Sunday, December 31, 2006

Pendidikan Budi Pekerti Kita

Oleh : Mochtar Buchori*)

Ketika saya masih di tweede inlandsche school (pribumi kelas dua, setara SD), pendidikan budi pekeri (singkatan resminya PBP) disampaikan melalui dongeng. Tiap dongeng di tutup dengan kata-kata “Liding dongeng…”, artinya inti cerita. Di sinilah moral cerita dirumuskan.

Pada pendudukan Jepang, saya murid sekoalh guru. PBP dierikan dalam bentuk indoktrinasi. Dan, di zaman reformasi, fungsi PBP diambil alih pendidikan agama, dilakukan melalui khotbah atau nasihat. Bagaimana PBP sebaiknya dilaksanakan dalam situasi bangsa serta krisis ini?

Inilah pertanyaan dasar Temu Warga Sekolah membicarakan PBP dan dihadiiri sekitar 80 guru. Bersama Dr Daoed Joesoef, saya diminta menjadi narasumber.

Cara Berbeda

Melalui pertemuan itu, amat diharap agar pendidikan budi pekerti dipikirkan guna mengatasi krisis bangsa. Pertemuan diharapkan membahas cara-cara menyelenggarakan PBP. Untuk itu saya menggunakan pendekatan “Pendidikan Budi Pekerti dalam Konteks Regenerasi Bangsa”.

Untuk itu, penyelenggaraan PBP selayaknya berbeda dari cara-cara konvensional. Alasannya, tujuan utama PBP konvensional adalah melahirkan individu yang saleh, bermoral, berbudi pekeri luhur, dan sebagainya. Sedangkan tujuan utama PBP untuk regenerasi bangsa adalah melahirkan generasi yang berwatak dan cakap.

Dengan kata lain, PHP konvensional mengacu moralitas individual, sedangkan PBP regenerasi bangsa mengacu moralitas kolektif. Ini perbedaan esensial, sebab kemelut bangsa ini lahir dari lemahnya moralitas kolektif. Menghadapi ketidakadilan di masyarakat, kebayakan dari kita bersikap mengambil jarak. Saya terkena atau tidak? Untuk apa ribut, kalau ketidakadilan tidak menyentuh saya? Sikap ini lahir dari kuatnya tradisi moralitas individual dan lemahnya moralitas kolektif di masyarakat. Antara dua jensi moralitas ini tidak ada keseimbangan dan ketersambungan.

Maka, berdasarkan perbedaan itu, PHP konvensional mengutamakan pembinaan kepribadian perorangan, tidak memerhatikan pembinaan kepribadian kelompok. Kepribadian bangsa adalah bentuk terakhir kepribadian masyarakat kita.

Perbedaan kedua antara PBP konvensional dan PBP untuk regenerasi bangsa terletak pada cara memaknai kata “moral”, “moralitas”, dan “pendidikan moral”. Dalam PBP konvensional, “pendidikan moral” terbatas pada kegiatan membimbing siswa mengenal norma-norma etika, tidak menyentuh pengamalan nilai-nilai itu. Dalam PBP untuk regenerasi bangsa konsep “moralitas” dan “pendidikan moral” diperdalam, tak hanya mengenal nilai-nilai, tetapi juga memahami, menghayati dan mengamalkannya.

Ada perbedaan asumsi pada dua jenis PBP ini. PBP konvensional berasumsi, mengenal nilai-nilai, otomatis akan mengantar anak ke pengamalan. PBP regenerasi bangsa berasumsi, antara mengenal nilai-nilai dan mengamalkan, ada jarak mental yang panjang penuh hambatan. Hambatan mental akan teratasi bila ada bimbingan dari pendidik.

Hanya PBP yang berusaha membimbing siswa menjalani proses mental yang panjang akan melahirkan generasi yang memilki moralitas kolektif dan kepribadian kelompok. PBP yang hanya mengandalkan khotbah, nasihat dan indoktrinasi tidak akan mampu melahirkan generasi yang memiliki moralitas kelompok dan watak bangsa.

Selain itu, PBP konvesional melupakan kenyataan, jika tak diangga realisme akan menghasilkan moralitas naif. Reinghold Niebuhr (1892-1971), mengingatkan, “Moralitay without ralism is naivite or worse, and realism without morality is cynicism or worse”.

Bagaimana sebaiknya PBP diselenggarakan agar melahirkan generasi dengan moralitas realistik? Meminjam ungkapan Lawrence Pintak, kolumnis AS, untuk membuat generasi mendatan menerima nilai-nilai pembaruan, “kita harus melibatkan mereka dalam penyelesaian persoalan, tidak menyalahkan mereka karena tidak meneruskan jejak generasi lampau. Kita harus berkomunikasi dengan mereka, idak mengkhotbahi mereka” (You must engage them, and not dermonize / You must communicate, and not preach).

Berdasarkan prinsip-prinsip ini, dapat dikatakan, PBP untuk regenerasi bangsa mengharuskan para guru berbagi keresahan dan harapan (sharing concerns and hopes) dengan murid, selain berbagi ketahuan dan ketidak-tahuan (sharing knowledge and ignorance).

Pelaksanaan

Temu Warga Sekolah, juga mengajukan dua pertanyaan, siapa yang harus melaksanakan PBP? Serta, haruskah ada mata ajar khusus untuk PBP?

Seharusnya, setiap guru berkewajiban melaksanakan PBP ini. PBP dapat dilaksanakan melalui pelajaran apa saja: Matematika, Bahasa dan Sastra, Sejarah, Pendidikan Jasmani, dan sebagainya. Dalam setiap mata ajar, ada seperangkat nilai yang jarang diungkapkan eksplisit. Dengan demikian, nilai-nilai itu tidak diketahui, tidak dipahami, dan tidak diamalkan oleh siswa. Kebiasaan tidak mengungkap secara eksplisit nilai-nilai dalam mata ajar ini timbul dari tradisi lama yang memisahkan pendidikan untuk mendapatkan pengetahuan (education for knowledge) dari pendidikan untuk mengenal dan memahami nilai-nilai (value education). Dari tradisi ini timbul semboyan knowledge is power dan kebiasaan mengutamakan penguasaan pengetahuan faktual (factual knowledge) dalam ujian. Dari praksis pendidikan seperti ini muncul generasi dengan perkembangan yang tidak imbang antara ketajaman otak dan kepekaan perasaan.

Berdasarkan pandangan ini, menurut saya, tak perlu ada mata ajar khusus budi pekerti. Yang diperlukan ialah, tiap guru melalui mata ajar yang diambil, eksplisit menjelaskan nilai-nilai yang ada dalam mata ajarnya. Petugas bimbingan dan penyuluhan membimbing siswa mendiskusikan segenap jenis nilai yang telah disentuh guru. Melalui diskusi mereka dituntun memahami makna nilai-nilai itu dalam kehidupan nyata. Melalui proses ini para siswa akan meyusun sendiri nilai (value system) mereka, baik sistem nilai pribadi maupun sistem nilai kelompok. Perlu diingat, dalam setiap bangsa yang mampu memperbarui diri, tiap generasi menyusun sendiri sistem nilai yang akan dianut selama suatu kurun waktu.

Bisakah gagasan PBP ini dilaksanakan? Tergantung kuat-lemahnya tekad kita memperbarui diri terutama dalam kehidupan politik dan kultural.
*) Mochtar Buchori, Pendidik, (Sumber Kompas - Kamis, 28/12/2006).

0 Comments:

Post a Comment

<< Home