Menyelamatkan Pendidikan Nasional
Oleh : Arief Rahman *)
Oleh : Arief Rahman *)
Kontroversi ujian nasional (UN) pada dasarnya bermula dari keinginan pemerintah untuk menjadikan kebijakan tersebut sebagai evaluasi keberhasilan dan prestasi proses belajar-mengajar dari siswa selama di sekolah. Yakni, dengan menetapkan standar tunggall kelulusan pada tiga mata pelajaran yang diujikan, tanpa adanya ujian ulangan.
Kalau UN hanya ditujukan untuk mendapatkan peta prestasi akademik di tingkat sekolah menengah atas dan sekolah menengah pertama, hampir dapat dipastikan tidak akan menetaskan berita hangat di media massa sebagaimana yang terjadi sekarang ini. Misalnya, peserta didik yang tidak lulus UN berjuang agar Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) menyelenggarakan ujian ulangan seperti tahun ajaran 2004-2005. Berita lain, SMK Negeri I Cilegon diharuskan mengulan UN karena ditemukan bukti ada joki UN. Sejumlah kepada sekolah mengambil kebijakan sendiri dengan memberikan kelonggaran bagi siswa yang tidak lulus UN, tetapi memiliki catatan prestasi bagus selama ia sekoalh dan dinyatakan lulus. Dan, ada pula yang melampiaskan kekesalan dengan membakar sekolahnya sendiri.
Berita hangat diturunkan Media Indonesia antara 21 hingga 22 Juni 2006 adalah akibat pemerintah menjadikan UN sebagai factor penentu kelulusan siswa SMP dan SMA atau sederajat degan hanya menggunakan tiga mata pelajaran yang secara nasional diujikan. Padahal proses pembelajaran yang dilakukan di sekolah selama tiga tahun menjadi tidak terlalu berarti. Artinya jerih payah siswa selama tiga tahun direduksi ke dalam tiga mata pelajaran, yaitu bahasa Inggris, matematika dan bahasa Indonesia, dengan batasan skor minimal 4,26 bagi setiap mata pelajaran yang diujikan.
Jauh hari pemerintah memang telah menyosialisasikan bahwa untuk tahun ajaran 2005-2006 tidak akan diadakan UN seperti tahun sebelumnya, Rambu-rambu itu memang sedikit banyak telah menjadi pengarah yang memotivasi belajar para siswa untuk mencapai tujuan. Sejumlah sekolah terpicu meningkatkan kualitas pengajaran agar bisa mencapai prestasi 100% tingkat kelulusannya.
Dalam rangka mencapai tujuan itu banyak siswa ikut bimbingan belajar, baik yang diselenggarakan sekolah maupun pihak lain. Sekolah-sekolah membuat program untuk menunjang kualitas pengajaran di tiga bidang mata pelajaran yang akan diujikan. Ujung-ujungnya, secara financial, ujian nasional menjadi beban berat, baik bagi orang tua murid maupun pihak penyelenggara pendidikan itu sendiri.
*) Arif Rachman, Pakar Pendidikan Tinggal di Jakarta
(Sumber Media Indonesia – Senin, 3 Juli 2006)
0 Comments:
Post a Comment
<< Home