Thursday, January 11, 2007

Delapan Catatan Kritis Pendidikan

Oleh : Dr. H.Arief Rachman, MPd *)

Menutup tahun 2006 yang telah berlalu, kita bersyukur karena pemerintah mempunyai komitmen kuat untuk menyejahterakan dunia pendidikan. Menurut Dr. H. Arief Rachman MPd, Ketua Harian Komisi Nasional Indonesia untuk UNESCO, hal itu patut diapresiasikan.

PEMERINTAH merujuk pada UU No.20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional untuk berkomitmen memajukan pendidikan. Meski demikian, sebagai seorang pendidik, ada delapan hal yang harus dikritisi. Harapannya, catatan ini mampu menjadi refelksi yang jernih untuk melangkah dengan lebih baik.

Catatan yang pertama, hingga saat ini, dunia pendidikan di Indonesia ternyata belum memunculkan sikap kritis. Dalam praktiknya, evaluasi akhir dari keberhasilan seorang anak didik baru pada tingkat kognitif. Sama sekali belum mencantumkan ranah afektif dan psikomotorik. Padahal, dua ranah itu sama pentingnya sebagai indikator keberhasilan pendidikan.

Selain itu, penetapan standar kelulusan yang dipancung dalam indikator kelulusan minimal angka terendah yang sama untuk seluruh Indonesia sangat tidak tepat. Hal itu justru menunjukkan sikap tidak konsisten terhadap aplikasi undang-undang pendidikan.

Catatan yang kedua, kita mempunyai problem akut mutu guru. Kualitas tenaga pendidik harus selalu ditingkatkan. Memang harus diakui, banyak guru dengan gaji pas-pasan tetap memberikan dedikasi yang tinggi. Namun, semangat saja tentu tidaklah cukup. Karena itu, sistem yang mempersiapkan guru juga harus ditinjau ulang oleh pemerintah.

Menjadi seorang guru tidaklah cukup mempunyai intelektualitas belaka, namun harus mempunyai kemampuan untuk memproses pembelajaran dalam kelas. Saat ini guru cenderung mengikuti metodologi yang hanya memungkinkan anak berpikir konvergen dan tidak divergen. Karena itu, lembaga pendidikan yang mencetak guru harus diwaspadai.

Jangan sampai mereka mencetak guru yang tidak memenuhi standar. Guru yang sejati haruslah mampu menyeimbangkan cara berpikir sistematik dan cara berpikir kreatif. Kita prihatin sekali ada oknum guru yang mendidik tanpa cinta. Dengan kekerasan, bahkan guru melecehkan muridnya. Hal itu sangat mencemari citra seluruh guru.

Karena itu, hentikan praktik pembelian posisi guru dan gantikan dengan menciptakan suatu ujian praktik dan proses sertifikasi untuk para guru di tingkat nasional, kemudian kemukakan secara terbuka proses pendaftaran serta seleksinya.

Catatan ketiga adalah pada sisi manajemen pendidikan. Ada beberapa hal penting yang harus dibenahi bersama. Misalnya, faktor moralitas pengelola institusi pendidikan.

Perbaikan itu tentu saja dimulai dari tingkat teratas sampai level terbawah. Terutama tingkat keamanahan seorang pendidik. Jangan sampai seorang yang tidak mempunyai kapasistas sebagai manajer (baca : pimpinan) lembaga pendidikan harus diserahi tugas yang berat itu. Sistem pendidikan kita juga tidak boleh lagi memmunculkan manajer pendidikan yang berorientasi bisnis. Mereka yang menyalahgunakan wewenangnya untuk sebuah proyek memperkaya diri sendiri. Tentu pemerintah harus mendukung pendanaan sehingga pendidikan mura itu bukan lagi sekadar slogan.

Kita memang masih harus bersabar karena pemenuhan 20 persen anggaran APBN untuk pendidikan barus bisa tercapai tahun 2009. Tapi, dalam proses menjuju ke sana, kita tidak boleh memeras keuangan peserta didik. Tidak benar kalau pendidikan yang baik hanya bisa dinikmati oleh mereka yang kaya. Mereka yang mempunyai keterbatasan ekonomi juga harus diberi akses menikmati setiap proses pendidikan.

Catatan yang keempat, harus diakui Indonesia adalah negara yang luas. Perkembangan kualitas pendidikan di tiap daerah berbeda-beda. Pengeluaran pemerintahan daerah saat ini mencapai sekitar dua pertiga dari total pengeluaran pendidikan. Secara keseluruhan, dana yang tersedia sebelumnya mencukupi, di mana pengeluaran pemerintahan pusat ditambah dengan pengeluaran pemerintah daerah mencapai hampir tiga persen GDP.

Tetapi, ada sejumlah kabupaten yang tidak memiliki sumber daya yang cukup untuk memenuhi kebutuhan pendidikan mereka. Hal ini berdampak pada timpangnya pengeluaran per murid. Pemerintah pusat harus memberikan lebih banyak sumber daya untuk bidang pendidikan kepada pemerintah daerah melalui dana alokasi khusus ketimbang melalui proyek-proyek. Tentu saja disertai pengawasan dan mekanisme akuntabilitas yang tepat. Itulah yang dimaksud dengan pemerataan pendidikan yang tepat.

Ingat indikator keberhasilan pendidikan bukan hanya gedung sekolah yang luks atau megah. Bukan itu. Juga bukan hanya terletak pada beberapa orang anak didik kita yang menjadi juara olimpiade. Pendidikan yang merata tercipta ketika kualitas anak didik kita di pemda yang ekonominya tertinggal tersubsidi dengan baik sehingga menyamai kualitas pendidikan di daerah yang lebih maju.

Catatan kelima, proses pengembangan pendidikan di Indonesia belum didukung budaya penelitian yang kuat. Padahal, penelitian akan menentukan proses pengambilan sebuah kebijakan dan berujung pada pelaksanaan.

Inilah contohnya. Indonesia setiap tahun mencetak beribu-ribu lulusan sarjana. Namun, banyak di antara mereka yang tidak terpakai dalam dunia kerja. Kenapa? Sebab, tidak ditopang oleh data yang benar.

Jika ada survei yang membuktikan secara valid bahwa Indonesia sudah overload sarjana hukum, kenapa tidak diistirahatkan dulu fakultas hukum pada universitas-universitas kita. Kalua ada data valid yang menunjukkan bahwa Indonesia butuh ahli geologi dan pakar bencana alam untuk menafsirkan puluhan bencana secara rasional, mengapa tidak dibangun lebih banyak fakultas yang mendukung itu.

Yang keenam, dunia pendidikan kita tidak boleh dipisahkan dari ekonomi, politik, kebudayaan, dan pertanahan. Semua berhubungan. Salah besar kalau kita memandang problem negeri ini secara parsial. Ketika ada pertanyaan kenapa dunia pendidikan kita belum maju, jawabnya adalah karena dunia politik kita juga belum maju. Atau karena kebudayaan kita belum maju. Korupsi masih menjadi kelaziman. Jangan semata-mata mengambing-hitamkan pendidikan kita kalau dunia “lain” tidak mau melangkah bersama-sama.

Catatan ketujuh, pendidikan kita belum sepenuhnya berorientasi global. Pdahal, tantangan untuk go global itu sudah ada sejak reformasi dimulai. Membangun jaringan yang kuat dengan komunitas internasional harus segera dilakukan. Itu penting karena Indonesia mempunyai kebudayaan yang menarik untuk dipublikasikan secara luas. Biarkan masyarakat Barat belajar tentang kita secara utuh.

Terakhir, banyak mereka yang terdidik tapi tidak beradab. Tidak berbudaya. Siapa yang lebih berbudaya, seorang sarjana atau seorang warga Badui di pedalamam Banten? Saya mungkin akan menajwab orang Badui. Sebab, mereka lebih hormat kepada orang tuanya, taat kepada adat, dan komitmen terhadap nilai luhur tempat tinggalnya.

Apalah arti terdidik kalau memusuhi bangsa sendiri. Mengagung-agungkan bangsa lain secara berlebihan karena dirinya lulusan luar negeri. Terus terang, hal itu ironis dan memuakkan.

Mereka yang mahir dalam teori tapi tidak peka sosial juga useless. Sukses pendidikan adalah ketika apa yang dipelajari dalam ruang-ruang pembelajaran bermanfaat bagi masyarakatnya. Hal itu bisa dicapai dengan pembinaan secara integral unsur spiritual, emosional, dan intelektual.

Fajar baru tahun 2007 telah datang. Bagaimanapun, kita harus tetap optimistis. Bagaimana bangsa ini bisa lebih maju jika dibangun oleh mereka yang berjiwa kerdil. Optimisme diiringi dengan kerja keras pasti aka mewujudkan Indonesia madani yang kita cita-citakan bersama. Insya Allah.
*) Dr. H. Arief Rachman, MPd, Ketua Harian Komisi Nasional Indonesia untuk UNESCO (Sumber Harian Indo.pos– Sabtu, 06/01/2007).

0 Comments:

Post a Comment

<< Home