kita harus berkomunikasi dengan mereka, idak mengkhotbahi mereka” (You must engage them, and not dermonize / You must communicate, and not preach).

Berdasarkan prinsip-prinsip ini, dapat dikatakan, PBP untuk regenerasi bangsa mengharuskan para guru berbagi keresahan dan harapan (sharing concerns and hopes) dengan murid, selain berbagi ketahuan dan ketidak-tahuan (sharing knowledge and ignorance).

Pelaksanaan

Temu Warga Sekolah, juga mengajukan dua pertanyaan, siapa yang harus melaksanakan PBP? Serta, haruskah ada mata ajar khusus untuk PBP?

Seharusnya, setiap guru berkewajiban melaksanakan PBP ini. PBP dapat dilaksanakan melalui pelajaran apa saja: Matematika, Bahasa dan Sastra, Sejarah, Pendidikan Jasmani, dan sebagainya. Dalam setiap mata ajar, ada seperangkat nilai yang jarang diungkapkan eksplisit. Dengan demikian, nilai-nilai itu tidak diketahui, tidak dipahami, dan tidak diamalkan oleh siswa. Kebiasaan tidak mengungkap secara eksplisit nilai-nilai dalam mata ajar ini timbul dari tradisi lama yang memisahkan pendidikan untuk mendapatkan pengetahuan (education for knowledge) dari pendidikan untuk mengenal dan memahami nilai-nilai (value education). Dari tradisi ini timbul semboyan knowledge is power dan kebiasaan mengutamakan penguasaan pengetahuan faktual (factual knowledge) dalam ujian. Dari praksis pendidikan seperti ini muncul generasi dengan perkembangan yang tidak imbang antara ketajaman otak dan kepekaan perasaan.

Berdasarkan pandangan ini, menurut saya, tak perlu ada mata ajar khusus budi pekerti. Yang diperlukan ialah, tiap guru melalui mata ajar yang diambil, eksplisit menjelaskan nilai-nilai yang ada dalam mata ajarnya. Petugas bimbingan dan penyuluhan membimbing siswa mendiskusikan segenap jenis nilai yang telah disentuh guru. Melalui diskusi mereka dituntun memahami makna nilai-nilai itu dalam kehidupan nyata. Melalui proses ini para siswa akan meyusun sendiri nilai (value system) mereka, baik sistem nilai pribadi maupun sistem nilai kelompok. Perlu diingat, dalam setiap bangsa yang mampu memperbarui diri, tiap generasi menyusun sendiri sistem nilai yang akan dianut selama suatu kurun waktu.

Bisakah gagasan PBP ini dilaksanakan? Tergantung kuat-lemahnya tekad kita memperbarui diri terutama dalam kehidupan politik dan kultural.
*) Mochtar Buchori, Pendidik, (Sumber Kompas - Kamis, 28/12/2006).
Bacaan Selanjutnya!

Tuesday, December 19, 2006

Perguruan Tinggi, Cermin Globalisasi

Oleh : Imam Cahyono *)

A revolution is coming in the field of lobal education” (Kishore Mahbubani). Globalisasi tak lagi sekedar teori, tetapi kenyataan yang kita hadapi sehari-hari.

Ia tidak melulu soal sepak terjang lembaga keuangan internasional (IFIs) atau korporasi multinasional (MNCs). Dalam era kemajuan pengetahuan dan teknologi, laju globalisasi bisa disimak pada kiprah perguruan tinggi. Kini universitas kian mengglobal. Selain menjadi ajang komptetisi ilmu pengetahuan, perguruan tinggi juga menjadi instrumen perdamaian, menyemai toleransi, saling memahami keragaman nilai, budaya dan tradisi.

Miniatur Globalisasi

Kini, hampir semua universitas mencari mahasiswa dari berbagai penjuru dunia. Presiden Yale University Richard Levin mencatat, jumlah mahasiswa yang meninggalkan kampung halaman untuk belajar ke luar negeri selama tiga dekade terakhir tumbuh rata-rata 3,9 persen pertahun, dari 800.000 orang (1975), menjadi 2,5 juta orang (2004).

Sedikitnya 30 persen mahasiswa perantauan mendapat gelar doktor dari AS dan 38 persen dari Inggris. Untuk program S1, 8 persen mahasiswa asing meraih gelar dari AS dan 10 persen dari Inggris. Di AS, 20 persen profesor baru di bidang ilmu eksakta dan teknik berasal adalah mahasiswa perantauan.

Universitas juga memberi kesempatan kepada mahasiswa untuk melawat ke negara lain. Tiap tahun, sedikitnya 140.000 mahasiswa dari Eropa mengikuti program pertukaran ke berbagai negara. Institusi pendidikan di AS berupaya menyiapkan mahasiswa untuk berkarier global dengan magang atau ikut pelatihan di negara lain. Kerja sama antar universitas, seperti program John Hopkins-Najing, Program Duke-Goethe dan aliansi MIT-Singapore merupakan bukti interkoneksi dunia.

AS berupaya menjaga reputasinya dengan menanamkan investasi dan mendukung riset universitas berbasis ilmu pengetahuan (iptek) terutama bidang kesehatan, pertanian, pertahanan, dan energi. AS pun konsisten memimpin dunia dalam komersialisasi teknologi baru seperti komputer, infrastruktur internet dan aplikasi perangkat lunak (software). Ini tak lepas dari kerja sama universitas dengan dunia industri seperti hadirnya lembah silikon ciptaan Stanford University dan Route 128 Boston, hasil kolaborasi industri dengan MIT dan Havard.

Menurut data bidang pendidikan Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) 2006, Perancis, Italia, Inggris, dan Jerman terus mengalami penurunan prestasi. Sebaliknya, seperti Finlandia, Swedia, dan Norwegia, menduduki peringkat terbaik dalam investasi pendidikan maupun performa.

Replikasi Barat

Selama beberapa dekade, hampir semua universitas terbaik Asia mengadopsi gaya universitas Amerika Utara baik metode pendidikan, sistem, maupun riset. Jepang sukses melakukan modernisasi melalui aplikasi pendidikan model Barat. Sejak Restorasi Meiji, kaum muda Jepang ke Barat untuk belajar di universitas terbaik dan mempraktikkan apa yang mereka dapat. Jepang konsisten mengalokasikan dana riset universitas, jumlahnya terus meningkat, mencapai 57 persen dari tahun 2000 hingga 2004.

Perubahan dahsyat juga dilakukan China yang terus mengembangkan universitas kelas dunia. Sejak Deng Xiaoping mengizinkan warganya belajar di Barat tahun 1978, China terus mengirimkan pelajar terbaik demi menempuh pendidikan terbaik, terutama program doktoral. Universitas dijadikan instrumen stimulasi pertumbuhan ekonomi. Investasi dalam bidang riset ilmiah amat mendukung kekuatan ekonomi nasional. Kemajuan teknologi memengaruhi kampus-kampus di China terutama Peking University dan Tsinghua University di Beijing, serta Fudan University dan Shanghai Jiatong University di Shanghai.

India tak ketinggalan. Ia mengadopsi model pendidikan Inggris, dengan membuka sekolah ala Barat. Kini, negara itu memiliki 1.350 kampus teknik, termasuk Indian Institute of Technology. Tiap tahun, kampus memproduksi 280.000 insinyur ahli informasi dan teknologi. India melaju sebagai raksasa ekonomi yang diperhitungkan dunia.

Revolusi dari Timur

Buaian kemapanan paradigma lama fotokopi pendidikan tinggi ala Barat mendapat kritik keras dari Kishore Mahbubani. Dekan Lee Kwan Yew School of Public Policy itu menegaskan, kepemimpinan Asia adalah hal yang tak terelakan. Asia telah tumbuh sebagai kekuatan raksasa yang terus melaju menyaingi AS dan Uni Eropa. Pendulum peradaban bergerak dan berkiblat ke Timur. Dunia dapat belajar dari peradaban China dan India, mulai dari sastra hingga filsafat, dari pengobatan tradisional hingga strategi berpikir. Menurut Mahbubani, agar tidak terus mengekor ke Barat, universitas di Asia harus terus berkreasi dan giat melakukan inovasi.

Lantas, bagaimana dengan Indonesia? Kampus paling prestisius di Indonesia selalu menduduki peringkat bawah universitas-universitas di Asia, alias anak bawang. Dengan Malaysia saja, universitas kita jauh tertinggal.

Kemajuan atau kemunduran perguruan tinggi bisa dijadikan cermin sejauh mana sebuah negara menghadapi kompetisi pada era globalisasi. Di sinilah intervensi negara amat diperlukan.
*) Imam Cahyono, Peneliti. (Sumber Harian Kompas - Selasa, 19 Desember 2006)

Bacaan Selanjutnya!

Monday, November 06, 2006

Kapan Kita Memilki E-University ?

Oleh : Ki Supriyoko *)
Publikasi majalah The Times di Inggris tentang nama-nama perguruan tinggi kelas dunia baru-baru ini ada sebagian yang menyedihkan dan ada sebagian lain yang membanggakan kita. Menyedihkan karena tidak ada satu pun pertguruan tinggi Indonesia yang masuk dalam jajaran “elite“. Membanggakan karena salah satu perguruan tinggi Indonesia, yaitu UGM Johgjakarta, menjadi salah satu perguruan tinggi berkelas dunia (world university) untuk bidang ilmu tertentu.

Sepuluh perguruan tinggi terbaik kelas dunia tahun2006, Top 10 World Universites, adalah Harvard University (US), Massachusetts Institute of Technology (US), University of Cabridge (UK), University of Oxford (UK), Standford University (US), University of California Berkeley(US), Yale University(US), California Institute of Technology (US), Princeton University(US), dan Ecoley Polytechnique(UK).

Yang menyedihkan tidak ada satu pun perguruan tinggi di Indonesia yang masuk di dalamnya. Jangankan Indonesia, perguruan tinggi di Jepang, Singapura, dan Australia pun gagal. Yang membanggakan, UGM menjadi satu di antara 100 perguruan tinggi terbaik dunia untuk bidang ilmu-ilmu sosial (social sciences), ilmu-ilmu budaya dan humaniora (art adn humanities), dan ilmu-ilmu biomedis (biomedicines).

E-University

Sejumlah nama yang dipublikasikan The Times memang perguruan tinggi terbaik berkelas dunia untuk ukuran konvensional. Harvard University (US) misalnya,. Siapapun tahu lembaga itu memilki infra dan supra-struktur universitas yang memadai. Sebagian dosennya, selain memiliki gelar akademis yang memadai, doktor dalam disiplin ilmu yang mumpuni, memiliki pengalaman profesionalisme yang tak diragukan.

Banyak mantan penjabat pemerintah, dengan segala ilmu seperti pemerintahan, keuangan, politik, administrasi, bersedia menjadi dosen. Mantan direktur Bank Indonesia juga mejadi dosen di universitas ini.
Di samping menjadi perguruan tinggi terbaik dunia dalam ukuran konvensional, ternyata Harvard University pun menjadi perguruan tinggi “modern“ kelas atas; perguruan yang banyak menggunakan jasa teknologi informasi internet dalam mengakses ilmu dan informasi akademis lainnya.

Sebuah hasil studi yang barus saja dilakukan “Centro de Informacion Documentatcion Cientifica (CINDOC) dan Consejo Superior de Investigaciones Cientificas (CSIC) berhasil membuat daftar tiga ribu perguruan tinggi di dunia menurut familiartas civitas akademikanya dalam menggunakan internet untuk melakukan komunikasi akademik, seperti mengakses ilmu dan informasi, mempublikasi karya-karya ilmiah, serta melakukan kontak akademis dengan relasi.

Meskipun lembaga internasional tersebut tidak menggunakan istilah electronic-university atau e-university, penggunaan internet yang tinggi, baik frekuensi maupun efektivitasnya, sebenarnya sudah mengarah pada terbentuknya e-university.

Di antara tiga ribu perguruan tinggi terbaik dunai dalam penggunaan internet bagi civitas akademiknya, ternyata Havard University berhasil menempati ranking ke-2. Apakah artinya itu semua? Artinya, di samping terbaik dalam ukuran konvensional, ternyata Havard University pun juga terbaik (kedua) dalam ukuran modern.
Kalau kita sepakat bahwa perguruan tinggi yang akrab denga internet dalam melakukan komunikasi akademis bagi civitas akademikanya sebagai e-university, universitas jenis ini “diborong“ oleh perguruan tinggi di Amerika Serikat (AS).

Apabila kita cermati 50 perguruan tinggi terbaik, mulai ranking ke-1 hingga ke-50, Top 50 Webometrics Ranking of World Universities, 45 diantaranya adalah perguruan tinggi yang berkiprah di AS. Dimulai dari ranking ke-1 University of California Berkeley (US), ke-2 Harvard University (US), ke-3 Massachusetts Institute of Technology (US), sampai dengan ranking ke-50 University of Georgia (US) memang didominasi perguruan tinggi di AS.

Tanpa bermaksud mengkultuskan AS, kita harus mengakui kehebatan AS dalam berteknologi informasi. Di situlah kelebihan perguruan tinggi di AS jika dibandingkan denga perguruan tinggi di negara mana pun; termasuk di negara yang penguasaan teknologinya tergolong hebat seperti Inggris, Jerman, dan Jepanga. Sejujurnya, sekarang ini siapa pun tidak akan mampu belajar di AS kalu yang bersangkutan menderita gagap teknologi.

Bagaimana Indonesia? Apakah sudah ada perguruan tinggi kita yang civitas akademikanya akrab dengan internet dalam berkomuniasi akademis? Apakah sekarang kita sudah memiliki e-university sebagaimana perguruan tinggi di AS?

Untuk menjawab secara objektif pertanyaan tersebut, kita dapat membaca nama-nama perguruan tinggi terbaik versi CINDOC dan CSIC. Dari daftar 250 perguruan tinggi terbaik, Top 250 Webometrics Ranking of World Universities, ternyata tidak ada satupun nama perguruan tinggi di Indonesia yang muncul. Di luar perguruan tinggi di AS, memang banyak perguruan tingg yang muncul. Misalnya ranking ke-21 University of Oxford (UK), ke-32 University of Toronto (Canada), ke-159 National Taiwan University, dan ke-175 Kyoto University.

Apakah e-university terseut hanya dimiliki oleh negara-negara maju seperti AS, Inggris, dan Jerman? Oh, tidak! Di negara-negara berkembang pun ternyata mulai ada perguruan tinggi yang civitas akademianya akrab dengan internet. Di Mexico ada University Nacional Autonoma de Mexico, di Israel ada Hebrew University of Jerusalem, di Spanyol ada University Complutense Madrid, dsb. Civitas akademika perguruan tinggi di negara-negara berkembang ini pun sudah akrab dengan internet.

Jadi, e-university itu bukanlah mutlak milik negara maju. Di negara-negara berkembang pun ternyata banyak ditemui perguruan tinggi yang (berpotensi) menjadi e-university. Tetapi, perguruan seperti itu hanya berada pada negara yang pemerintahnya memang memiliki perhatian serius untuk mengembangkan sekaligus mengaplikasi teknologi informasi untuk kepentingan pendidikan. Sekali lagi, bagaimana di Indonesia ...?!!!.

*) Prof. Dr. Ki Supriyoko MPd, adalah Ketua Majelis Luhur Taman Siswa dan Wakil Presiden Pan-Pacific Association of Private Organization (PAPE) di Tokyo Jepang.
(Sumber Harian Indo-Pos- Jumat, 3 November 2006)
Bacaan Selanjutnya!

Atasi Stagnan Pemikiran Pendidikan

Oleh : Paulus Mujiran *)

Pemikiran pendidikan di Indonesia cenderung mengalami kemandekan. Padahal, pemikiran pendidikan merupakan roh yang menyatukan antara isi pendidikan dengan kebudayaan masyarakat. Polemik berkepanjangan ujian nasional (UN) dan kurikulum baru sangat berkaitan dengan miskinnya pemikiran pendidikan. Hampir tidak ada gagasan alternatif yang mampu mengurai kebuntuan masalah ini. Bahkan disinyalir, inilah akar masalah mengapa kualitas pendidikan dari waktu ke waktu terus merosot.

Jangankan mengembangkan pemikiran pendidikan, perguruan tinggi yang memiliki lembaga pendidikan tenaga keguruan (LPTK) pun tidak lagi memperkenanlkan kepada mahasiswanya pengetahuan mendalam dalam pendidikan, baik filsafat maupun sosiologi pendidikan. Padahal, LPTK sampai sekarang ini adalah “pabriknya” pendidik dari taman kanak-kanak (TK) sampai jenjang SLTA. LPTK saat ini terlalu sibuk dengan program-program studi dan proyek-proyek teknis dan kurang mengembangkan pemikiran pendidikan yang berakar pada kultur Indonesia.

Pemikiran pendidikan hanya selintas diberikan dalam pengantar ilmu pendidikan. Itu pun sangat bergantung pada dosennya sehingga tidak mengherankan apabila lulusan LPTK tidak mengenal tokoh-tokoh pemikiran progresif, apalagi pemikirannya dalam dunia pendidikan. Yang ironisnya tidak ada pusat studi di LPTK yang secara khusus di kaitkan dengan upaya pengembangan pemikiran pendidikan.

Miskinnya pemikiran pendidikan di Indonesia merupakan akbiat dan penjajahan materialisme, termasuk dalam dunia pendidikan. Manusia disejajarkan dengan modal dan diperlakukan sebagai faktor produksi. Maka, unsur-unsur non-kapital tidak dimasukkan dalam pendidikan. Ilmu-ilmu yang dikaitkan dengan nalar dan sikap cenderung tidak diajarkan lagi secara mendalam. Kecenderungan itu terjadi pula dalam lembaga-lembaga pendidikan calon guru.

Kemandekan terjadi antara lain karena belakangan pemikiran pendidikan lebih ditekankan pada manajemen dan birokrasi. Sedangkan pemikiran pendidikan yang mendalam, dalam hal ini pencarian terhadap makna pendidikan, tidak dikembangkan atau kurang mendapat perhatian. Justru yang ada sekarang, dalam kebijakan pendidikannya, terdapat kecenderungan pemerintah mengikuti pasar. Konsentrasi pendirian dan pengembangan fakultas, didorong pengembangan bidang teknologi karena pasti lebih laku. Demikian pula dalam bantuan pendanaan.

Pemikiran dan filsafat pendidikan, seharusnya merupakan hal yang penting dalam pendidikan calon guru. Karena melalui pemikiran dan filsafat pendidikan, nalar dan watak calon guru dikembangkan. Ketika dalam format IKIP, guru lebih banyak dibebani ilmu mendidik, namun penguasaan ilmu yang diajarkan kurang. Akan tetapi, setelah berubah menjadi universitas, keadaannya makin parah karena mengikuti tuntutan pasar.

Dalam harl ini, seharusnya, pemikiran dan filsafat pendidikan diberikan lagi kepada calon guru, baik dalam pendidikan profesi maupun pada tingkat pasca-sarjana. Tanpa itu guru akan bertingkah laku seperti operator mesin, sangat bergantung pada buku-buku panduan karena tidak menguasai ilmunya. Akibat kemiskinan dalam pemikiran pendidikan, tidak ada alternatif dalam pemikiran pendidikan di Indonesia. Dampaknya, suasana pendidikan menjadi kering dan kurang mengakar.

Akibat pengetahuan pendidikan yang diberikan kepada mahasiswa juga tidak menawarkan pemikiran alternatif. Secara institusional, para calon guru tidak disiapkan untuk mengenal dan menciptakan pemikiran pendidikan. Padahal, amahasiswa seharusnya dididik tidak hanya menjadi operator, tetapi juga menjadi pemikir atau pekerja budaya. Setelah Ki Hadjar Dewantara, Mohammad Syafei, dan JB Mangunwijaya, tidak adal lagi pemikir pendidikan di Indonesia.

Dalam tingaktan praktis memang muncul benih-benih pemikiran pendidikan seperti terlihat dengan eksperimentasi pendidikan-pendidikan alternatif, namun minimnya roh pendidikan perlu ada gerakan kolektif untuk menghidupkan pemikiran pendidikan di Indonesia. Pemikiran-pemikiran pendidikan yang berakar pada kultur Indonesia perlu dikembangkan karena teori-teori pendidkan lahir dari buaya lain. LPTK semestinya mengambil peran untuk mengembangkan pemikiran pendidikan yang kontekstual.

Kemandekan pemikiran pendidikan di Indonesia terjadi karena pemikiran-pemikiran yang berasal dari Barat lebih dikedepankan dalam pembuatan kebijakan maupun praktik pendidikan. Tanpa keberpihakan politik, tidak pernah lahir pemikiran dari tokoh-tokoh lokal, seperti Ki Hadjar Dewantara, Mohammad Syafei, dan JB Mangunwijaya, ataupun gagasan-gagasan pendidikan orisinal yang bersumber dari budaya sendiri tidak mungkin berkembang. Pendidikan kini juga tidak mampu melahirkan pemikir-pemikir brilian dalam pendidikan. Dosen-dosen juga tidak ubahnya sebagai operator.

Gagasan-gagasan orisinal dalam pendidikan, sebenarnya terus bermunculan, termasuk dalam wujud sekolah-sekolah alternatif. Akan tetapi, eksperimen tersebut tidak bisa berkembang menjadi pemikiran pendidikan yang mendalam karena keberadaan mereka belum diterima dengan lapang dada. Diskusi-diskusi tentang pemikiran pendidikan juga terus berkembang di kalangan pengelola LPTK. Namun, diskusi berkepanjangan tidak ada tindak lanjutnya baik dalam bentuk publikasi maupun implementasi dalam kebijakan.

Kemandekan terjadi karena kita cenderung menerima barang jadi dari Amerika, Eropa, atau Australia. Gagasan-gagasan asing cenderung lebih mudah diadopsi ketimbang pemikiran-pemikiran lokal. Pemikiran-pemikiran pendidikan dari budaya Timur pun tidak pernah memperoleh perhatian memadai. Kita kurang punya kebanggaan pada pemikiran-pemikiran lokal. Padahal UNESCO justru mulai memakai pemikiran-pemikiran seperti yang digagas Ki Hadjar Dewantara atau Mohammad Syafei.

Mandeknya pemikiran pendidikan ini merupakan cermin pendidikan secara umum makin merosot. Hal ini terlihat dari menurunya kualitas dan penghargaan terhadap riset serta penurunan kualitas sumber daya manusia. Persoalan tersebut tidak lepas dari sejarah, yakni ketika bangsa Indonesia kehilangan momentum untuk membangun dunia pendidikannya.

Setelah merdeka, Indonesia sibuk dengan permasalah politik. Masa Orde Baru yang seharusnya dimanfaatkan untuk pembangunan modal intelektual malah difokuskan pada eksploitasi sumber daya alam. Kemandekan terhadap pemikiran pendidikan di perguruan tinggi, tak lepas dari kenyataan kurangnya perhatian pada ilmu pendidikan.

Padahal, untuk mengembangkan pemikiran pendidikan mendasar diperlukan pengembangan jurusan yang khusus memerhatikan subjek ilmu tersebut. Kurangnya perhatian dalam pengembangan pemikiran pendidikan di samping karena keterbatasan dana yang dimiliki LPTK, juga lemahnya kebijakan yang berpihak. Karena keterbatasan pendanaan pula sumber belajar seperti buku, jurnal, akses internet, dan fasilitas lain menjadi sangat terbatas.
*) Paulus Mujiran, adalah Pendidik, dan Ketua Pelaksana Yayasan Kesejahteraan Keluarga Soegijapranata, Semarang. (Sumber Media Indonesia- Kamis, 2 November 2006)
Bacaan Selanjutnya!

Thursday, November 02, 2006

Tuhan, Agama, dan Negara
Oleh : Komaruddin Hidayat *)

Otoritas yang bersumber pada Tuhan, agama, dan negara sering bertabrakan dalam panggung sejarah. Masing-masing menawarkan keselamatan dan pembebasan sekaligus menuntut loyalitas dan pengorbanan. Rasionalitas ketiganya berbeda dalam mewujudkan eksistensi dan peran di masyarakat yang penuh paradoks.

Ketiganya abstrak, tetapi peran dan pengaruhnya amat besar dalam sejarah kemanusiaan. Secara ontologis, agama dan negara adalah deviasi dan akbiat firman Tuhan, karena Tuhan adalah Maha-absolut, sumber dan akhir segala wujud. Namun, kini ketiganya hadir bersama dalam kesadaran manusia, menjelma dalam lembaga yang adakalanya saling memperebutkan hegemoni. Pada awal diwahyukan, firman Tuhan selalu memihak kaum tertindas dan melahirkan gerakan politik emansipatoris. Dalam perjalanannya, firman Tuhan terbelenggu lembaga yang kemudian dikooptasi tokoh-tokohnya dengan mengatas-namakan Tuhan dalam semua tindakan yang adakalanya represif-manipulatif.

Padahal, sejatinya ada rentang metafisis dan kognitif yang jauh antara Tuhan dan penalaran tokoh agama. Masing-masing pada arsy berbeda. Pemikiran agama adalah produk historis yang penuh muatan budaya, bersifat kondisional, dan relatif. Sementara Firman (F besar) bersifat absolut, tidak mungkin diraih secara utuh oleh nalar manusia yang nisbi.

Namun, tak jarang tokoh agama berbicara dan bertindak berdasar persepsi dan kepentingan pribadim disakralisasi atas nama Tuhan agar berbobot sehingga lebih berwibawa saat akan mempengaruhi massa.

Semua agama sepakat, Tuhan adalah Esa. Dialah satu-satunya pencipta dan pemelihara semestam tetaou manusia memanggil-Nya dengan nama-nama berbeda-beda. Selain beda sebutan, titik pokok perbedaan ada pada pemahaman, penafsiran dan keyakinan seputar relasi Tuhan-manusia serta Tuhan-semesta.

Mereka yang beriman dan ber-Islam pada Tuhan yakin, Tuhan Maha Kasih tetapi akan bertindak sebagai hakim yang mengadili semua yang manusia perbuat di bumi di akhirat. Bagi faham deisme, alam dipandang bagai jam raksasa yang bekerja otomatis, dan Tuhan bagai Sang Pencipta tidak akan campur tangan setelah ciptaan-Nya selesai.

Kontestasi Agama dan Negara

Pemahaman, sosok agama, dan negara senantiasa berkembang. Muatan dan spirit keberagaman yang lahir belasan abad lalu pasti mengalami perkembangan karena zaman berubah.

Meski semula agama diyakini sebagai firman Tuhan yang menyejarah, pada urutannya lembaga-lembaga agama berkembang otonom di bawah kekuasaan tokoh-tokohnya. Wibawa Tuhan lamu mendapat saingan berupa institusi agama dan negara. Bahkan negara lebih berkuasa dibandingkan dengan Tuhan dan agama dalam mengendalikan masyarakat. Atas nama negara, sebuah rezim bisa memberangus agama karena beranggapan, berbeda agama berarti berbeda Tuhan, dan perbedaan berarti ancaman bagi yang lain sehingga negara tampil sebagai hakim.

Dalam realitas sosial-politik, berbagai upaya dicari untuk menemukan format tepat bagaimana memosisikan ketiganya, yaitu kebertuhanan, keberagamaan, dan kebernegaraan. Indonesai sebagai negara yang rakyatnya memiliki semangat beragama yang tinggi sering digoyang tidak hanya oleh gelombang pasar global, tetapi juga konflik solidaritas dan loyalitas keagamaan yang melampaui sentimen nasionalisme dan kemanusiaan. Sering orang lebih membela kepentingan kelompok seagama meski di luar wilayah Indonesia. Atau lebih loyal pada kelompok atau partai yang mengusung simbol agama ketimbang pada cita-cita berbangsa, bernegara, dan kemanusiaan.

Ketika kontestasi antara negara dan agama melahirkan krisis, sementara ruang agama dan negara dirasakan pengap, orang merindukan Tuhan melalui caranya sendiri, di luar institusi agama. Mereka tak lagi percaya pada pengkhotbah dan janji-janji modernisme yang ditawarkan negara. Lalu muncul gerakan spiritual dan mistik yang ingin memperoleh pencerahan dan ketenangan batin di luar syariah agama. Mereka membangun dunia maya guna menemukan kembali spiritualitas (virtual world of spirituality)

Maraknya pusat meditasi dan latihan spiritual menjadi indikasi krisis kepercayaan pada lembaga agama, ilmuwan, dan politisi yang dinilai gagal menciptakan kesejahteraan dan kedamaian. Tidak heran jika muncul pemberontakan intelektual terhadap lembaga agama dan politisi yang keduanya sering bertengkar dan berkolaborasi.

Membangun sintesa

Secara teoritis normatif, baik agama maupun negara muncul untuk melayani masyarakat. Bahkan, negara merupakan anak kandung masyarakat. Tetapi, pada perjalanannya, lembaga agama dan negara sering meninggalkan jati dirinya sebagai pengayom, lalu berkolaborasi untuk mengawetkan kepentingan kelompok elite penguasa sambil menindas masyarakat.

Tampaknya bangsa Indonesia masih bingung menemukan hubungan maan untuk mempertemukan kesetiaan warganya pada Tuhan, agama dan negara. Idealnya, ketiganya bersinergi membangun sintesa sehingga semangat kebertuhanan dan keloyalitas pada institusi agama memperkuat loyalitas dan etika bernegara.

Konflik loyalitas dan pendekatan pragmatis serta ad hoc terhadap masalah besar akan terlihat tiap menjelang pemilu. Sepak terjang penguasa, elite politik, dan tokoh agama berebut massa guna mendapat legitimasi kekuatan politik. Mengamati pemilu lalu, banyak tokoh agama berdiri dengan pijakan massa, bergandengan dengan politisi yang mengedepankan idiom kenegaraan dan menghadirkan Tuhan untuk menyakaralkan permainan panggung politik yag sarat kalkulasi untung rugi.

Benturan dan kompromi antara ranah Tuhan, agama, dan negara tidak saja terjadi di Indonesia, tetapi juga tataran global. Benturan kian seru saat kekuatan modal besar yang diusung kapitalisme berlomba menancapkan pengaruhnya sehingga hegemoni Tuhan, agama, dan negara mendapat pesaing baru bernama kekuatan modal. Berapa banyak sarjana terbaik bangsa ini bekerja di kantor perbankan dan perusahaan besar tetapi tidak tahu untuk apa dan siapa mereka bekerja?

*) Komaruddin Hidayat, Direktur Program Pascasarjana UIN Jakarta.
(Sumber Harian Kompas - Jumat, 27 Oktober 2006)
Bacaan Selanjutnya!