Monday, November 06, 2006

Kapan Kita Memilki E-University ?

Oleh : Ki Supriyoko *)
Publikasi majalah The Times di Inggris tentang nama-nama perguruan tinggi kelas dunia baru-baru ini ada sebagian yang menyedihkan dan ada sebagian lain yang membanggakan kita. Menyedihkan karena tidak ada satu pun pertguruan tinggi Indonesia yang masuk dalam jajaran “elite“. Membanggakan karena salah satu perguruan tinggi Indonesia, yaitu UGM Johgjakarta, menjadi salah satu perguruan tinggi berkelas dunia (world university) untuk bidang ilmu tertentu.

Sepuluh perguruan tinggi terbaik kelas dunia tahun2006, Top 10 World Universites, adalah Harvard University (US), Massachusetts Institute of Technology (US), University of Cabridge (UK), University of Oxford (UK), Standford University (US), University of California Berkeley(US), Yale University(US), California Institute of Technology (US), Princeton University(US), dan Ecoley Polytechnique(UK).

Yang menyedihkan tidak ada satu pun perguruan tinggi di Indonesia yang masuk di dalamnya. Jangankan Indonesia, perguruan tinggi di Jepang, Singapura, dan Australia pun gagal. Yang membanggakan, UGM menjadi satu di antara 100 perguruan tinggi terbaik dunia untuk bidang ilmu-ilmu sosial (social sciences), ilmu-ilmu budaya dan humaniora (art adn humanities), dan ilmu-ilmu biomedis (biomedicines).

E-University

Sejumlah nama yang dipublikasikan The Times memang perguruan tinggi terbaik berkelas dunia untuk ukuran konvensional. Harvard University (US) misalnya,. Siapapun tahu lembaga itu memilki infra dan supra-struktur universitas yang memadai. Sebagian dosennya, selain memiliki gelar akademis yang memadai, doktor dalam disiplin ilmu yang mumpuni, memiliki pengalaman profesionalisme yang tak diragukan.

Banyak mantan penjabat pemerintah, dengan segala ilmu seperti pemerintahan, keuangan, politik, administrasi, bersedia menjadi dosen. Mantan direktur Bank Indonesia juga mejadi dosen di universitas ini.
Di samping menjadi perguruan tinggi terbaik dunia dalam ukuran konvensional, ternyata Harvard University pun menjadi perguruan tinggi “modern“ kelas atas; perguruan yang banyak menggunakan jasa teknologi informasi internet dalam mengakses ilmu dan informasi akademis lainnya.

Sebuah hasil studi yang barus saja dilakukan “Centro de Informacion Documentatcion Cientifica (CINDOC) dan Consejo Superior de Investigaciones Cientificas (CSIC) berhasil membuat daftar tiga ribu perguruan tinggi di dunia menurut familiartas civitas akademikanya dalam menggunakan internet untuk melakukan komunikasi akademik, seperti mengakses ilmu dan informasi, mempublikasi karya-karya ilmiah, serta melakukan kontak akademis dengan relasi.

Meskipun lembaga internasional tersebut tidak menggunakan istilah electronic-university atau e-university, penggunaan internet yang tinggi, baik frekuensi maupun efektivitasnya, sebenarnya sudah mengarah pada terbentuknya e-university.

Di antara tiga ribu perguruan tinggi terbaik dunai dalam penggunaan internet bagi civitas akademiknya, ternyata Havard University berhasil menempati ranking ke-2. Apakah artinya itu semua? Artinya, di samping terbaik dalam ukuran konvensional, ternyata Havard University pun juga terbaik (kedua) dalam ukuran modern.
Kalau kita sepakat bahwa perguruan tinggi yang akrab denga internet dalam melakukan komunikasi akademis bagi civitas akademikanya sebagai e-university, universitas jenis ini “diborong“ oleh perguruan tinggi di Amerika Serikat (AS).

Apabila kita cermati 50 perguruan tinggi terbaik, mulai ranking ke-1 hingga ke-50, Top 50 Webometrics Ranking of World Universities, 45 diantaranya adalah perguruan tinggi yang berkiprah di AS. Dimulai dari ranking ke-1 University of California Berkeley (US), ke-2 Harvard University (US), ke-3 Massachusetts Institute of Technology (US), sampai dengan ranking ke-50 University of Georgia (US) memang didominasi perguruan tinggi di AS.

Tanpa bermaksud mengkultuskan AS, kita harus mengakui kehebatan AS dalam berteknologi informasi. Di situlah kelebihan perguruan tinggi di AS jika dibandingkan denga perguruan tinggi di negara mana pun; termasuk di negara yang penguasaan teknologinya tergolong hebat seperti Inggris, Jerman, dan Jepanga. Sejujurnya, sekarang ini siapa pun tidak akan mampu belajar di AS kalu yang bersangkutan menderita gagap teknologi.

Bagaimana Indonesia? Apakah sudah ada perguruan tinggi kita yang civitas akademikanya akrab dengan internet dalam berkomuniasi akademis? Apakah sekarang kita sudah memiliki e-university sebagaimana perguruan tinggi di AS?

Untuk menjawab secara objektif pertanyaan tersebut, kita dapat membaca nama-nama perguruan tinggi terbaik versi CINDOC dan CSIC. Dari daftar 250 perguruan tinggi terbaik, Top 250 Webometrics Ranking of World Universities, ternyata tidak ada satupun nama perguruan tinggi di Indonesia yang muncul. Di luar perguruan tinggi di AS, memang banyak perguruan tingg yang muncul. Misalnya ranking ke-21 University of Oxford (UK), ke-32 University of Toronto (Canada), ke-159 National Taiwan University, dan ke-175 Kyoto University.

Apakah e-university terseut hanya dimiliki oleh negara-negara maju seperti AS, Inggris, dan Jerman? Oh, tidak! Di negara-negara berkembang pun ternyata mulai ada perguruan tinggi yang civitas akademianya akrab dengan internet. Di Mexico ada University Nacional Autonoma de Mexico, di Israel ada Hebrew University of Jerusalem, di Spanyol ada University Complutense Madrid, dsb. Civitas akademika perguruan tinggi di negara-negara berkembang ini pun sudah akrab dengan internet.

Jadi, e-university itu bukanlah mutlak milik negara maju. Di negara-negara berkembang pun ternyata banyak ditemui perguruan tinggi yang (berpotensi) menjadi e-university. Tetapi, perguruan seperti itu hanya berada pada negara yang pemerintahnya memang memiliki perhatian serius untuk mengembangkan sekaligus mengaplikasi teknologi informasi untuk kepentingan pendidikan. Sekali lagi, bagaimana di Indonesia ...?!!!.

*) Prof. Dr. Ki Supriyoko MPd, adalah Ketua Majelis Luhur Taman Siswa dan Wakil Presiden Pan-Pacific Association of Private Organization (PAPE) di Tokyo Jepang.
(Sumber Harian Indo-Pos- Jumat, 3 November 2006)
Bacaan Selanjutnya!

Atasi Stagnan Pemikiran Pendidikan

Oleh : Paulus Mujiran *)

Pemikiran pendidikan di Indonesia cenderung mengalami kemandekan. Padahal, pemikiran pendidikan merupakan roh yang menyatukan antara isi pendidikan dengan kebudayaan masyarakat. Polemik berkepanjangan ujian nasional (UN) dan kurikulum baru sangat berkaitan dengan miskinnya pemikiran pendidikan. Hampir tidak ada gagasan alternatif yang mampu mengurai kebuntuan masalah ini. Bahkan disinyalir, inilah akar masalah mengapa kualitas pendidikan dari waktu ke waktu terus merosot.

Jangankan mengembangkan pemikiran pendidikan, perguruan tinggi yang memiliki lembaga pendidikan tenaga keguruan (LPTK) pun tidak lagi memperkenanlkan kepada mahasiswanya pengetahuan mendalam dalam pendidikan, baik filsafat maupun sosiologi pendidikan. Padahal, LPTK sampai sekarang ini adalah “pabriknya” pendidik dari taman kanak-kanak (TK) sampai jenjang SLTA. LPTK saat ini terlalu sibuk dengan program-program studi dan proyek-proyek teknis dan kurang mengembangkan pemikiran pendidikan yang berakar pada kultur Indonesia.

Pemikiran pendidikan hanya selintas diberikan dalam pengantar ilmu pendidikan. Itu pun sangat bergantung pada dosennya sehingga tidak mengherankan apabila lulusan LPTK tidak mengenal tokoh-tokoh pemikiran progresif, apalagi pemikirannya dalam dunia pendidikan. Yang ironisnya tidak ada pusat studi di LPTK yang secara khusus di kaitkan dengan upaya pengembangan pemikiran pendidikan.

Miskinnya pemikiran pendidikan di Indonesia merupakan akbiat dan penjajahan materialisme, termasuk dalam dunia pendidikan. Manusia disejajarkan dengan modal dan diperlakukan sebagai faktor produksi. Maka, unsur-unsur non-kapital tidak dimasukkan dalam pendidikan. Ilmu-ilmu yang dikaitkan dengan nalar dan sikap cenderung tidak diajarkan lagi secara mendalam. Kecenderungan itu terjadi pula dalam lembaga-lembaga pendidikan calon guru.

Kemandekan terjadi antara lain karena belakangan pemikiran pendidikan lebih ditekankan pada manajemen dan birokrasi. Sedangkan pemikiran pendidikan yang mendalam, dalam hal ini pencarian terhadap makna pendidikan, tidak dikembangkan atau kurang mendapat perhatian. Justru yang ada sekarang, dalam kebijakan pendidikannya, terdapat kecenderungan pemerintah mengikuti pasar. Konsentrasi pendirian dan pengembangan fakultas, didorong pengembangan bidang teknologi karena pasti lebih laku. Demikian pula dalam bantuan pendanaan.

Pemikiran dan filsafat pendidikan, seharusnya merupakan hal yang penting dalam pendidikan calon guru. Karena melalui pemikiran dan filsafat pendidikan, nalar dan watak calon guru dikembangkan. Ketika dalam format IKIP, guru lebih banyak dibebani ilmu mendidik, namun penguasaan ilmu yang diajarkan kurang. Akan tetapi, setelah berubah menjadi universitas, keadaannya makin parah karena mengikuti tuntutan pasar.

Dalam harl ini, seharusnya, pemikiran dan filsafat pendidikan diberikan lagi kepada calon guru, baik dalam pendidikan profesi maupun pada tingkat pasca-sarjana. Tanpa itu guru akan bertingkah laku seperti operator mesin, sangat bergantung pada buku-buku panduan karena tidak menguasai ilmunya. Akibat kemiskinan dalam pemikiran pendidikan, tidak ada alternatif dalam pemikiran pendidikan di Indonesia. Dampaknya, suasana pendidikan menjadi kering dan kurang mengakar.

Akibat pengetahuan pendidikan yang diberikan kepada mahasiswa juga tidak menawarkan pemikiran alternatif. Secara institusional, para calon guru tidak disiapkan untuk mengenal dan menciptakan pemikiran pendidikan. Padahal, amahasiswa seharusnya dididik tidak hanya menjadi operator, tetapi juga menjadi pemikir atau pekerja budaya. Setelah Ki Hadjar Dewantara, Mohammad Syafei, dan JB Mangunwijaya, tidak adal lagi pemikir pendidikan di Indonesia.

Dalam tingaktan praktis memang muncul benih-benih pemikiran pendidikan seperti terlihat dengan eksperimentasi pendidikan-pendidikan alternatif, namun minimnya roh pendidikan perlu ada gerakan kolektif untuk menghidupkan pemikiran pendidikan di Indonesia. Pemikiran-pemikiran pendidikan yang berakar pada kultur Indonesia perlu dikembangkan karena teori-teori pendidkan lahir dari buaya lain. LPTK semestinya mengambil peran untuk mengembangkan pemikiran pendidikan yang kontekstual.

Kemandekan pemikiran pendidikan di Indonesia terjadi karena pemikiran-pemikiran yang berasal dari Barat lebih dikedepankan dalam pembuatan kebijakan maupun praktik pendidikan. Tanpa keberpihakan politik, tidak pernah lahir pemikiran dari tokoh-tokoh lokal, seperti Ki Hadjar Dewantara, Mohammad Syafei, dan JB Mangunwijaya, ataupun gagasan-gagasan pendidikan orisinal yang bersumber dari budaya sendiri tidak mungkin berkembang. Pendidikan kini juga tidak mampu melahirkan pemikir-pemikir brilian dalam pendidikan. Dosen-dosen juga tidak ubahnya sebagai operator.

Gagasan-gagasan orisinal dalam pendidikan, sebenarnya terus bermunculan, termasuk dalam wujud sekolah-sekolah alternatif. Akan tetapi, eksperimen tersebut tidak bisa berkembang menjadi pemikiran pendidikan yang mendalam karena keberadaan mereka belum diterima dengan lapang dada. Diskusi-diskusi tentang pemikiran pendidikan juga terus berkembang di kalangan pengelola LPTK. Namun, diskusi berkepanjangan tidak ada tindak lanjutnya baik dalam bentuk publikasi maupun implementasi dalam kebijakan.

Kemandekan terjadi karena kita cenderung menerima barang jadi dari Amerika, Eropa, atau Australia. Gagasan-gagasan asing cenderung lebih mudah diadopsi ketimbang pemikiran-pemikiran lokal. Pemikiran-pemikiran pendidikan dari budaya Timur pun tidak pernah memperoleh perhatian memadai. Kita kurang punya kebanggaan pada pemikiran-pemikiran lokal. Padahal UNESCO justru mulai memakai pemikiran-pemikiran seperti yang digagas Ki Hadjar Dewantara atau Mohammad Syafei.

Mandeknya pemikiran pendidikan ini merupakan cermin pendidikan secara umum makin merosot. Hal ini terlihat dari menurunya kualitas dan penghargaan terhadap riset serta penurunan kualitas sumber daya manusia. Persoalan tersebut tidak lepas dari sejarah, yakni ketika bangsa Indonesia kehilangan momentum untuk membangun dunia pendidikannya.

Setelah merdeka, Indonesia sibuk dengan permasalah politik. Masa Orde Baru yang seharusnya dimanfaatkan untuk pembangunan modal intelektual malah difokuskan pada eksploitasi sumber daya alam. Kemandekan terhadap pemikiran pendidikan di perguruan tinggi, tak lepas dari kenyataan kurangnya perhatian pada ilmu pendidikan.

Padahal, untuk mengembangkan pemikiran pendidikan mendasar diperlukan pengembangan jurusan yang khusus memerhatikan subjek ilmu tersebut. Kurangnya perhatian dalam pengembangan pemikiran pendidikan di samping karena keterbatasan dana yang dimiliki LPTK, juga lemahnya kebijakan yang berpihak. Karena keterbatasan pendanaan pula sumber belajar seperti buku, jurnal, akses internet, dan fasilitas lain menjadi sangat terbatas.
*) Paulus Mujiran, adalah Pendidik, dan Ketua Pelaksana Yayasan Kesejahteraan Keluarga Soegijapranata, Semarang. (Sumber Media Indonesia- Kamis, 2 November 2006)
Bacaan Selanjutnya!

Thursday, November 02, 2006

Tuhan, Agama, dan Negara
Oleh : Komaruddin Hidayat *)

Otoritas yang bersumber pada Tuhan, agama, dan negara sering bertabrakan dalam panggung sejarah. Masing-masing menawarkan keselamatan dan pembebasan sekaligus menuntut loyalitas dan pengorbanan. Rasionalitas ketiganya berbeda dalam mewujudkan eksistensi dan peran di masyarakat yang penuh paradoks.

Ketiganya abstrak, tetapi peran dan pengaruhnya amat besar dalam sejarah kemanusiaan. Secara ontologis, agama dan negara adalah deviasi dan akbiat firman Tuhan, karena Tuhan adalah Maha-absolut, sumber dan akhir segala wujud. Namun, kini ketiganya hadir bersama dalam kesadaran manusia, menjelma dalam lembaga yang adakalanya saling memperebutkan hegemoni. Pada awal diwahyukan, firman Tuhan selalu memihak kaum tertindas dan melahirkan gerakan politik emansipatoris. Dalam perjalanannya, firman Tuhan terbelenggu lembaga yang kemudian dikooptasi tokoh-tokohnya dengan mengatas-namakan Tuhan dalam semua tindakan yang adakalanya represif-manipulatif.

Padahal, sejatinya ada rentang metafisis dan kognitif yang jauh antara Tuhan dan penalaran tokoh agama. Masing-masing pada arsy berbeda. Pemikiran agama adalah produk historis yang penuh muatan budaya, bersifat kondisional, dan relatif. Sementara Firman (F besar) bersifat absolut, tidak mungkin diraih secara utuh oleh nalar manusia yang nisbi.

Namun, tak jarang tokoh agama berbicara dan bertindak berdasar persepsi dan kepentingan pribadim disakralisasi atas nama Tuhan agar berbobot sehingga lebih berwibawa saat akan mempengaruhi massa.

Semua agama sepakat, Tuhan adalah Esa. Dialah satu-satunya pencipta dan pemelihara semestam tetaou manusia memanggil-Nya dengan nama-nama berbeda-beda. Selain beda sebutan, titik pokok perbedaan ada pada pemahaman, penafsiran dan keyakinan seputar relasi Tuhan-manusia serta Tuhan-semesta.

Mereka yang beriman dan ber-Islam pada Tuhan yakin, Tuhan Maha Kasih tetapi akan bertindak sebagai hakim yang mengadili semua yang manusia perbuat di bumi di akhirat. Bagi faham deisme, alam dipandang bagai jam raksasa yang bekerja otomatis, dan Tuhan bagai Sang Pencipta tidak akan campur tangan setelah ciptaan-Nya selesai.

Kontestasi Agama dan Negara

Pemahaman, sosok agama, dan negara senantiasa berkembang. Muatan dan spirit keberagaman yang lahir belasan abad lalu pasti mengalami perkembangan karena zaman berubah.

Meski semula agama diyakini sebagai firman Tuhan yang menyejarah, pada urutannya lembaga-lembaga agama berkembang otonom di bawah kekuasaan tokoh-tokohnya. Wibawa Tuhan lamu mendapat saingan berupa institusi agama dan negara. Bahkan negara lebih berkuasa dibandingkan dengan Tuhan dan agama dalam mengendalikan masyarakat. Atas nama negara, sebuah rezim bisa memberangus agama karena beranggapan, berbeda agama berarti berbeda Tuhan, dan perbedaan berarti ancaman bagi yang lain sehingga negara tampil sebagai hakim.

Dalam realitas sosial-politik, berbagai upaya dicari untuk menemukan format tepat bagaimana memosisikan ketiganya, yaitu kebertuhanan, keberagamaan, dan kebernegaraan. Indonesai sebagai negara yang rakyatnya memiliki semangat beragama yang tinggi sering digoyang tidak hanya oleh gelombang pasar global, tetapi juga konflik solidaritas dan loyalitas keagamaan yang melampaui sentimen nasionalisme dan kemanusiaan. Sering orang lebih membela kepentingan kelompok seagama meski di luar wilayah Indonesia. Atau lebih loyal pada kelompok atau partai yang mengusung simbol agama ketimbang pada cita-cita berbangsa, bernegara, dan kemanusiaan.

Ketika kontestasi antara negara dan agama melahirkan krisis, sementara ruang agama dan negara dirasakan pengap, orang merindukan Tuhan melalui caranya sendiri, di luar institusi agama. Mereka tak lagi percaya pada pengkhotbah dan janji-janji modernisme yang ditawarkan negara. Lalu muncul gerakan spiritual dan mistik yang ingin memperoleh pencerahan dan ketenangan batin di luar syariah agama. Mereka membangun dunia maya guna menemukan kembali spiritualitas (virtual world of spirituality)

Maraknya pusat meditasi dan latihan spiritual menjadi indikasi krisis kepercayaan pada lembaga agama, ilmuwan, dan politisi yang dinilai gagal menciptakan kesejahteraan dan kedamaian. Tidak heran jika muncul pemberontakan intelektual terhadap lembaga agama dan politisi yang keduanya sering bertengkar dan berkolaborasi.

Membangun sintesa

Secara teoritis normatif, baik agama maupun negara muncul untuk melayani masyarakat. Bahkan, negara merupakan anak kandung masyarakat. Tetapi, pada perjalanannya, lembaga agama dan negara sering meninggalkan jati dirinya sebagai pengayom, lalu berkolaborasi untuk mengawetkan kepentingan kelompok elite penguasa sambil menindas masyarakat.

Tampaknya bangsa Indonesia masih bingung menemukan hubungan maan untuk mempertemukan kesetiaan warganya pada Tuhan, agama dan negara. Idealnya, ketiganya bersinergi membangun sintesa sehingga semangat kebertuhanan dan keloyalitas pada institusi agama memperkuat loyalitas dan etika bernegara.

Konflik loyalitas dan pendekatan pragmatis serta ad hoc terhadap masalah besar akan terlihat tiap menjelang pemilu. Sepak terjang penguasa, elite politik, dan tokoh agama berebut massa guna mendapat legitimasi kekuatan politik. Mengamati pemilu lalu, banyak tokoh agama berdiri dengan pijakan massa, bergandengan dengan politisi yang mengedepankan idiom kenegaraan dan menghadirkan Tuhan untuk menyakaralkan permainan panggung politik yag sarat kalkulasi untung rugi.

Benturan dan kompromi antara ranah Tuhan, agama, dan negara tidak saja terjadi di Indonesia, tetapi juga tataran global. Benturan kian seru saat kekuatan modal besar yang diusung kapitalisme berlomba menancapkan pengaruhnya sehingga hegemoni Tuhan, agama, dan negara mendapat pesaing baru bernama kekuatan modal. Berapa banyak sarjana terbaik bangsa ini bekerja di kantor perbankan dan perusahaan besar tetapi tidak tahu untuk apa dan siapa mereka bekerja?

*) Komaruddin Hidayat, Direktur Program Pascasarjana UIN Jakarta.
(Sumber Harian Kompas - Jumat, 27 Oktober 2006)
Bacaan Selanjutnya!