Oleh : Viddy A.D. Daery *)
Uang Rp 213,69 miliar tidak sedikit. Karena itu, dana sebesar itu pun dipersoalkan DPR baru-baru ini sehubungan dengan proyek TV Pendidikan. Demikian Indo Pos memberitakan. Meski banyak kalangan menilai DPR sendiri juga suka menghabiskan uang rakyat, yang yang diminta Depdiknas untuk membuat proyek "Tayangan TV Pendidikan" untuk tujuan meningkatkan pemahaman mata pelajaran khusus yang diujikan di UAN – Matematika, Bahasa Indoensia, dan Bahasa Inggris – itu barangkali pantas atau wajar dipertanyakan.
Bukan mengenai bentuk tayangan TV Pendidikan itu, melainkan dengan cara apa dan bagaimana tayangan pendidikan tersebut ditayangkan. Uang rakyat Indonesia yang makin miskin ini diminta Depdiknas untuk keperluan tidak hanya membuat program tayangan pendidikan, melainkan lebih banyak justru untuk membeli pesawat TV utuk disebarkan ke sekolah-sekolah di desa terpencil, agar mereka mau terikat menonton tayangan TV pendidikan yang disiarkan dari TVRI mulai Juli 2006.
Pertanyaannya, kenapa memakai TVRI yang memang kini telah sangat mundur dan konon ratusan menara pemancar relainya telah mati? Kenapa pemancar relainya telah mati? Kenapa tidak memakai TPI yang justru diizinkan lahir oleh pemerintah khusus karena mengaku ingin mengudarakan siaran pendidikan? Wong, namanya saja Televisi Pendidikan Indonesia, kok.
Juga asal tahu, di samping itu, lembaga Pustekkom yang juga kepunyaan Depdiknas juga telah meluncurkan stasiun TV Edukasi (TVE) mulai 2004 dan sampai kini terus siaran, meskipun kurang banyak ditonton orang karena tayangannya diulang-ulang ratusan kali, konon karena kekurangan materi tanyangan.
Sejarah Televisi Pendidikan Indonesia (TPI)
Kembali ke soal TPI, televisi bervisi misi pendidikan (dulu) ini, lahir resmi 23 Januari 1991, persis di ulang tahun pemimpinnya, Hajjah Siti Hardiyanti Rukmana (Mbak Tutut)
Lembaga survey SRI (kini AC Nielsen Indonesia) mencatat, TPI adalah TV swasta pertama yang segera melejit nomor satu dalam perolehan iklan dengan mengandalkan siaran-siaran program local yang sangat kuat.
Misalnya, Lenong Bocah yang menjadi cirri khas TPI, lalu Pepesan Kosong, Gelak Ria, Panggung Jakarta, Eee Penontooon, Kentrung Humor Lamongan, Ketoprak Gobyok Campursari (yang kemudian pindah ke RCTI menjadi Ketoprak Humor), Jula-Juli Ludruk Mandala, Patrio Ngelaba, dan sebagainya.
Lenong Bocah, bahkan menerobos ketidak-laziman, ia memperoleh rating tinggi (hingga 37 menurut SRI/AC Nielsen), memperoleh iklan paling banyak (menurut seorang manajer keuangan TPI yang telah dipecat), dan mendapat 8 Piala Vidia di FSI 1994 sehingga pada ultah TPI pada 1995, produser dan penanggung jawabnya diganjar Surat Penghargaan Karyawan Berprestasi oleh Dirut Televisi Pendidikan Indonesia (TPI).
Kompas edisi 1996, mengutip data PPPI dan Surindo Utama, menyebutkan bahwa perolehan iklan TPI tertinggi 1993 dan 1994 (masa emas Lenong Bocah), lalu mulai disalip SCTV 1995 dan seterusnya. Toh, kedudukannya masih nomor tiga, di atas Anteve dan Indosiar.
Tetapi, sejak 1995 mulai ada badai. Dirut TPI melantik tim yang disebut banyak karyawan TPI sebagai "Trio Segawon" (semua gagal dan awon), untuk memimpin TPI, karena konon Dirut TPI berselisih dengan direktur operasi TPI. Triu Segawon justru melakukan tindakan drastis yang menhancurkan TPI. Mereka menonaktifkan para creator bidang program dan melengserkan produser serta penanggung-jawab Lenong Bocah, diganti orang baru.
Akhirnya, rating Lenong Bocah hancur, sampai Cuma angka 1 atau kadang-kadang 0, iklannya menuru, dan andalan utama TPI itu demikian hancur dan akhirnya distop.
Akhirnya, Trio Segawon dilengserkan Dirut TPI. Didatangkanlah direktur baru, ganti berganti. Tetapi, tak ada yang bisa mereka perbaiki. Bahkan, yang paling menyedihkan ialah "didepaknya tayangan pendidikan sekolah" di zaman direktur-direktur mempunyai nama terkenal itu. Sejak itu, TPI tidak sesuai lagi menyandang Televisi Pendidikan.
TPI makin hancur dan akhirnya 2002 dan 2003 dilakukan proses penjualan TPI kepada Harry Tanoesoedibjo, arek Suroboyo yang menakhodai "Neo Bimantara" (Bhakti Investasi).
Di tangan Harry, TPI diceburkan selain ke bentuk TV non-pendidikan dan bercitra sangat kelas bawah. Karena itu, dibikinlah logo baru serta kemasan animasi dan grafis bagaikan bungkus obat nyamuk. Tentunya, acara-acaranya pun dibikin berkelas menengah ke bawah semua, seperti Kontes Dangdut Indonesia, Audisi Pelawak Indonesia, dan paling fenomenal adalah sinetron bergenre Rahasia Ilahi yang kemudian ditiru semua televisi Indoensia.
Tetapi, penajaman kelas itu justru saleable. Rating TPI meroket terus sehingga iklan mulai bejibun lagi dan harga saham TPI naik. Di sinilah terjadi perkara lagi. Menurut tabloid KONTAN edisi Maret 2006, Mbak Tutut ingin membeli lagi TPI dari tangan Harry, tapi Harry menaikkan harga jual TPI, dari Rp 150 miliar menjadi Rp 680 miliar, bahkan konon kini sudah mencapai harga triliun rupiah.
Tobatlah, Televisi Pendidikan Indonesia (TPI) !
Seperti lakon-lakon sinetron Rahasia Ilahi, mungkin tragedy TPI sekarang adalah karena dosa-dosa para elite TPI di masa lalu. Terutama dosa "membuang tayangan pendidikan sekolah." Karena itu, seharusnya TPI juga "diharamkan oleh fatwa moral." Sebab, masih memakai nama Televisi Pendidikan Indonesia. Akibatnya, Depdiknas terpaksa pontang-panting, membuat TV pendidikan lagi bernama TV Edukasi dan juga malah menyewa TVRI untuk menayangkan "tayangan pendidikan yang lain lagi".
Mungkinkah TPI bertobat dan kembali ke jalur yang asli ketika mereka kaya raya dari tayangan-tayangan lokal yang mendidik?
*) Viddy A.D. Daery, Dosen pertelevisian di Akademi SDM Citra Umar Ismail, Jakarta.
Bukan mengenai bentuk tayangan TV Pendidikan itu, melainkan dengan cara apa dan bagaimana tayangan pendidikan tersebut ditayangkan. Uang rakyat Indonesia yang makin miskin ini diminta Depdiknas untuk keperluan tidak hanya membuat program tayangan pendidikan, melainkan lebih banyak justru untuk membeli pesawat TV utuk disebarkan ke sekolah-sekolah di desa terpencil, agar mereka mau terikat menonton tayangan TV pendidikan yang disiarkan dari TVRI mulai Juli 2006.
Pertanyaannya, kenapa memakai TVRI yang memang kini telah sangat mundur dan konon ratusan menara pemancar relainya telah mati? Kenapa pemancar relainya telah mati? Kenapa tidak memakai TPI yang justru diizinkan lahir oleh pemerintah khusus karena mengaku ingin mengudarakan siaran pendidikan? Wong, namanya saja Televisi Pendidikan Indonesia, kok.
Juga asal tahu, di samping itu, lembaga Pustekkom yang juga kepunyaan Depdiknas juga telah meluncurkan stasiun TV Edukasi (TVE) mulai 2004 dan sampai kini terus siaran, meskipun kurang banyak ditonton orang karena tayangannya diulang-ulang ratusan kali, konon karena kekurangan materi tanyangan.
Sejarah Televisi Pendidikan Indonesia (TPI)
Kembali ke soal TPI, televisi bervisi misi pendidikan (dulu) ini, lahir resmi 23 Januari 1991, persis di ulang tahun pemimpinnya, Hajjah Siti Hardiyanti Rukmana (Mbak Tutut)
Lembaga survey SRI (kini AC Nielsen Indonesia) mencatat, TPI adalah TV swasta pertama yang segera melejit nomor satu dalam perolehan iklan dengan mengandalkan siaran-siaran program local yang sangat kuat.
Misalnya, Lenong Bocah yang menjadi cirri khas TPI, lalu Pepesan Kosong, Gelak Ria, Panggung Jakarta, Eee Penontooon, Kentrung Humor Lamongan, Ketoprak Gobyok Campursari (yang kemudian pindah ke RCTI menjadi Ketoprak Humor), Jula-Juli Ludruk Mandala, Patrio Ngelaba, dan sebagainya.
Lenong Bocah, bahkan menerobos ketidak-laziman, ia memperoleh rating tinggi (hingga 37 menurut SRI/AC Nielsen), memperoleh iklan paling banyak (menurut seorang manajer keuangan TPI yang telah dipecat), dan mendapat 8 Piala Vidia di FSI 1994 sehingga pada ultah TPI pada 1995, produser dan penanggung jawabnya diganjar Surat Penghargaan Karyawan Berprestasi oleh Dirut Televisi Pendidikan Indonesia (TPI).
Kompas edisi 1996, mengutip data PPPI dan Surindo Utama, menyebutkan bahwa perolehan iklan TPI tertinggi 1993 dan 1994 (masa emas Lenong Bocah), lalu mulai disalip SCTV 1995 dan seterusnya. Toh, kedudukannya masih nomor tiga, di atas Anteve dan Indosiar.
Tetapi, sejak 1995 mulai ada badai. Dirut TPI melantik tim yang disebut banyak karyawan TPI sebagai "Trio Segawon" (semua gagal dan awon), untuk memimpin TPI, karena konon Dirut TPI berselisih dengan direktur operasi TPI. Triu Segawon justru melakukan tindakan drastis yang menhancurkan TPI. Mereka menonaktifkan para creator bidang program dan melengserkan produser serta penanggung-jawab Lenong Bocah, diganti orang baru.
Akhirnya, rating Lenong Bocah hancur, sampai Cuma angka 1 atau kadang-kadang 0, iklannya menuru, dan andalan utama TPI itu demikian hancur dan akhirnya distop.
Akhirnya, Trio Segawon dilengserkan Dirut TPI. Didatangkanlah direktur baru, ganti berganti. Tetapi, tak ada yang bisa mereka perbaiki. Bahkan, yang paling menyedihkan ialah "didepaknya tayangan pendidikan sekolah" di zaman direktur-direktur mempunyai nama terkenal itu. Sejak itu, TPI tidak sesuai lagi menyandang Televisi Pendidikan.
TPI makin hancur dan akhirnya 2002 dan 2003 dilakukan proses penjualan TPI kepada Harry Tanoesoedibjo, arek Suroboyo yang menakhodai "Neo Bimantara" (Bhakti Investasi).
Di tangan Harry, TPI diceburkan selain ke bentuk TV non-pendidikan dan bercitra sangat kelas bawah. Karena itu, dibikinlah logo baru serta kemasan animasi dan grafis bagaikan bungkus obat nyamuk. Tentunya, acara-acaranya pun dibikin berkelas menengah ke bawah semua, seperti Kontes Dangdut Indonesia, Audisi Pelawak Indonesia, dan paling fenomenal adalah sinetron bergenre Rahasia Ilahi yang kemudian ditiru semua televisi Indoensia.
Tetapi, penajaman kelas itu justru saleable. Rating TPI meroket terus sehingga iklan mulai bejibun lagi dan harga saham TPI naik. Di sinilah terjadi perkara lagi. Menurut tabloid KONTAN edisi Maret 2006, Mbak Tutut ingin membeli lagi TPI dari tangan Harry, tapi Harry menaikkan harga jual TPI, dari Rp 150 miliar menjadi Rp 680 miliar, bahkan konon kini sudah mencapai harga triliun rupiah.
Tobatlah, Televisi Pendidikan Indonesia (TPI) !
Seperti lakon-lakon sinetron Rahasia Ilahi, mungkin tragedy TPI sekarang adalah karena dosa-dosa para elite TPI di masa lalu. Terutama dosa "membuang tayangan pendidikan sekolah." Karena itu, seharusnya TPI juga "diharamkan oleh fatwa moral." Sebab, masih memakai nama Televisi Pendidikan Indonesia. Akibatnya, Depdiknas terpaksa pontang-panting, membuat TV pendidikan lagi bernama TV Edukasi dan juga malah menyewa TVRI untuk menayangkan "tayangan pendidikan yang lain lagi".
Mungkinkah TPI bertobat dan kembali ke jalur yang asli ketika mereka kaya raya dari tayangan-tayangan lokal yang mendidik?
*) Viddy A.D. Daery, Dosen pertelevisian di Akademi SDM Citra Umar Ismail, Jakarta.
0 Comments:
Post a Comment
<< Home