Pendidikan Kesopanan di Sekolah
Oleh : Ki Supriyoko *)
Oleh : Ki Supriyoko *)
Akhir Juni lalu majalah The Reader's Digest mempublikasikan hasil studinya tentang kesopanan (courtesy study) pada masyarakat kota besar di 35 negara. Ribuan orang dijadikan subjek studi yang diamati perilaku kesopanannya oleh petugas yang telah terlatih tanpa sepengetahuan subjek studi yang bersangkutan.
Hasil studi tersebut menyatakan masyarakat New York (Amerika Serikat) menduduki peringkat pertama dalam hal kesopanan; menyusul kemudian peringkat kedua sampai dengan keempat adalah masyarakat Zurich (Swiss), Toronto (Kanada), dan Berlin (Jerman). Itu semua berada di Barat. Lalu bagaimana dengan Timur? Masyarakat Jakarta (Indonesia) hanya menduduki rangking ke-28 dari 35 kota (negara); sedangkan Seoul (Korea Selatan), Kuala Lumpur (Malaysia), dan Mumbai (India) masing-masing berada di rangking ke-32, ke-33, dank e-35.
Mengomentari temuan tersebut, utamanya tentang peringkat pertama yang dipegang oleh New York, maka Jennifer Harper dalam tulisannya Courtesy Study Gives N.Y. a Reason to Say Thank You di harian The Washington Time edisi 22 Juni 2006 menyatakan sesuatu yang mengagumkan telah terjadi di New York. Dengan mengutip data studi, ia menyatakan 19 dari setiap 20 penjaga toko akan mengucapkan terima kasih ketika Anda datang mengunjunginya.
Komentar seperti itu ditulis karena salah satu indicator kesopanan versi majalah tersebut adalah apakah penjual mengucapkan terima-kasih kepada pengunjungnya.
Mengejutkan kita
Sebagai bangsa yang peduli kesopanan, bisa jadi kita terkejut atas hasil studi tersebut. Benarkah bangsa Timur, utamanya Indonesia, yang oleh masyarakat dunia dikenal sebagai bangsa yang ramah dan sopan justru memiliki tingkat kesopanan yang jauh lebih rendah daripada bangsa Barat yang dikenal bebas dan individualistis. Benarkah kesopanan masyarakat Jakarta lebih rendah daripada New York.
Apakah tingkat "kesibukan" (crowd) kota selaku berkorelasi negative dengan tingkat kesopanan penduduknya? Rasanya tidak ! Jakarta dan New York jelas sama-sama sibuk, namun kesibukan New York jauh lebih tinggi dari Jakarta.
Menurut majalah News Week edisi 3 Juli 2006, New York dinobatkan sebagai salah satu dari sepuluh kota tersibuk dan termahal di dunia. Nyatanya masyarakat New York justru leih sopan daripada Jakarta.
Dengan tanpa mempermasalahkan ketepatan metodologinya, hasil studi tersebut sebaiknya kita terima untuk mengkritik masyarakat dan meningkatkan kesopanan dalam berperilaku. Adapun salah satu bentuk pengkritikan tersebut adalah menanamkan pendidikan kesopanan di kalangan siswa sekolah.
Pendidikan kesopanan di sekolah tersebut sangat penting di samping secara kuantitatif jumlah siswa di Indonesia sangat besar, sekitar 55 juta anak, juga perilaku sosial siswa di masyarakat sering kali dijadikan tolok ukur keberhasilan atau kegagalan pendidikan terhadap generasi muda kita. Pada sisi yang lain tingkat kesopanan perilaku siswa kita, utamanya di kota-kota besar, sedang mengalami degradasi. Sebagai contoh banyak siswa yang bersikap acuh tak acuh ketika berpapasan dengan guru, baik di sekolah maupun di luar sekolah.
Secara kasus perkasus, dalam beberapa tahun terakhir bahkan banyak oknum siswa kita yang melakukan pelanggaran serius terhadap asas kesopanan. Misalnya terlibat peredaran narkoba, melakukan pencurian barang berharga, dan melakukan hubungan seksual pranikah. Kasus-kasus seperti ini tidak saja terjadi di kota metropolis seperti Jakarta, Surabaya, dan Medan, tetapi juga di kota pendidikan seperti Yogyakarta, Malang, dan Bandung.
Banyaknya kasus penaggaran asas kesopanan tersebut antara lain disebabkan karena semakin miskinnya tokoh teladan di sekolah dan di masyarakat. Sekarang ini banyak guru yang bukan pendidik, melainkan sekadar pengajar. Di sisi lain di masyarakat banyak orang yang semula ditokohkan ternyata terbongkar kedoknya sebagai koruptor.
Realitas yang ada sekarang ini hampir seluruh sekolah di Indonesia tidak ada yang mengajarkan kesopanan secara formal, baik dalam bentuk mata aktivitas ekstrakurikuler maupun mata pelajaran intrakurikuler. Memang di Jakarta ada sekolah swasta yang mengangkat kesopanan (budi pekerti) sebagai mata pelajaran, namun ironisnya sekolah yang demikian itu justru dianggap melawan arus.
Belajar dari Amerika Serikat
Dalam upaya meningkatkan kesopanan berperilaku kita bisa balajar dari mana saja, termasuk dari AS. Masyarakat New York meraih level pertama dalam hal kesopanan versi majalah The Reader's Digest. Memang di AS juga relatif sedikit sekolah yang mengangkat kesopanan menjadi mata pelajaran, namun bukan berarti tidak ada sama sekali. Marryknoll High Scholl Hawai yang menjadi anggota Pan-Pacific Asscociation of Privet Education (PAPE) merupakan salah satu sekolah di AS yang menjadikan kesopanan sebagai mata pelajaran. Kepada sekolahnya, Andre W Corcoran, pernah mengajak diskusi saya mengenai masalah kesopanan ini.
Dari diskusi tersebut terkesan bahwa Andre kurang peduli terhadap orang tua yang sudah terlanjur melanggar asas kesopanan, namun sangat peduli terhadap generasi muda, utamanya siswa sekolah, supaya jangan sampai melanggar asas kesopanan.
Universitas di AS juga banyak yang menaruh perhatian terhadap kesopanan dengan meneliti, membuka program khusus, membuka kursus dan sebagainya. Katakan Kohns Hopkins University, California University (San Diego), dan University of Michigan. Di Universitas yang terakhir ini banyak guru besar pendidikan yang terlibat di dalamnya, antara lain Michael Nettles, Virginia Richardson, Valerie Lee, John Burkhardt, dan Karen Wixson.
Kursus kesopanan dan kuliah jarak jauhpun sekarang dapat diakses melalui internet, misalnya Lawrence Hinman's Course, San Diego, Web-CT, AICPA's Course, New Jersey. Ini semua adalah "gaya" orang AS untuk meningkatkan kesopanan berperilaku bagi masyarakat, utamanya anak sekolah.
Bagaimana cara kita belajar dari AS? Kita bisa membuka internet untuk mempelajari apa yang dilakukan, berpartisipasi dalam program yang diselenggarakan, atau dapat berkomunikasi langsung dengan para penyelenggaranya.
*) Ki Supriyoko, Ketua Tim Pengembangan Pendidikan Budi Pekerti.
Hasil studi tersebut menyatakan masyarakat New York (Amerika Serikat) menduduki peringkat pertama dalam hal kesopanan; menyusul kemudian peringkat kedua sampai dengan keempat adalah masyarakat Zurich (Swiss), Toronto (Kanada), dan Berlin (Jerman). Itu semua berada di Barat. Lalu bagaimana dengan Timur? Masyarakat Jakarta (Indonesia) hanya menduduki rangking ke-28 dari 35 kota (negara); sedangkan Seoul (Korea Selatan), Kuala Lumpur (Malaysia), dan Mumbai (India) masing-masing berada di rangking ke-32, ke-33, dank e-35.
Mengomentari temuan tersebut, utamanya tentang peringkat pertama yang dipegang oleh New York, maka Jennifer Harper dalam tulisannya Courtesy Study Gives N.Y. a Reason to Say Thank You di harian The Washington Time edisi 22 Juni 2006 menyatakan sesuatu yang mengagumkan telah terjadi di New York. Dengan mengutip data studi, ia menyatakan 19 dari setiap 20 penjaga toko akan mengucapkan terima kasih ketika Anda datang mengunjunginya.
Komentar seperti itu ditulis karena salah satu indicator kesopanan versi majalah tersebut adalah apakah penjual mengucapkan terima-kasih kepada pengunjungnya.
Mengejutkan kita
Sebagai bangsa yang peduli kesopanan, bisa jadi kita terkejut atas hasil studi tersebut. Benarkah bangsa Timur, utamanya Indonesia, yang oleh masyarakat dunia dikenal sebagai bangsa yang ramah dan sopan justru memiliki tingkat kesopanan yang jauh lebih rendah daripada bangsa Barat yang dikenal bebas dan individualistis. Benarkah kesopanan masyarakat Jakarta lebih rendah daripada New York.
Apakah tingkat "kesibukan" (crowd) kota selaku berkorelasi negative dengan tingkat kesopanan penduduknya? Rasanya tidak ! Jakarta dan New York jelas sama-sama sibuk, namun kesibukan New York jauh lebih tinggi dari Jakarta.
Menurut majalah News Week edisi 3 Juli 2006, New York dinobatkan sebagai salah satu dari sepuluh kota tersibuk dan termahal di dunia. Nyatanya masyarakat New York justru leih sopan daripada Jakarta.
Dengan tanpa mempermasalahkan ketepatan metodologinya, hasil studi tersebut sebaiknya kita terima untuk mengkritik masyarakat dan meningkatkan kesopanan dalam berperilaku. Adapun salah satu bentuk pengkritikan tersebut adalah menanamkan pendidikan kesopanan di kalangan siswa sekolah.
Pendidikan kesopanan di sekolah tersebut sangat penting di samping secara kuantitatif jumlah siswa di Indonesia sangat besar, sekitar 55 juta anak, juga perilaku sosial siswa di masyarakat sering kali dijadikan tolok ukur keberhasilan atau kegagalan pendidikan terhadap generasi muda kita. Pada sisi yang lain tingkat kesopanan perilaku siswa kita, utamanya di kota-kota besar, sedang mengalami degradasi. Sebagai contoh banyak siswa yang bersikap acuh tak acuh ketika berpapasan dengan guru, baik di sekolah maupun di luar sekolah.
Secara kasus perkasus, dalam beberapa tahun terakhir bahkan banyak oknum siswa kita yang melakukan pelanggaran serius terhadap asas kesopanan. Misalnya terlibat peredaran narkoba, melakukan pencurian barang berharga, dan melakukan hubungan seksual pranikah. Kasus-kasus seperti ini tidak saja terjadi di kota metropolis seperti Jakarta, Surabaya, dan Medan, tetapi juga di kota pendidikan seperti Yogyakarta, Malang, dan Bandung.
Banyaknya kasus penaggaran asas kesopanan tersebut antara lain disebabkan karena semakin miskinnya tokoh teladan di sekolah dan di masyarakat. Sekarang ini banyak guru yang bukan pendidik, melainkan sekadar pengajar. Di sisi lain di masyarakat banyak orang yang semula ditokohkan ternyata terbongkar kedoknya sebagai koruptor.
Realitas yang ada sekarang ini hampir seluruh sekolah di Indonesia tidak ada yang mengajarkan kesopanan secara formal, baik dalam bentuk mata aktivitas ekstrakurikuler maupun mata pelajaran intrakurikuler. Memang di Jakarta ada sekolah swasta yang mengangkat kesopanan (budi pekerti) sebagai mata pelajaran, namun ironisnya sekolah yang demikian itu justru dianggap melawan arus.
Belajar dari Amerika Serikat
Dalam upaya meningkatkan kesopanan berperilaku kita bisa balajar dari mana saja, termasuk dari AS. Masyarakat New York meraih level pertama dalam hal kesopanan versi majalah The Reader's Digest. Memang di AS juga relatif sedikit sekolah yang mengangkat kesopanan menjadi mata pelajaran, namun bukan berarti tidak ada sama sekali. Marryknoll High Scholl Hawai yang menjadi anggota Pan-Pacific Asscociation of Privet Education (PAPE) merupakan salah satu sekolah di AS yang menjadikan kesopanan sebagai mata pelajaran. Kepada sekolahnya, Andre W Corcoran, pernah mengajak diskusi saya mengenai masalah kesopanan ini.
Dari diskusi tersebut terkesan bahwa Andre kurang peduli terhadap orang tua yang sudah terlanjur melanggar asas kesopanan, namun sangat peduli terhadap generasi muda, utamanya siswa sekolah, supaya jangan sampai melanggar asas kesopanan.
Universitas di AS juga banyak yang menaruh perhatian terhadap kesopanan dengan meneliti, membuka program khusus, membuka kursus dan sebagainya. Katakan Kohns Hopkins University, California University (San Diego), dan University of Michigan. Di Universitas yang terakhir ini banyak guru besar pendidikan yang terlibat di dalamnya, antara lain Michael Nettles, Virginia Richardson, Valerie Lee, John Burkhardt, dan Karen Wixson.
Kursus kesopanan dan kuliah jarak jauhpun sekarang dapat diakses melalui internet, misalnya Lawrence Hinman's Course, San Diego, Web-CT, AICPA's Course, New Jersey. Ini semua adalah "gaya" orang AS untuk meningkatkan kesopanan berperilaku bagi masyarakat, utamanya anak sekolah.
Bagaimana cara kita belajar dari AS? Kita bisa membuka internet untuk mempelajari apa yang dilakukan, berpartisipasi dalam program yang diselenggarakan, atau dapat berkomunikasi langsung dengan para penyelenggaranya.
*) Ki Supriyoko, Ketua Tim Pengembangan Pendidikan Budi Pekerti.
(Sumber Media Indonesia–Kamis,13 Juli 2006)
0 Comments:
Post a Comment
<< Home