Tuesday, May 22, 2007

Kebangkitan Nasional dan Visi 2030

Oleh : I Basis Susilo *)

DUA bulan sebelum Hari Kebangki­tan Nasional tahun ini, Yayasan Forum Indonesia meluncurkan buku Kerangka Dasar Visi Indonesia 2030. Menurut buku ini, Indonesia 2030 berpenduduk 285 juta jiwa, produk domestik bruto (PDB) USD 5,1 triliun, jadi negara i n­dustri maju, masuk lima besar kekuatan ekonomi dunia, memiliki 30 perusa­haan dunia yang tercatat dalam 500 per­usahaan terbesar dunia, dan berpenda­patan USD 18 ribu per orang per tahun. Visi itu didasarkan pada asumsi per­tumbuhan ekonomi riil 7,62 persen, inflasi 4,95 persen, dan pertumbuhan penduduk 1,2 persen per tahun: Visi ter­sebut mensyaratkan: ekonomi berbasis keseimbangan pasar terbuka dengan dukungan birokrasi yang efektif.

Selain itu, ada pembangunan berbasis sumber days alam, manusia, modal, serta, teknologi yang berkualitas dan berke­lanjutan; dan perekonomian yang terin­tegrasi dengan kawasan sekitar dan global. Setiap bangsa memerlukan visi ke de-pan yang kuat sebagai dasar dan pe­tunjuk arah bergerak maju. Tanga dasar dan arah yang jelas, bangsa mudah ter­ombang-ambing oleh dinamika per­ubahan.
Kemajuan Tiongkok saat ini, misal­nya, didasari visi yang jelas untuk 2020, 2050, dan 2080, yang dibuat awal 1980-an, saat negeri itu masih miskin dan di­anggap terbelakang. Kemajuan Singa­pura pun didasari visi yang dibuat 1959 oleh Lee Kuan Yew yang mematok ne­geri pulau itu menyamai negara-negara Eropa Barat pada 1980. Tabun 1959, Singapura masih amat terbelakang se­hingga visi itu dianggap mimpi.

Konsolidasi dan Koreksi Diri

Untuk menggapai visi itu, diperlukan konsolidasi dan koreksi diri yang me­madai. Dengan konsolidasi diri, suatu bangsa memperkukuh komitmen bersa­ma, memperkukuh fundamen bersama, dan memperkuat kapasitas. Dengan koreksi diri, kesalahan, penyelewe­ngan, kerusakan bisa dideteksi secara diri untuk segera diperbaiki. Kita lihat contoh India, Jepang, dan Tiongkok.

Secara budaya, bahkan peradaban, India sudah mempunyai dasar yang amat kukuh karena terbentuk berabad­abad. Tetapi sebagai bangsa modem, sampai pengujung abad ke-20, India masih enggan membuka diri. Para pemimpinnya melihat kemajuan fisik Barat, tetapi tidak terpAau dan menim begitu saja karena khawatir kehilangan jati diri.
Namun, pelan tetapi pasty, bangsa itu memperkuat kapasitas industri dan membangun komitmen dengan demok­rasi supaya lebih siap saat menghadapi globalisasi. Mekanisme koreksi diri bekerja secara memadai karena bangsa itu sejak merdeka sepakat menjalankan sistem demokrasi. Jepang melakukan konsolidasi diri selama 250 tahun sebelum Restorasi Meiji pada awal 1860-an. Selama 250 tahun itu ia menata diri melalui konflik, persaingan, bahkan perang, komu­nikasi, membangun kejepangan, untuk mencapai keseimbangan yang mantap sebagai bangsa.

Dengan itu, ia bisa bersepakat tentang hal-hal mendasar dan arah tujuan ber­sama yang dituju bangsanya. Pengala­man kalah pada Perang Dunia II tak mampu menghancurkan bangunan da­sar dirinya. Walau Tiongkok punya peradaban be­sar, dalam era modem ia mengalami proses konsolidasi dahsyat. Di akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, Tiongkok dijadikan bulan-bulanan bangsa-bangsa Barat dan Jepang. Pera­saan terhina dan dihina sedemikian itu
rikan pelajaran berhargabaginya untuk membangun jati diri yang kuat. Setelah Perang Dunia II, Tiongkok mulai melakukan konsolidasi dan ko­reksi diri secara keras oleh Mao Tse-tung dengan Revolusi Kebudayaannya. Revolusi itu menyebabkan kemero­sotan ekonomi, tapi keuntungan soft goods berupa kepercayan diri clan hati­hati terhadap kekuatan asing tidak bisa dipungkiri, bahkan oleh Deng Xiao­ping sekalipun. Selanjutnya, Deng melakukan koreksi diri Tiongkok dengan empat moder­nisasinya pada akhir 1970-an. Salah satu koreksi total adalah sistem pendidikan.

Bagaimana Kita?

Sudan cukupkah konsolidasi diri clan koreksi diri bangsa kita? Dibandingkan dengan Jepang, India, dan Tiongkok, bangsa kita memang tidak punya kesempatan cukup untuk konsolidasi dan koreksi diri. Tetapi jika dibandingkan dengan Malaysia, bangsa kita punya sejarah clan pengalaman berkonsolidasi dan koreksi diri yang lebih memadai. Na­mun, nyatanya kita merasakan kini ke­majuan Malaysia tampaknya bisa lebih solid dibandingkan dengan kita.

Sejak 1908, melalui perjuangan ide, fisik, diskusi, dan konflik internal, bangsa kita sudah mempunyai fondasi yang culcup, memadai. Tonggak-tonggak sejarah menunjukkan kesepakatan nasional. Ada lima tujuan bernegara: merdeka, berdaulat, bersatu, add, dan makmur. Ada Sumpah Pemuda. Ada Pancasila. Ada UUD 1945. Ada NKRI. Ada Bendera Merah Putih. Ada Bahasa Indonesia. Ada Tritura. Ada Reformasi. Ada Rupiah. Dan sebagainya. Tetapi, kesepakatan-kesepakatan itu oleh beberapa pihak masih dianggap lonjong, tidak bulat, sehingga masih ada upaya-upaya untuk mengingkari kesepakatan-kesepakatan nasional tersebut.

Misalnya, soal dasar negara kita, masih saja ada yang mempersoalkan dan mencoba mengubahnya. Akibat­nya, terus-menerus kita menguras ener­gy bangsa kita untuk hal-hal yang sudah seharusnya tidak kita persoalkan lagi. Mekanisme koreksi diri pun sudah dilakukan dengan berbagai cara. Tetapi akhir-akhir ini kita terjebak untuk lebih asyik ber-guyon ria secara cengenges an untuk membahas soal-soal penting bagi bangsa kita. Kesalahan dan penye­lewengan cenderung kita jadikan sa­saran bulan-bulanan humor semata ke­timbang sebagai soal series yang harus diatasi bersama.

Padahal, untuk bisa mewujudkan Visi Indonesia 2030, diperlukan konsoli­dasi dan koreksi diri yang memadai se­hingga guncangan-guncangan yang di­sebabkan aksi kita untuk mewujudkan visi itu tidak akan merusak atau meng­hancurkan fondasi hidup kita dalam berbangsa dan bertanah air. Kita masih butuh proses konsolidasi dan koreksi diri. Misalnya, semua elite strategic bangsa kita menyepakati waktu khusus, misalnya satu jam da­lam sehari, untuk membahas soal-soal kebangsaan kita di man4 pun, terutama di dan melalui media massa.

Artinya, semua media massa mesti memprogramkan acara-acara berpers­pektif nasional. Ide ini mungkin tam­pak aneh di tengah liberalisasi, saat ini, tetapi untuk membangun landasan yang kukuh kebangsaan kita, sesuatu harus dilakukan sebelum terlalu terlambat.
* I Basis Susilo, dosen pada jurusan Hubungan Internasional FISIP Unair, saat ini juga dekan FISIP Unair. (Sumber Indopos – Sabtu, 19 Mei 2007)

0 Comments:

Post a Comment

<< Home