Tuesday, December 19, 2006

Perguruan Tinggi, Cermin Globalisasi

Oleh : Imam Cahyono *)

A revolution is coming in the field of lobal education” (Kishore Mahbubani). Globalisasi tak lagi sekedar teori, tetapi kenyataan yang kita hadapi sehari-hari.

Ia tidak melulu soal sepak terjang lembaga keuangan internasional (IFIs) atau korporasi multinasional (MNCs). Dalam era kemajuan pengetahuan dan teknologi, laju globalisasi bisa disimak pada kiprah perguruan tinggi. Kini universitas kian mengglobal. Selain menjadi ajang komptetisi ilmu pengetahuan, perguruan tinggi juga menjadi instrumen perdamaian, menyemai toleransi, saling memahami keragaman nilai, budaya dan tradisi.

Miniatur Globalisasi

Kini, hampir semua universitas mencari mahasiswa dari berbagai penjuru dunia. Presiden Yale University Richard Levin mencatat, jumlah mahasiswa yang meninggalkan kampung halaman untuk belajar ke luar negeri selama tiga dekade terakhir tumbuh rata-rata 3,9 persen pertahun, dari 800.000 orang (1975), menjadi 2,5 juta orang (2004).

Sedikitnya 30 persen mahasiswa perantauan mendapat gelar doktor dari AS dan 38 persen dari Inggris. Untuk program S1, 8 persen mahasiswa asing meraih gelar dari AS dan 10 persen dari Inggris. Di AS, 20 persen profesor baru di bidang ilmu eksakta dan teknik berasal adalah mahasiswa perantauan.

Universitas juga memberi kesempatan kepada mahasiswa untuk melawat ke negara lain. Tiap tahun, sedikitnya 140.000 mahasiswa dari Eropa mengikuti program pertukaran ke berbagai negara. Institusi pendidikan di AS berupaya menyiapkan mahasiswa untuk berkarier global dengan magang atau ikut pelatihan di negara lain. Kerja sama antar universitas, seperti program John Hopkins-Najing, Program Duke-Goethe dan aliansi MIT-Singapore merupakan bukti interkoneksi dunia.

AS berupaya menjaga reputasinya dengan menanamkan investasi dan mendukung riset universitas berbasis ilmu pengetahuan (iptek) terutama bidang kesehatan, pertanian, pertahanan, dan energi. AS pun konsisten memimpin dunia dalam komersialisasi teknologi baru seperti komputer, infrastruktur internet dan aplikasi perangkat lunak (software). Ini tak lepas dari kerja sama universitas dengan dunia industri seperti hadirnya lembah silikon ciptaan Stanford University dan Route 128 Boston, hasil kolaborasi industri dengan MIT dan Havard.

Menurut data bidang pendidikan Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) 2006, Perancis, Italia, Inggris, dan Jerman terus mengalami penurunan prestasi. Sebaliknya, seperti Finlandia, Swedia, dan Norwegia, menduduki peringkat terbaik dalam investasi pendidikan maupun performa.

Replikasi Barat

Selama beberapa dekade, hampir semua universitas terbaik Asia mengadopsi gaya universitas Amerika Utara baik metode pendidikan, sistem, maupun riset. Jepang sukses melakukan modernisasi melalui aplikasi pendidikan model Barat. Sejak Restorasi Meiji, kaum muda Jepang ke Barat untuk belajar di universitas terbaik dan mempraktikkan apa yang mereka dapat. Jepang konsisten mengalokasikan dana riset universitas, jumlahnya terus meningkat, mencapai 57 persen dari tahun 2000 hingga 2004.

Perubahan dahsyat juga dilakukan China yang terus mengembangkan universitas kelas dunia. Sejak Deng Xiaoping mengizinkan warganya belajar di Barat tahun 1978, China terus mengirimkan pelajar terbaik demi menempuh pendidikan terbaik, terutama program doktoral. Universitas dijadikan instrumen stimulasi pertumbuhan ekonomi. Investasi dalam bidang riset ilmiah amat mendukung kekuatan ekonomi nasional. Kemajuan teknologi memengaruhi kampus-kampus di China terutama Peking University dan Tsinghua University di Beijing, serta Fudan University dan Shanghai Jiatong University di Shanghai.

India tak ketinggalan. Ia mengadopsi model pendidikan Inggris, dengan membuka sekolah ala Barat. Kini, negara itu memiliki 1.350 kampus teknik, termasuk Indian Institute of Technology. Tiap tahun, kampus memproduksi 280.000 insinyur ahli informasi dan teknologi. India melaju sebagai raksasa ekonomi yang diperhitungkan dunia.

Revolusi dari Timur

Buaian kemapanan paradigma lama fotokopi pendidikan tinggi ala Barat mendapat kritik keras dari Kishore Mahbubani. Dekan Lee Kwan Yew School of Public Policy itu menegaskan, kepemimpinan Asia adalah hal yang tak terelakan. Asia telah tumbuh sebagai kekuatan raksasa yang terus melaju menyaingi AS dan Uni Eropa. Pendulum peradaban bergerak dan berkiblat ke Timur. Dunia dapat belajar dari peradaban China dan India, mulai dari sastra hingga filsafat, dari pengobatan tradisional hingga strategi berpikir. Menurut Mahbubani, agar tidak terus mengekor ke Barat, universitas di Asia harus terus berkreasi dan giat melakukan inovasi.

Lantas, bagaimana dengan Indonesia? Kampus paling prestisius di Indonesia selalu menduduki peringkat bawah universitas-universitas di Asia, alias anak bawang. Dengan Malaysia saja, universitas kita jauh tertinggal.

Kemajuan atau kemunduran perguruan tinggi bisa dijadikan cermin sejauh mana sebuah negara menghadapi kompetisi pada era globalisasi. Di sinilah intervensi negara amat diperlukan.
*) Imam Cahyono, Peneliti. (Sumber Harian Kompas - Selasa, 19 Desember 2006)

0 Comments:

Post a Comment

<< Home