Tuesday, May 22, 2007

Pendidikan dan Regenerasi Bangsa

Oleh : Yonky Karman *)

Menurut Pramoedya, banyak faktor sejarah di Tanah Air bukan produk pendidikan, tetapi produk budaya, sehingga bangsa Indonesia tidak dibentuk oleh pendidikan, tetapi oleh budaya (Andre Vitchek & Rossie Indira, Saya Terbakar Amarah Sendirian, 54).

Dan, budaya yang dominan adalah Ja­wanisme. Dalam budaya feodal, rasiona­litas ilmu dalam pendidikan kalah dengan mentalitas feodal "asal bapak senang", tact kepada atasan tanpa sikap kritis. Yang penting bukan bicara kebenaran, tetapi tidak menyinggung perasaan atasan.

Swasta juga terjebak industri pendidik­an. Sekolah-sekolah padat modal didirikan demi memperebutkan pangsa pasar yang jumlahnya amat kecil. Di Provinsi Papua Barat, hampir 80 persen siswa SD dan SMP terancam putus sekolah. Dengan angka, sekitar 97.000 siswa SD dan 27.500 siswa SMP. Cita-cita education for all di Tanah Air nyaris menjadi mimpi.

Pendidikan di Indonesia seharusnya mengubah mentalitas dan mengeluarkan bangsa dari keterbelakangan. Jika pen­didikan berhasil melahirkan manusia In­donesia mencapai massa kritis yang mam­pu memberi arah perkembangan bangsa, maka terjadilah regenerasi bangsa. Martin Buber mengibaratkan pendidikan sebagai perkembangbiakan spiritual (The Writings of Martin Buber, 317-24).

Orientasi Nilai

Sebagai makhluk dengan tubuh dan jiwa, regenerasi bisa dibedakan antara per­kembangbiakan fisik (physical propaga­tion) dan spiritual (spiritual propagation). Regenerasi bangsa tidak cukup hanya le­wat beranak cucu, tetapi juga lewat pene­rusan nilai dan visi. Sebuah bangsa ber­tahan melebihi satu generasi karena iden­titas diri yang ditopang kontinuitas nilai dan visinya.

Sejauh ini, perkembangbiakan nilai be­lum menjadi fokus pendidikan nasional. Meski kebudayaan daerah (dan nasional?) Bering diagung-agungkan, nilai tambahnya belum tampak dalam menghasilkan manu­sia Indonesia. Pendidikan belum dihargai sebagai jalan regenerasi bangsa.

Filosofi pendidikan kita tidak fokus. Pendidikan diselenggarakan tanpa refleksi, hanya bagian aktivisme dan kadang reaktif. Gambaran manusia Indonesia produk pendidikan nasional tidak membumi. Se­bagai contoh, institusi pendidikan dibe­bani tujuan menghasilkan insan bertakwa, sebuah tugas yang belum tentu bisa diemban institusi agama.

Salah satu parameter keberhasilan pro­ses pembelajaran adalah internalisasi nilai dalam beberapa tahap (kognitif-afektif-ko­natif-praktik). Setelah pelajar mengerti se­suatu, is menghargai yang dipelajari. Lalu, muncul komitmen pribadi untuk melaku­kan yang sudah dihargai itu. Akhirnya, apa yang diyakini sebagai baik dilakukan se­cara konsisten tanpa hambatan internal (misalnya, rasa takut) dan eksternal (mi­salnya, tekanan dari orang lain).

Mengintegrasikan nilai bukan sebuah proses sederhana. Itu pendidikan hati yang melibatkan manusia seutuhnya (Thomas Moore, The Education of the Heart, 1996). Nilai dikembangbiakkan lewat refleksi dan ekspresi bebas, tetapi bermartabat. Peng­ajaran tidak hanya berhenti di otak. Tindakan juga bukan bagian aktivisme, me­lainkan bagian dari tanggung jawab.

Dalam perkembang-biakan nilai, gene­rasi yang belajar tidak hanya menerima pengajaran, tetapi juga memproduksi dan memperbaruinya. Pelajar dibersihkan dari sampan pikiran dan diajak memikirkan kehidupan yang indah. Demikianlah, pen­didikan mencerdaskan dan mencerahkan.

Orientasi proses

Pembelajaran seperti itu menempatkan pelajar sebagai subyek, pusat, dan fokus pendidikan. Guru hanya facilitator dan pendamping murid. Proses pembelajaran dilakukan dalam suasana berbagi di Amara guru dan murid. Maka, mengajar bukan hanya transfer pengetahuan, tetapi kegi­atan berbagi pengetahuan sekaligus keti­daktahuan.

Tekanan pembelajaran bukan hanya ke­cerdasan intelektual, tetapi juga kecerdas­an yang komprehensif. Bukan hanya trans­fer pengetahuan atau pembekalan kete­rampilan, tetapi juga perkembangbiakan nilai. Maka, pendidikan melahirkan jiwa baru. Jiwa bangsa diteruskan saat generasi pengajar mentransfer nilai kepada gene­rasi pelajar, yang nanti bertumbuh men­jadi generasi pengajar yang baru.

Keberhasilan pendidikan di Indonesia harus membuktikan diri dengan memupus kultur feodal di sekolah. Dalam relasi kekuasaan yang pincang, guru cenderung merasa punya pengetahuan, murid tidak memilMnya. Murid diposisikan sebagai konsumen pengetahuan yang harus mem­belinya dari guru. Bahkan, transaksi itu jadi vulgar, seperti kecurangan pelaksana­an ujian nasional di Medan yang dilapor­kan pars penggiat pendidikan yang ter­gabung dalam komunitas Air Mata Guru.

Selain feodalisme, salah satu problem besar bangsa adalah sifat konsumtif lebih kuat dari sifat produktif. Konsumerisme menjadi salah satu pangkal korupsi. Maka, pencapaian pendidikan nasional harus di­ukur dari keberhasilan mencetak insan muda yang kreatif dan produktif.

Proses

Menjadi intelektual adalah proses yang membutuhkan ketekunan dan ketelitian. Tahun 1934, saat masih sedikit orang In­donesia bertitel sarjana, Sjahrir mengeluh kurangnya kehidupan ilmiah dan minat sungguh-sungguh atas ilmu pengetahuan di kalangan kaum bertitel (Renungan dan Perjuangan, 5-6). Ukuran orang saat itu terutama bukan tingkat kehidupan inte­lektual, tetapi pendidikan sekolah.

Para pernegang titel itu cuma tabu ba­caan vak sendiri, tetapi mereka bukan intelektual. Bagi mereka, ilmu pengetahu­an hanya sesuatu yang lahiriah, bukan kekayaan batiniah. Ilmu pengetahuan ha­nya diperlakukan sebagai barang coati, bukan hakikat hidup, yang berkembang, yang harus selalu dipupuk dan dipelihara.

Ketiadaan sikap intelektual bukan ka­rena orang Indonesia kurang cerdas, tetapi karena belum terbentuk iklim dan masya­rakat yang menghargai ilmu pengetahuan. Orang baru berkenalan dengan kulit ilmu pengetahuan, bukan ilmu pengetahuan se­bagai pengertian yang hidup dan menun­tut keseriusan, seperti banyak dijumpai di Eropa. Itulah keluhan Sjahrir.

Sejauh ini, pendidikan kita lebih berori­entasi hasil. Orientasi hasil mementingkan jawaban coal daripada proses pengerjaan. Ujian nasional kita membuat siswa mem­fokuskan diri pada bidang-bidang studi yang diuji. Bidang-bidang studi lain yang penting dalam nation and character build­ing menjadi terabaikan. Terjadilah pen­dangkalan tradisi intelektual.

Dalam masyarakat yang memiliki tradisi intelektual, studi akademis menuntut cara belajar yang baik dan serius. Untuk itu, dibutuhkan pengekangan diri dan disiplin. Meminjam istilah Weber, orang melaku­kan asketisisme intelektual. Cara belajar demikian dengan sendirinya menabur be­nih-benih watak intelektual.

Jepang menempuh jalan pendidikan untuk bangun dari kehancuran negeri aki­bat Perang Dunia II. Pengalaman Jepang adalah pengalaman banyak negara, seperti Jerman, Korea Selatan, Vietnam. Indone­sia tidak akan maju jika terns tertinggal dalam pendidikan. Dalam jangka panjang, pendidikan di Tanah Air bisa menyelesai­kan problem ketertinggalan bangsa di bi­dang ilmu pengetahuan dan teknologi. Kelangsungan bangsa tergantung pendi­dikan yang berorientasi nilai dan proses.
*) YONKY KARMAN Pengajar Sekolah Tinggi Teologi Cipanas
(Sumber Harian Kompas - Sabtu, 12 Mei 2007)

1 Comments:

Blogger Kang Boim said...

setuju, pendidikan saat ini belum mencerminkan dari tujuan pendidikan itu sendiri, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa...

salam kenal

3:57 AM  

Post a Comment

<< Home