Tuesday, May 22, 2007

Bagaimana Nasib Visi 2020?

Oleh : AM. Fatwa *)

Maret 2007 yang lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla serta sejumlah pejabat negara menghadiri acara pelun­curan buku Kerangka Dasar Visi Indone­sia 2030 (KDVI 2030) di Istana Negara Yang diterbitkan oleh Yayasan Indone­sia Forum. Sesudah itu, banyak yang membahas baik di media cetak maupun elektronik.
Tampaknya, KDVI 2030 lebih men­dapat perhatian dari para pejabat ne­gara. Namun, sebenarnya pada Mei 2006, telah ada sebuah Surat kabar yang meng­gelar seminar tentang visi Indonesia se­telah sewindu reformasi dan membuat satu laporan khusus pada terbitannya pada 19 Mei 2006 yang berjudul Mencari Visi Indonesia 2030. Selain itu, pada Sep­tember 2006, Kadin telah menggelar workshop dan roundtable Visi 2030.

Sungguh aneh. Para petinggi negara, para elite politik, pengusaha, dan media massa telah lupa bahwa pada 9 Novem­ber 2001, MPR RI telah mengesahkan Ketetapan MPR Nomor VII/MPR/2001 tentangVisi Indonesia Masa Depan yang berisiVisi Indonesia Ideal,yaitu cita-cita luhur sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945 dan Visi Indone­sia 2020. Visi Indonesia 2020 (ada yang menyebut "tahun emas 2020") pada da­sarnya telah mencakup seluruh aspek kehidupan berbangsa dan bernegara dengan memperhatikan tantangan yang dihadapi.

Cukup banyak tantangan yang dihadapi bangsa Indonesia menjelang tahun 2020 secara garis besar anta­ra lain: Pertama, pemantapan persatuan bangsa dan kesatuan negara, untuk mempertahankan integrasi dan integri­tas bangsa yang sangat majemuk yang harus menggunakan konsep negara ke­pulauan sesuai Wawasan Nusantara. Ke­dua, sistem hukum yang adil untuk me­negakkan keadilan, dengan mewujud­kan aturan hukum yang adil, institusi, dan aparat penegak hukum yang jujur, profesional, dan tidak terpengaruh oleh penguasa, serta tegaknya supremasi hukum. Ketiga , sistem politik yang de­mokratis, yang bertumpu pada kedaulatan rakyat dan di topang oleh budaya politik yang sehat, yaitu pe­rilaku yang santun, mengedepankan per­damaian, antikeke­rasan dalam berba­gai bentuk, dan sif at sportif yang diharap­kan melahirkan ke-pe­ mimpinan nasional yang demokratis, kuat, dan efektif.

Keempat, sistem ekonomi yang adil dan produktif, yaitu terwu­judnya ekonomi yang berpihak pada rakyat dan terjaminnya sistem insen­tif ekonomi yang adil dan mandiri ber­basis pada kegiatan rakyat, terutama Yang bersumber dari pertanian, kelaut­an, dan kehutanan. Kelima, sistem sosial budaya yang beradab, yaitu terpeliha­ranya dan teraktualisasinya nilai-nilai universal yang diajarkan setiap agama dan nilai-nilai luhur budaya bangsa. Keenam, sumber daya manusia yang ber­mutu, yang diwujudkan dengan sistem pendidikan berkualitas yang dapat me­lahirkan sumber daya manusia yang an-dal dan berakhlak mulia. Ketujuh, tantangan globalisasi untuk memperta­hankan eksistensi dan integritas bangsa dan negara Indonesia serta memanfaat­kan peluang untuk kemajuan bangsa dan negara.

Menyimak tantangan-tantangan ter­sebut di atas, terlihat sekali bahwa hal-hal tersebut memang perlu mendapat perhatian dan sekaligus harus menjadi agenda untuk menghadapi, menanggu­langi, dan menyelesaikannya. Atas dasar kenyataan tersebut, maka ditetapkan oleh MPR RI Visi Indonesia 2020, yaitu terwujudnya masyarakat Indonesia yang religius, manusiawi, bersatu, demokratis, adil, sejahtera, maju mandiri, serta baik dan bersih dalam penye­lenggaraan negara.

Masyarakat Indonesia yang religius, ditandai antara lain dengan ter­wujudnya masyarakat Yang beriman, bertak­wa, dan berakhlak mu­lia sehingga ajaran agama dan nilai-nilai luhur budaya diamal­kan dalam perilaku ke­seharian. Manusiawi dapat diartikan meng­hargai nilai-nilai kema­nusiaan yang adil dan beradab. Bersatu, di­ maksudkan antara lain memiliki sema­ngat persatuan dan kerukunan bangsa, toleransi, memiliki kepedulian, sportif, dan tanggung jawab sosial. Sedangkan demokratis, diartikan antara lain terwu­judnya keseimbangan kekuasaan antara lembaga penyelenggara negara, hu­bungan pusat dan daerah, serta efektivi­tas peran dan fungsi partai politik, dan berkembangnya budaya demokrasi. Se­mentara adil, antara lain dimaksudkan tegaknya hukum yang berkeadilan dan terwujudnya keadilan dalam distribusi pendapatan, sumberdaya ekonomi, dan penguasaan aset ekonomi serta hilang­nya praktik monopoli.

Visi masyarakat sejahtera antara lain dapat dilihat dengan meluasnya kesem­patan kerja dan meningkatnya penda­patan penduduk, tercapainya hak atas hidup sehat, dan meningkatnya indeks pengembangan manusia. Maju, diarti­kan antara lain meningkatnya kemampu­an bangsa dalam pergaulan antarbangsa, kualitas pendidikan, disiplin, dan etos kerja. Mandiri, antara lain memiliki ke­mampuan dan ketangguhan dalam me­nyelenggarakan kehidupan berbangsa dan bernegara, ekonomi bertumpu pada kemampuan sendiri dan memiliki kepri­badian bangsa dan identitas budaya In­donesia. Baik dan bersih dalam penye­lenggaraan negara, dapat diartikan pro­fesional, transparan, akuntabel,memiliki kredibilitas dan bebas KKN, serta peka dan tanggap terhadap kepentingan dan aspirasi rakyat di seluruh wilayah negara termasuk daerah terpencil dan perbatasan.

Pengungkapan kembali Visi Indone­sia 2020 secara garis besar ini dimaksud­kan untuk mendorong agar semua pi­hak dapat mengingat kembali Ketetap­an MPR RI Nomor VII/MPR/2001 ter­sebut dan menjadikannya sebagai mo­tivasi, pedoman, serta arah kebijakan dalam penyelenggaraan kehidupan ber­bangsa dan bernegara untuk mewujud­kan cita-cita luhur Bangsa Indonesia.

Hal ini tidak berarti meremehkan visi­visi lain yang dirumuskan pihak lain, namun sebagai produk resmi MPR RI, Visi Indonesia 2020 tidak semestinya bernasib ditelantarkan, dilupakan, atau diremehkan dan tidak digunakan seba­gai acuan. Sebaliknya, produk yang diha­silkan oleh wakil-wakil rakyat tersebut harus dijadikan pedoman dan arah yang harus ditempuh oleh segenap komponen bangsa.
*) AM. Fatwa, Wakil Ketua MPR RI, (Harian Seputar Indonesia – Kamis, 19 April 2007)
Bacaan Selanjutnya!

Kebangkitan Nasional dan Visi 2030

Oleh : I Basis Susilo *)

DUA bulan sebelum Hari Kebangki­tan Nasional tahun ini, Yayasan Forum Indonesia meluncurkan buku Kerangka Dasar Visi Indonesia 2030. Menurut buku ini, Indonesia 2030 berpenduduk 285 juta jiwa, produk domestik bruto (PDB) USD 5,1 triliun, jadi negara i n­dustri maju, masuk lima besar kekuatan ekonomi dunia, memiliki 30 perusa­haan dunia yang tercatat dalam 500 per­usahaan terbesar dunia, dan berpenda­patan USD 18 ribu per orang per tahun. Visi itu didasarkan pada asumsi per­tumbuhan ekonomi riil 7,62 persen, inflasi 4,95 persen, dan pertumbuhan penduduk 1,2 persen per tahun: Visi ter­sebut mensyaratkan: ekonomi berbasis keseimbangan pasar terbuka dengan dukungan birokrasi yang efektif.

Selain itu, ada pembangunan berbasis sumber days alam, manusia, modal, serta, teknologi yang berkualitas dan berke­lanjutan; dan perekonomian yang terin­tegrasi dengan kawasan sekitar dan global. Setiap bangsa memerlukan visi ke de-pan yang kuat sebagai dasar dan pe­tunjuk arah bergerak maju. Tanga dasar dan arah yang jelas, bangsa mudah ter­ombang-ambing oleh dinamika per­ubahan.
Kemajuan Tiongkok saat ini, misal­nya, didasari visi yang jelas untuk 2020, 2050, dan 2080, yang dibuat awal 1980-an, saat negeri itu masih miskin dan di­anggap terbelakang. Kemajuan Singa­pura pun didasari visi yang dibuat 1959 oleh Lee Kuan Yew yang mematok ne­geri pulau itu menyamai negara-negara Eropa Barat pada 1980. Tabun 1959, Singapura masih amat terbelakang se­hingga visi itu dianggap mimpi.

Konsolidasi dan Koreksi Diri

Untuk menggapai visi itu, diperlukan konsolidasi dan koreksi diri yang me­madai. Dengan konsolidasi diri, suatu bangsa memperkukuh komitmen bersa­ma, memperkukuh fundamen bersama, dan memperkuat kapasitas. Dengan koreksi diri, kesalahan, penyelewe­ngan, kerusakan bisa dideteksi secara diri untuk segera diperbaiki. Kita lihat contoh India, Jepang, dan Tiongkok.

Secara budaya, bahkan peradaban, India sudah mempunyai dasar yang amat kukuh karena terbentuk berabad­abad. Tetapi sebagai bangsa modem, sampai pengujung abad ke-20, India masih enggan membuka diri. Para pemimpinnya melihat kemajuan fisik Barat, tetapi tidak terpAau dan menim begitu saja karena khawatir kehilangan jati diri.
Namun, pelan tetapi pasty, bangsa itu memperkuat kapasitas industri dan membangun komitmen dengan demok­rasi supaya lebih siap saat menghadapi globalisasi. Mekanisme koreksi diri bekerja secara memadai karena bangsa itu sejak merdeka sepakat menjalankan sistem demokrasi. Jepang melakukan konsolidasi diri selama 250 tahun sebelum Restorasi Meiji pada awal 1860-an. Selama 250 tahun itu ia menata diri melalui konflik, persaingan, bahkan perang, komu­nikasi, membangun kejepangan, untuk mencapai keseimbangan yang mantap sebagai bangsa.

Dengan itu, ia bisa bersepakat tentang hal-hal mendasar dan arah tujuan ber­sama yang dituju bangsanya. Pengala­man kalah pada Perang Dunia II tak mampu menghancurkan bangunan da­sar dirinya. Walau Tiongkok punya peradaban be­sar, dalam era modem ia mengalami proses konsolidasi dahsyat. Di akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, Tiongkok dijadikan bulan-bulanan bangsa-bangsa Barat dan Jepang. Pera­saan terhina dan dihina sedemikian itu
rikan pelajaran berhargabaginya untuk membangun jati diri yang kuat. Setelah Perang Dunia II, Tiongkok mulai melakukan konsolidasi dan ko­reksi diri secara keras oleh Mao Tse-tung dengan Revolusi Kebudayaannya. Revolusi itu menyebabkan kemero­sotan ekonomi, tapi keuntungan soft goods berupa kepercayan diri clan hati­hati terhadap kekuatan asing tidak bisa dipungkiri, bahkan oleh Deng Xiao­ping sekalipun. Selanjutnya, Deng melakukan koreksi diri Tiongkok dengan empat moder­nisasinya pada akhir 1970-an. Salah satu koreksi total adalah sistem pendidikan.

Bagaimana Kita?

Sudan cukupkah konsolidasi diri clan koreksi diri bangsa kita? Dibandingkan dengan Jepang, India, dan Tiongkok, bangsa kita memang tidak punya kesempatan cukup untuk konsolidasi dan koreksi diri. Tetapi jika dibandingkan dengan Malaysia, bangsa kita punya sejarah clan pengalaman berkonsolidasi dan koreksi diri yang lebih memadai. Na­mun, nyatanya kita merasakan kini ke­majuan Malaysia tampaknya bisa lebih solid dibandingkan dengan kita.

Sejak 1908, melalui perjuangan ide, fisik, diskusi, dan konflik internal, bangsa kita sudah mempunyai fondasi yang culcup, memadai. Tonggak-tonggak sejarah menunjukkan kesepakatan nasional. Ada lima tujuan bernegara: merdeka, berdaulat, bersatu, add, dan makmur. Ada Sumpah Pemuda. Ada Pancasila. Ada UUD 1945. Ada NKRI. Ada Bendera Merah Putih. Ada Bahasa Indonesia. Ada Tritura. Ada Reformasi. Ada Rupiah. Dan sebagainya. Tetapi, kesepakatan-kesepakatan itu oleh beberapa pihak masih dianggap lonjong, tidak bulat, sehingga masih ada upaya-upaya untuk mengingkari kesepakatan-kesepakatan nasional tersebut.

Misalnya, soal dasar negara kita, masih saja ada yang mempersoalkan dan mencoba mengubahnya. Akibat­nya, terus-menerus kita menguras ener­gy bangsa kita untuk hal-hal yang sudah seharusnya tidak kita persoalkan lagi. Mekanisme koreksi diri pun sudah dilakukan dengan berbagai cara. Tetapi akhir-akhir ini kita terjebak untuk lebih asyik ber-guyon ria secara cengenges an untuk membahas soal-soal penting bagi bangsa kita. Kesalahan dan penye­lewengan cenderung kita jadikan sa­saran bulan-bulanan humor semata ke­timbang sebagai soal series yang harus diatasi bersama.

Padahal, untuk bisa mewujudkan Visi Indonesia 2030, diperlukan konsoli­dasi dan koreksi diri yang memadai se­hingga guncangan-guncangan yang di­sebabkan aksi kita untuk mewujudkan visi itu tidak akan merusak atau meng­hancurkan fondasi hidup kita dalam berbangsa dan bertanah air. Kita masih butuh proses konsolidasi dan koreksi diri. Misalnya, semua elite strategic bangsa kita menyepakati waktu khusus, misalnya satu jam da­lam sehari, untuk membahas soal-soal kebangsaan kita di man4 pun, terutama di dan melalui media massa.

Artinya, semua media massa mesti memprogramkan acara-acara berpers­pektif nasional. Ide ini mungkin tam­pak aneh di tengah liberalisasi, saat ini, tetapi untuk membangun landasan yang kukuh kebangsaan kita, sesuatu harus dilakukan sebelum terlalu terlambat.
* I Basis Susilo, dosen pada jurusan Hubungan Internasional FISIP Unair, saat ini juga dekan FISIP Unair. (Sumber Indopos – Sabtu, 19 Mei 2007)

Bacaan Selanjutnya!

Pendidikan dan Regenerasi Bangsa

Oleh : Yonky Karman *)

Menurut Pramoedya, banyak faktor sejarah di Tanah Air bukan produk pendidikan, tetapi produk budaya, sehingga bangsa Indonesia tidak dibentuk oleh pendidikan, tetapi oleh budaya (Andre Vitchek & Rossie Indira, Saya Terbakar Amarah Sendirian, 54).

Dan, budaya yang dominan adalah Ja­wanisme. Dalam budaya feodal, rasiona­litas ilmu dalam pendidikan kalah dengan mentalitas feodal "asal bapak senang", tact kepada atasan tanpa sikap kritis. Yang penting bukan bicara kebenaran, tetapi tidak menyinggung perasaan atasan.

Swasta juga terjebak industri pendidik­an. Sekolah-sekolah padat modal didirikan demi memperebutkan pangsa pasar yang jumlahnya amat kecil. Di Provinsi Papua Barat, hampir 80 persen siswa SD dan SMP terancam putus sekolah. Dengan angka, sekitar 97.000 siswa SD dan 27.500 siswa SMP. Cita-cita education for all di Tanah Air nyaris menjadi mimpi.

Pendidikan di Indonesia seharusnya mengubah mentalitas dan mengeluarkan bangsa dari keterbelakangan. Jika pen­didikan berhasil melahirkan manusia In­donesia mencapai massa kritis yang mam­pu memberi arah perkembangan bangsa, maka terjadilah regenerasi bangsa. Martin Buber mengibaratkan pendidikan sebagai perkembangbiakan spiritual (The Writings of Martin Buber, 317-24).

Orientasi Nilai

Sebagai makhluk dengan tubuh dan jiwa, regenerasi bisa dibedakan antara per­kembangbiakan fisik (physical propaga­tion) dan spiritual (spiritual propagation). Regenerasi bangsa tidak cukup hanya le­wat beranak cucu, tetapi juga lewat pene­rusan nilai dan visi. Sebuah bangsa ber­tahan melebihi satu generasi karena iden­titas diri yang ditopang kontinuitas nilai dan visinya.

Sejauh ini, perkembangbiakan nilai be­lum menjadi fokus pendidikan nasional. Meski kebudayaan daerah (dan nasional?) Bering diagung-agungkan, nilai tambahnya belum tampak dalam menghasilkan manu­sia Indonesia. Pendidikan belum dihargai sebagai jalan regenerasi bangsa.

Filosofi pendidikan kita tidak fokus. Pendidikan diselenggarakan tanpa refleksi, hanya bagian aktivisme dan kadang reaktif. Gambaran manusia Indonesia produk pendidikan nasional tidak membumi. Se­bagai contoh, institusi pendidikan dibe­bani tujuan menghasilkan insan bertakwa, sebuah tugas yang belum tentu bisa diemban institusi agama.

Salah satu parameter keberhasilan pro­ses pembelajaran adalah internalisasi nilai dalam beberapa tahap (kognitif-afektif-ko­natif-praktik). Setelah pelajar mengerti se­suatu, is menghargai yang dipelajari. Lalu, muncul komitmen pribadi untuk melaku­kan yang sudah dihargai itu. Akhirnya, apa yang diyakini sebagai baik dilakukan se­cara konsisten tanpa hambatan internal (misalnya, rasa takut) dan eksternal (mi­salnya, tekanan dari orang lain).

Mengintegrasikan nilai bukan sebuah proses sederhana. Itu pendidikan hati yang melibatkan manusia seutuhnya (Thomas Moore, The Education of the Heart, 1996). Nilai dikembangbiakkan lewat refleksi dan ekspresi bebas, tetapi bermartabat. Peng­ajaran tidak hanya berhenti di otak. Tindakan juga bukan bagian aktivisme, me­lainkan bagian dari tanggung jawab.

Dalam perkembang-biakan nilai, gene­rasi yang belajar tidak hanya menerima pengajaran, tetapi juga memproduksi dan memperbaruinya. Pelajar dibersihkan dari sampan pikiran dan diajak memikirkan kehidupan yang indah. Demikianlah, pen­didikan mencerdaskan dan mencerahkan.

Orientasi proses

Pembelajaran seperti itu menempatkan pelajar sebagai subyek, pusat, dan fokus pendidikan. Guru hanya facilitator dan pendamping murid. Proses pembelajaran dilakukan dalam suasana berbagi di Amara guru dan murid. Maka, mengajar bukan hanya transfer pengetahuan, tetapi kegi­atan berbagi pengetahuan sekaligus keti­daktahuan.

Tekanan pembelajaran bukan hanya ke­cerdasan intelektual, tetapi juga kecerdas­an yang komprehensif. Bukan hanya trans­fer pengetahuan atau pembekalan kete­rampilan, tetapi juga perkembangbiakan nilai. Maka, pendidikan melahirkan jiwa baru. Jiwa bangsa diteruskan saat generasi pengajar mentransfer nilai kepada gene­rasi pelajar, yang nanti bertumbuh men­jadi generasi pengajar yang baru.

Keberhasilan pendidikan di Indonesia harus membuktikan diri dengan memupus kultur feodal di sekolah. Dalam relasi kekuasaan yang pincang, guru cenderung merasa punya pengetahuan, murid tidak memilMnya. Murid diposisikan sebagai konsumen pengetahuan yang harus mem­belinya dari guru. Bahkan, transaksi itu jadi vulgar, seperti kecurangan pelaksana­an ujian nasional di Medan yang dilapor­kan pars penggiat pendidikan yang ter­gabung dalam komunitas Air Mata Guru.

Selain feodalisme, salah satu problem besar bangsa adalah sifat konsumtif lebih kuat dari sifat produktif. Konsumerisme menjadi salah satu pangkal korupsi. Maka, pencapaian pendidikan nasional harus di­ukur dari keberhasilan mencetak insan muda yang kreatif dan produktif.

Proses

Menjadi intelektual adalah proses yang membutuhkan ketekunan dan ketelitian. Tahun 1934, saat masih sedikit orang In­donesia bertitel sarjana, Sjahrir mengeluh kurangnya kehidupan ilmiah dan minat sungguh-sungguh atas ilmu pengetahuan di kalangan kaum bertitel (Renungan dan Perjuangan, 5-6). Ukuran orang saat itu terutama bukan tingkat kehidupan inte­lektual, tetapi pendidikan sekolah.

Para pernegang titel itu cuma tabu ba­caan vak sendiri, tetapi mereka bukan intelektual. Bagi mereka, ilmu pengetahu­an hanya sesuatu yang lahiriah, bukan kekayaan batiniah. Ilmu pengetahuan ha­nya diperlakukan sebagai barang coati, bukan hakikat hidup, yang berkembang, yang harus selalu dipupuk dan dipelihara.

Ketiadaan sikap intelektual bukan ka­rena orang Indonesia kurang cerdas, tetapi karena belum terbentuk iklim dan masya­rakat yang menghargai ilmu pengetahuan. Orang baru berkenalan dengan kulit ilmu pengetahuan, bukan ilmu pengetahuan se­bagai pengertian yang hidup dan menun­tut keseriusan, seperti banyak dijumpai di Eropa. Itulah keluhan Sjahrir.

Sejauh ini, pendidikan kita lebih berori­entasi hasil. Orientasi hasil mementingkan jawaban coal daripada proses pengerjaan. Ujian nasional kita membuat siswa mem­fokuskan diri pada bidang-bidang studi yang diuji. Bidang-bidang studi lain yang penting dalam nation and character build­ing menjadi terabaikan. Terjadilah pen­dangkalan tradisi intelektual.

Dalam masyarakat yang memiliki tradisi intelektual, studi akademis menuntut cara belajar yang baik dan serius. Untuk itu, dibutuhkan pengekangan diri dan disiplin. Meminjam istilah Weber, orang melaku­kan asketisisme intelektual. Cara belajar demikian dengan sendirinya menabur be­nih-benih watak intelektual.

Jepang menempuh jalan pendidikan untuk bangun dari kehancuran negeri aki­bat Perang Dunia II. Pengalaman Jepang adalah pengalaman banyak negara, seperti Jerman, Korea Selatan, Vietnam. Indone­sia tidak akan maju jika terns tertinggal dalam pendidikan. Dalam jangka panjang, pendidikan di Tanah Air bisa menyelesai­kan problem ketertinggalan bangsa di bi­dang ilmu pengetahuan dan teknologi. Kelangsungan bangsa tergantung pendi­dikan yang berorientasi nilai dan proses.
*) YONKY KARMAN Pengajar Sekolah Tinggi Teologi Cipanas
(Sumber Harian Kompas - Sabtu, 12 Mei 2007)
Bacaan Selanjutnya!