Kebangkitan Nasional dan Visi 2030
Oleh : I Basis Susilo *)
DUA bulan sebelum Hari Kebangkitan Nasional tahun ini, Yayasan Forum Indonesia meluncurkan buku Kerangka Dasar Visi Indonesia 2030. Menurut buku ini, Indonesia 2030 berpenduduk 285 juta jiwa, produk domestik bruto (PDB) USD 5,1 triliun, jadi negara i ndustri maju, masuk lima besar kekuatan ekonomi dunia, memiliki 30 perusahaan dunia yang tercatat dalam 500 perusahaan terbesar dunia, dan berpendapatan USD 18 ribu per orang per tahun. Visi itu didasarkan pada asumsi pertumbuhan ekonomi riil 7,62 persen, inflasi 4,95 persen, dan pertumbuhan penduduk 1,2 persen per tahun: Visi tersebut mensyaratkan: ekonomi berbasis keseimbangan pasar terbuka dengan dukungan birokrasi yang efektif.
Selain itu, ada pembangunan berbasis sumber days alam, manusia, modal, serta, teknologi yang berkualitas dan berkelanjutan; dan perekonomian yang terintegrasi dengan kawasan sekitar dan global. Setiap bangsa memerlukan visi ke de-pan yang kuat sebagai dasar dan petunjuk arah bergerak maju. Tanga dasar dan arah yang jelas, bangsa mudah terombang-ambing oleh dinamika perubahan.
Kemajuan Tiongkok saat ini, misalnya, didasari visi yang jelas untuk 2020, 2050, dan 2080, yang dibuat awal 1980-an, saat negeri itu masih miskin dan dianggap terbelakang. Kemajuan Singapura pun didasari visi yang dibuat 1959 oleh Lee Kuan Yew yang mematok negeri pulau itu menyamai negara-negara Eropa Barat pada 1980. Tabun 1959, Singapura masih amat terbelakang sehingga visi itu dianggap mimpi.
Konsolidasi dan Koreksi Diri
Untuk menggapai visi itu, diperlukan konsolidasi dan koreksi diri yang memadai. Dengan konsolidasi diri, suatu bangsa memperkukuh komitmen bersama, memperkukuh fundamen bersama, dan memperkuat kapasitas. Dengan koreksi diri, kesalahan, penyelewengan, kerusakan bisa dideteksi secara diri untuk segera diperbaiki. Kita lihat contoh India, Jepang, dan Tiongkok.
Secara budaya, bahkan peradaban, India sudah mempunyai dasar yang amat kukuh karena terbentuk berabadabad. Tetapi sebagai bangsa modem, sampai pengujung abad ke-20, India masih enggan membuka diri. Para pemimpinnya melihat kemajuan fisik Barat, tetapi tidak terpAau dan menim begitu saja karena khawatir kehilangan jati diri.
Namun, pelan tetapi pasty, bangsa itu memperkuat kapasitas industri dan membangun komitmen dengan demokrasi supaya lebih siap saat menghadapi globalisasi. Mekanisme koreksi diri bekerja secara memadai karena bangsa itu sejak merdeka sepakat menjalankan sistem demokrasi. Jepang melakukan konsolidasi diri selama 250 tahun sebelum Restorasi Meiji pada awal 1860-an. Selama 250 tahun itu ia menata diri melalui konflik, persaingan, bahkan perang, komunikasi, membangun kejepangan, untuk mencapai keseimbangan yang mantap sebagai bangsa.
Dengan itu, ia bisa bersepakat tentang hal-hal mendasar dan arah tujuan bersama yang dituju bangsanya. Pengalaman kalah pada Perang Dunia II tak mampu menghancurkan bangunan dasar dirinya. Walau Tiongkok punya peradaban besar, dalam era modem ia mengalami proses konsolidasi dahsyat. Di akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, Tiongkok dijadikan bulan-bulanan bangsa-bangsa Barat dan Jepang. Perasaan terhina dan dihina sedemikian itu
rikan pelajaran berhargabaginya untuk membangun jati diri yang kuat. Setelah Perang Dunia II, Tiongkok mulai melakukan konsolidasi dan koreksi diri secara keras oleh Mao Tse-tung dengan Revolusi Kebudayaannya. Revolusi itu menyebabkan kemerosotan ekonomi, tapi keuntungan soft goods berupa kepercayan diri clan hatihati terhadap kekuatan asing tidak bisa dipungkiri, bahkan oleh Deng Xiaoping sekalipun. Selanjutnya, Deng melakukan koreksi diri Tiongkok dengan empat modernisasinya pada akhir 1970-an. Salah satu koreksi total adalah sistem pendidikan.
Bagaimana Kita?
Sudan cukupkah konsolidasi diri clan koreksi diri bangsa kita? Dibandingkan dengan Jepang, India, dan Tiongkok, bangsa kita memang tidak punya kesempatan cukup untuk konsolidasi dan koreksi diri. Tetapi jika dibandingkan dengan Malaysia, bangsa kita punya sejarah clan pengalaman berkonsolidasi dan koreksi diri yang lebih memadai. Namun, nyatanya kita merasakan kini kemajuan Malaysia tampaknya bisa lebih solid dibandingkan dengan kita.
Sejak 1908, melalui perjuangan ide, fisik, diskusi, dan konflik internal, bangsa kita sudah mempunyai fondasi yang culcup, memadai. Tonggak-tonggak sejarah menunjukkan kesepakatan nasional. Ada lima tujuan bernegara: merdeka, berdaulat, bersatu, add, dan makmur. Ada Sumpah Pemuda. Ada Pancasila. Ada UUD 1945. Ada NKRI. Ada Bendera Merah Putih. Ada Bahasa Indonesia. Ada Tritura. Ada Reformasi. Ada Rupiah. Dan sebagainya. Tetapi, kesepakatan-kesepakatan itu oleh beberapa pihak masih dianggap lonjong, tidak bulat, sehingga masih ada upaya-upaya untuk mengingkari kesepakatan-kesepakatan nasional tersebut.
Misalnya, soal dasar negara kita, masih saja ada yang mempersoalkan dan mencoba mengubahnya. Akibatnya, terus-menerus kita menguras energy bangsa kita untuk hal-hal yang sudah seharusnya tidak kita persoalkan lagi. Mekanisme koreksi diri pun sudah dilakukan dengan berbagai cara. Tetapi akhir-akhir ini kita terjebak untuk lebih asyik ber-guyon ria secara cengenges an untuk membahas soal-soal penting bagi bangsa kita. Kesalahan dan penyelewengan cenderung kita jadikan sasaran bulan-bulanan humor semata ketimbang sebagai soal series yang harus diatasi bersama.
Padahal, untuk bisa mewujudkan Visi Indonesia 2030, diperlukan konsolidasi dan koreksi diri yang memadai sehingga guncangan-guncangan yang disebabkan aksi kita untuk mewujudkan visi itu tidak akan merusak atau menghancurkan fondasi hidup kita dalam berbangsa dan bertanah air. Kita masih butuh proses konsolidasi dan koreksi diri. Misalnya, semua elite strategic bangsa kita menyepakati waktu khusus, misalnya satu jam dalam sehari, untuk membahas soal-soal kebangsaan kita di man4 pun, terutama di dan melalui media massa.
Artinya, semua media massa mesti memprogramkan acara-acara berperspektif nasional. Ide ini mungkin tampak aneh di tengah liberalisasi, saat ini, tetapi untuk membangun landasan yang kukuh kebangsaan kita, sesuatu harus dilakukan sebelum terlalu terlambat.
* I Basis Susilo, dosen pada jurusan Hubungan Internasional FISIP Unair, saat ini juga dekan FISIP Unair. (Sumber Indopos – Sabtu, 19 Mei 2007)
0 Comments:
Post a Comment
<< Home