Atasi Stagnan Pemikiran Pendidikan
Pemikiran pendidikan di Indonesia cenderung mengalami kemandekan. Padahal, pemikiran pendidikan merupakan roh yang menyatukan antara isi pendidikan dengan kebudayaan masyarakat. Polemik berkepanjangan ujian nasional (UN) dan kurikulum baru sangat berkaitan dengan miskinnya pemikiran pendidikan. Hampir tidak ada gagasan alternatif yang mampu mengurai kebuntuan masalah ini. Bahkan disinyalir, inilah akar masalah mengapa kualitas pendidikan dari waktu ke waktu terus merosot.
Jangankan mengembangkan pemikiran pendidikan, perguruan tinggi yang memiliki lembaga pendidikan tenaga keguruan (LPTK) pun tidak lagi memperkenanlkan kepada mahasiswanya pengetahuan mendalam dalam pendidikan, baik filsafat maupun sosiologi pendidikan. Padahal, LPTK sampai sekarang ini adalah “pabriknya” pendidik dari taman kanak-kanak (TK) sampai jenjang SLTA. LPTK saat ini terlalu sibuk dengan program-program studi dan proyek-proyek teknis dan kurang mengembangkan pemikiran pendidikan yang berakar pada kultur Indonesia.
Pemikiran pendidikan hanya selintas diberikan dalam pengantar ilmu pendidikan. Itu pun sangat bergantung pada dosennya sehingga tidak mengherankan apabila lulusan LPTK tidak mengenal tokoh-tokoh pemikiran progresif, apalagi pemikirannya dalam dunia pendidikan. Yang ironisnya tidak ada pusat studi di LPTK yang secara khusus di kaitkan dengan upaya pengembangan pemikiran pendidikan.
Miskinnya pemikiran pendidikan di Indonesia merupakan akbiat dan penjajahan materialisme, termasuk dalam dunia pendidikan. Manusia disejajarkan dengan modal dan diperlakukan sebagai faktor produksi. Maka, unsur-unsur non-kapital tidak dimasukkan dalam pendidikan. Ilmu-ilmu yang dikaitkan dengan nalar dan sikap cenderung tidak diajarkan lagi secara mendalam. Kecenderungan itu terjadi pula dalam lembaga-lembaga pendidikan calon guru.
Kemandekan terjadi antara lain karena belakangan pemikiran pendidikan lebih ditekankan pada manajemen dan birokrasi. Sedangkan pemikiran pendidikan yang mendalam, dalam hal ini pencarian terhadap makna pendidikan, tidak dikembangkan atau kurang mendapat perhatian. Justru yang ada sekarang, dalam kebijakan pendidikannya, terdapat kecenderungan pemerintah mengikuti pasar. Konsentrasi pendirian dan pengembangan fakultas, didorong pengembangan bidang teknologi karena pasti lebih laku. Demikian pula dalam bantuan pendanaan.
Pemikiran dan filsafat pendidikan, seharusnya merupakan hal yang penting dalam pendidikan calon guru. Karena melalui pemikiran dan filsafat pendidikan, nalar dan watak calon guru dikembangkan. Ketika dalam format IKIP, guru lebih banyak dibebani ilmu mendidik, namun penguasaan ilmu yang diajarkan kurang. Akan tetapi, setelah berubah menjadi universitas, keadaannya makin parah karena mengikuti tuntutan pasar.
Dalam harl ini, seharusnya, pemikiran dan filsafat pendidikan diberikan lagi kepada calon guru, baik dalam pendidikan profesi maupun pada tingkat pasca-sarjana. Tanpa itu guru akan bertingkah laku seperti operator mesin, sangat bergantung pada buku-buku panduan karena tidak menguasai ilmunya. Akibat kemiskinan dalam pemikiran pendidikan, tidak ada alternatif dalam pemikiran pendidikan di Indonesia. Dampaknya, suasana pendidikan menjadi kering dan kurang mengakar.
Akibat pengetahuan pendidikan yang diberikan kepada mahasiswa juga tidak menawarkan pemikiran alternatif. Secara institusional, para calon guru tidak disiapkan untuk mengenal dan menciptakan pemikiran pendidikan. Padahal, amahasiswa seharusnya dididik tidak hanya menjadi operator, tetapi juga menjadi pemikir atau pekerja budaya. Setelah Ki Hadjar Dewantara, Mohammad Syafei, dan JB Mangunwijaya, tidak adal lagi pemikir pendidikan di Indonesia.
Dalam tingaktan praktis memang muncul benih-benih pemikiran pendidikan seperti terlihat dengan eksperimentasi pendidikan-pendidikan alternatif, namun minimnya roh pendidikan perlu ada gerakan kolektif untuk menghidupkan pemikiran pendidikan di Indonesia. Pemikiran-pemikiran pendidikan yang berakar pada kultur Indonesia perlu dikembangkan karena teori-teori pendidkan lahir dari buaya lain. LPTK semestinya mengambil peran untuk mengembangkan pemikiran pendidikan yang kontekstual.
Kemandekan pemikiran pendidikan di Indonesia terjadi karena pemikiran-pemikiran yang berasal dari Barat lebih dikedepankan dalam pembuatan kebijakan maupun praktik pendidikan. Tanpa keberpihakan politik, tidak pernah lahir pemikiran dari tokoh-tokoh lokal, seperti Ki Hadjar Dewantara, Mohammad Syafei, dan JB Mangunwijaya, ataupun gagasan-gagasan pendidikan orisinal yang bersumber dari budaya sendiri tidak mungkin berkembang. Pendidikan kini juga tidak mampu melahirkan pemikir-pemikir brilian dalam pendidikan. Dosen-dosen juga tidak ubahnya sebagai operator.
Gagasan-gagasan orisinal dalam pendidikan, sebenarnya terus bermunculan, termasuk dalam wujud sekolah-sekolah alternatif. Akan tetapi, eksperimen tersebut tidak bisa berkembang menjadi pemikiran pendidikan yang mendalam karena keberadaan mereka belum diterima dengan lapang dada. Diskusi-diskusi tentang pemikiran pendidikan juga terus berkembang di kalangan pengelola LPTK. Namun, diskusi berkepanjangan tidak ada tindak lanjutnya baik dalam bentuk publikasi maupun implementasi dalam kebijakan.
Kemandekan terjadi karena kita cenderung menerima barang jadi dari Amerika, Eropa, atau Australia. Gagasan-gagasan asing cenderung lebih mudah diadopsi ketimbang pemikiran-pemikiran lokal. Pemikiran-pemikiran pendidikan dari budaya Timur pun tidak pernah memperoleh perhatian memadai. Kita kurang punya kebanggaan pada pemikiran-pemikiran lokal. Padahal UNESCO justru mulai memakai pemikiran-pemikiran seperti yang digagas Ki Hadjar Dewantara atau Mohammad Syafei.
Mandeknya pemikiran pendidikan ini merupakan cermin pendidikan secara umum makin merosot. Hal ini terlihat dari menurunya kualitas dan penghargaan terhadap riset serta penurunan kualitas sumber daya manusia. Persoalan tersebut tidak lepas dari sejarah, yakni ketika bangsa Indonesia kehilangan momentum untuk membangun dunia pendidikannya.
Setelah merdeka, Indonesia sibuk dengan permasalah politik. Masa Orde Baru yang seharusnya dimanfaatkan untuk pembangunan modal intelektual malah difokuskan pada eksploitasi sumber daya alam. Kemandekan terhadap pemikiran pendidikan di perguruan tinggi, tak lepas dari kenyataan kurangnya perhatian pada ilmu pendidikan.
Padahal, untuk mengembangkan pemikiran pendidikan mendasar diperlukan pengembangan jurusan yang khusus memerhatikan subjek ilmu tersebut. Kurangnya perhatian dalam pengembangan pemikiran pendidikan di samping karena keterbatasan dana yang dimiliki LPTK, juga lemahnya kebijakan yang berpihak. Karena keterbatasan pendanaan pula sumber belajar seperti buku, jurnal, akses internet, dan fasilitas lain menjadi sangat terbatas.
*) Paulus Mujiran, adalah Pendidik, dan Ketua Pelaksana Yayasan Kesejahteraan Keluarga Soegijapranata, Semarang. (Sumber Media Indonesia- Kamis, 2 November 2006)
0 Comments:
Post a Comment
<< Home