Siswa Tumbal SPMB
Oleh : Haidar Aji Kalbuadi *)
Oleh : Haidar Aji Kalbuadi *)
"Tak Semua Siswa Pintar ada di bangku perkuliahan perguruan tinggi. Dan tidak semua yang duduk di bangku kuliah adalah siswa pintar"
Kata-kata itu sekarang seperti terngiang-ngiang di benak seluruh siswa dan orang tua siswa yang kini sedang bergulat menempuh seleksi penerimaan mahasiswa baru (SPMB).
Keampuhan kata-kata tersebut seperti dibuktikan di pentas dunia pendidikan Indonesia. Hasil ujian nasional telah memvonis sebagian siswa pintar terlempar dari peluang menerobos kursi perkuliahan.
Siswa yang tak lulus ujian nasional sekarang lebih "beruntung". Siswa yang tak lulus ujian boleh dibilang istimewa. Secara pandai, mereka memperjuangkan nasibnya bersama rekan sepenanggungan, sejumlah guru, dan elemen masyarakat lain, termasuk kalangan artis-selebritis.
Nyali besar para siswa tersebut mendapat sorotan, liputan, dan semangat berbagai media massa. Barekat liputan gencar dan keberanian luar biasa tersebut, ujian nasional lantas menjadi bahan bahasan pembawa makalah di berbagai seminar dan diskusi, menjadi editorial Koran-koran nasional, regional, dan local. Bahkan, menjadi cover berita majalah. Demikian pula, televise menghiasi layer kacanya dengan topic tayangan seputar sisi gelap ujian nasional.
Kehilangan Muka
Padahal, masih banyak siswa tak lulus ujian yang hanya berupa angka belaka. Mereka berakhir dalam caratan statistic persentase siswa tak lulus ujian nasional. Tidak tampak ratapan, isak tangis, dan raungan siswa. Mereka tak tampak berdemontrasi, tak ada protes, tak ada solidaritas-solidaritasan. Meski secara eksterm, ada pula siswa yang meluapkan amarah kekecewaan dengan mencoba membakar sekolahnya sendiri.
Kesemuanya itu membuat pemerintah melalui Mendiknas tampak kalang kabut. Sebab, secara berduyun-duyun kalangan politisi yang berada di parlemen ikut mendesak pemerintah agar mau melakukan ujian nasional susulan. Akhirnya, setelah bergeming, pemerintah memberikan semacam opsi kelonggaran dengan menawarkan ujian Paket C.
Penawaran itu dapat dipahami dalam kerangka menjaga agar semua pihak baik yang pro maupun yang kontra penyelenggaraan ujian nasional susulan, tidak kehilangan muka (loosing face).
Bila tidak ada ujian Paket C, betapa besar jumlah siswa yang menjadi tumbal SPMB tahun ini. Siswa menjadi tumbal secara bertingkat. Pada level pertama, siswa telah menjadi korban kebijakan pemerintah menjadikan ujian nasional sebagai factor penentu kelulusan siswa SMA atau sederajat dengan hanya mengunakan tiga mata pelajaran yang secara nasional diujikan.
Padahal, semua mafhum, aktifitas belajar-mengajar yang dilaksanakan di sekolah selama tiga tahun menjadi tidak berarti sama sekali. Maknanya, kerja keras memeras keringat dan mengasah otak selama tiga tahun direduksi atau dikonversi ke dalam tiga mata pelajaran, yakni bahasa Indonesia, bahasa Inggris, dan matematika. Batasan skor (passing grade) minimal kelulusan 4,26 bagi setiap mata pelajaran yang diujikan.
Martir
Hebohnya ujian nasional tahun ini menjadi special karena ia tiba-tiba seakan menjadi martir dari pembenahan dan penyelamatan dunia pendidikan nsional atas kekeliruan dan "kebandelan" pemerintah. Ketidak-lulusan siswa menjadi istimewa krena tak hanya disikapi dengan janji-janji manis, tapi mengharuskan menteri pendidikan dan jajarannya memberikan solusi cepat mengatasi siswa pintar, tapi nasibnya tidak bersinar terang.
Selain itu, aparat kementerian pendidikan harus merampungkan sejumlah kasus pelanggaran pelaksanaan ujian, semacam perjokian, bocoran jawaban, maupun sejenisnya di beberapa daerah.
Ketidak-lulusan siswa dalam ujian nasional menjadi tambah istimewa sorotannya karena di dalamnya terdapat siswa berotak encer dan juara olimpiade fisika yang telah memperoleh jatah bangku kuliah melalui jalur khusus, seperti Penelusuran Minat dan Kemampuan (PMDK). Akan menjadi lelucon abadi bila siswa berprestasi terganjal masa depannya karena ujian nasional.
Untunglah, sejumlah pemangku kursi universitas masih berlapang dada menerima siswa yang menempuh ujian Paket C. Secara tak tersurat, sebenarnya pemerintah melakukan ujian nasional susulan ala Paket C. Tapi secara formal, tidak mau mengakuinya. Dengan kata lain, siswa pintar sedang apes saat ujian nasional sebenarnya hanyalah tumbal.
Tumbal untuk membuktikan bahwa sebenarnya pemerintah sungguh-sungguh melakukan evaluasi keberhasilan dan prestasi proses belajar-mengajar siswa selama di sekolah. Tujuan kebijakan tersebut dirupakan dalam wujud ujian nasional yang controversial. Yakni, dengan menetapkan stardar tunggal kelulusan pada tiga mata pelajaran yang diujikan tanpa adanya ujian ulangan.
Tumbal
Pertanyaan berikutnya, apakah hanya mereka tumbal dunia pendidikan untuk menegaskan bahwa penjabat yang mengurusi pendidikan benar-benar serius meningkatkan kualitas pendidikan Indonesia. Tidakkah selama ini telah begitu banyak siswa berikut orang tuanya yang terobang-ambing oleh gonta-ganti kurikulum maupun kebijakan pendidikkan. Bukankah kitas semua telah terbiasa dengan adanya tumbal?
Bukankah kita hanya membuat tumbal ketika siswa yang telah mengikuti ujian nasional dinyatakan tak lulus dan tak berhak ikut SPMB karena dianggap tidak pintar, sedangkan perumus kebijakan pendidikan yang bodoh entah di mana.
Bukankah kita hanya membuat tumbal dengan menyematkan label tak lulus ujian, sedangkan pejabat pendidikan yang memperdagangkan nilai dan menyemir prestasi tidak tersentuh. Bukankah kita kerap menjadikan tumbal pejabat pendidikan level bawah sebagai pesakitan, tapi justru yang duduk di kursi kepejabatan lebih tinggi lolos dan berpesta pora.
Tapi, pantaskah kita mempersembahkan tumbal siswa dengan memakai selogan demi meningkatkan kualitas pendidikan nasional?
*) Haidar Aji Kalbuadi, memperoleh doctor ilmu humaniora dari Universitas Berlin Jerman.
(Sumber Indopos – Senin, 3 Juli 2006)
0 Comments:
Post a Comment
<< Home