Sunday, December 31, 2006

Enterpreneur Pencipta Lapangan Kerja

Oleh : HM. Aksa Mahmud*)

Tidak dapat dipungkiri bahwa dewasa ini banyak sarjana lulusan perguruan tinggi yang belum mendapatkan pekerjaan. Akibatnya, banyak sarjana hanya sebagai pencipta pengangguran dibanding sebagai pencipta peluang kerja. Sehingga masalah kualitas SDM perguruan tinggi sangat penting untuk diperhatikan dan dicarikan solusinya.

Memperperhatikan kondisi yang cukup memprihatinkan tersebut, sudah selayaknya diperlukan perhatikan yang serius, baik dari pemerintah, pihak pengusaha, dan terutama perguruan tinggi sendiri sebagai lembaga penghasil sarjana tersebut. Jadi perguruan tinggi hanya berharap mendapatkan mahasiswa yang sebanyak-banyaknya, tanpa diimbangi dengan pemikiran dan tindakan nyata, mengenai bagaimana setelah mereka lulus nantinya.

Untuk mengatasi hal itu, perlu kirannya dilakukan langkah preventif untuk mengantisipasi banyaknya sarjana yang menganggur, utamanya dengan menanamkan serta membangun jiwa dan perilaku entrepreneur atau kewirausahaan sejak mereka menjadi mahasiswa. Dengan begitu, setelah lulus kelak diharapkan beberapa sarjana yang belum mendapatkan pekerjaan berpeluang menjadi sarjana yang mandiri, yaitu sarjana yang mampu menghadapi tantangan dunia kerja di masyarakat dan bahkan mapu menciptakan lapangan kerja.

Sekedar mengingatkan bahwa agama Islam mempunyai pandangan tegas terhadap pentingnya membangun jiwa dan perilaku wirausahawan ummat. Pertama, sesuai firman Allah dalam Surat Al-Insiqaq (84) ayat enam, yang berbunyi, “wahai manusia sesungguhnya engkau harus berusaha dan kerja keras (secara sungguh-sungguh dan tekun), menuju keridhaan Allah, maka pasti kamu akan menemui-Nya.“

Kedua, sesuai Sabda Rasullah SAW, yang mengatakan, „Berkerjalah untuk duniamu seakan-akan kamu akan hidup selamanya, dan bekerjalah untuk akhirat seakan kamu akan mati besok pagi,“

Secara umum dapat dipastikan bahwa kata wirausaha berasal dari „Wira“ yang berarti „Pahlawan“ dan „Swasta“ berarti „Partikelir“ atau dalam istilah asingnya „Enterpreneur“ yang berasal dari bahasa Perancis, yang berati „seorang yang berusaha“, atau „Pengusaha“. Oleh ahli ekonomi Prof. Schumpeter mendefinisikan pengusaha „sebagai seorang yang mampu menciptakan atau memberikan nilai tambah dengan mengombinasikan secara efisien dan efektif dari sumber daya ekonomi yang ada melalui kegiatan-kegiatan produksi, perdagangan dan pemasaran.“

Selanjutnya dapat dijelaskan tentang Karakteristik, Watak, Jiwa dan Ciri Wirausahawan, yakni :
Karakteristik Wirausahawan, menurut pakar bisnis McClelland, adalah seseorang yang mempunyai virus kepribadian yang menyebabkan seseorang selalu ingin berbuat lebih baik, dan terus maju, memiliki tujuan yang realistis dan siap mengambil risiko dengan perhitungan-perhitungan yang tepat.
Watak Wirausahawan, dapat meliputi banya aspek : Berwatak maju; Berpandangan positif, kreatif dan inovatif; Ulet, tekun, dan tidak lekas putus asa; Mempunyai komitment kuat dan kompetensi; Pandai bergaul dan setiakawan; Memelihara kepercayaan; Pribadi menyenangkan; Selalu meyakinkan diri sebelum bertindak; Sangat menghargai waktu; Tidak ragu terhadap saingan; Selalu bersyukur, beriman,berbuat baik dan jujur.
Jiwa dan Semangat Wirausahawan dapat meliputi; Percaya diri sendiri; Tahu apa mau dan cita-citanya; Rasa bertanggung jawab atas tugas dan kewajibannya; Berani mengambil resiko yang diperhitungkan; Selalu berinisiatif dan disiplin; Bertekad menyebar-luaskan segala kebaikan bagi masyarakat.

Ciri-ciri Wirausahawan dapat meliputi : Punya kemauan dan semangat tinggi; Mampu mengorganisasi pekerjaan dengan baik; Berorientasi masa depan; Terampil dalam mengambil keputusan; Mendasarkan tindakan pada usaha untuk memperoleh hasil atau pendapatan. Dalam praktiknya dapat dijelaskan beberapa uapaya yang dapat dilakukan dalam membangun dan membekali jiwa Enterpreneurship bagi mahasiswa Universitas Al-Zaytun Indonesia yang perlu dilakukan :

Pertama, membuat sebuah fondasi yang kokoh, dengan menanamkan serta mengembangkan jiwa enterpreneur para mahasiswa, dimulai dengan mengembangkan sikap jujur yang merupakan dasar untuk melakukan perbuatan positif lainnya, serta meningkatkan sikap disiplin terhadap waktu atau mematuhi peraturan yagn ada di kampus. Diharapkan, dengan fondasi dasar tersebut maka mereka akan berusaha dengan cara beretika, dapat membina daya kreativitas dan inovasi, yang memungkinkan mereka akan siap berasing secara sehat. Juga akan menanamkan keberanian dalam mengambil keputusan dan risiko yang mungkin timbul berdasarkan perhitungan yang matang, yang dilandasi oleh percaya diri.

Kedua, mengajarkan mata kuliah kewirausahaan yang aplikatif, di setiap jurusan akademik di kampus-kampus sehingga diharapkan dengan mendapatkan materi kewirausahaan tersebut, maka mahasiswa baik dari fakultas ilmu sosial maupun eksakta akan termotivasi serta mempunyai wawasan ilmu dan pengetahuan nyata yang cukup untuk bekal berwirausaha secara mandiri.

Ketiga, mengelompokkan mahasiswa melalui kelompok terbatas berupa lembaga swadaya mahasiswa yang bergerak di bidang kewirausahaan, yang berpotensi dan mempunyai karakter untuk menjadi wirausaha, serta mencoba mengembangkan bakat dan minat mreka, diantaranya melalui aktivitas yang berkaitan dengan praktek usaha/bisnis baik di lingkungan kampus atau di luar kampus, dengan berusaha memagangkan mereka pada perusahaan-perusahaan yang ada.

Keempat, perlunya dibentuk lembaga pengembangan wirausaha untuk mahasiswa di lingkungan kampus, karena dengan lembaga tersebut diharapkan bisa membantu mengembangkan potensi mahasiswa yang berjiwa wirausaha, sekaligus memantau perkembangan aktivitas dan praktik bisnis yang dilakukan oleh mahasiswa. Lewat lembaga ini, diharapkan bisa menjalin kerja sama dengan pihak perbankan, lembaga-lembaga terkait tertentu, seperti Depnakertrans, Depkop dan BUMN, dalam rangka mencari sumber permodalan untuk mahasiswa yang sudah mulai merintis usaha, serta upaya membantu jalur pemasaran dari produk dan jasa yang mereka hasilkan.

Kelima, memperkuat relasi antara kampus dengan asosiasi kewirausahaan semacam lembaga KADIN, HIPMI, INKINDO dan sebagainya. Karena dengan melibatkan kalangan asosiasi kewirausahaan tersebut, amak akan mempermudah transfer pengetahuan dari kalangan dunia usaha swasta dengan mahasiswa yang sedang belajar. Forum diskusi, workshop, seminar dan praktik bisnis dapat dijadikan tema sentral dalam membangun ciri mahasiswa yang berwawasan kewirausahaan.

Keenam, melakukan pembinaan dan pengawasan lebih lanjut, setelah mereka lulus kuliah dan memulai usaha/bisnis, sehingga bisnis yang dilakukan oleh alumninya bisa berkemabgan dengan baik, serta jalinan kerjasama antar alumni dan almamaternya bisa terbina dengan baik. Jadi apabila mereka menjadi pengusaha yang suskes diharapkan akan memberikan bantuan, baik moril maupun material terhadap mahasiswa dari perguruan tinggi almamaternya.

Kesimpulan. Diharapkan dengan keenam pendekatan tersebut, akan dapat menjadi jalan keluar dalam upaya mengurangi sarjana pengangguran nantinya. Sebab lulusan atau sarjana yang tidak terserap oleh dunia kerja diharapkan akan dapat menciptakan lapangan kerja baru sebagai wirausaha yang berlatar belakang pendidikan tinggi.

*) HM. Aksa Mahmud adalah Wakil Ketua MPR RI. Artikel ini disampaikan sebagai makalah di hadapan Keluarga Besar Universitas Al-Zaytun Indonesia pada acara Silahturahim Idul Fitri 1427H, tanggal 25 November 2006.
(Sumber Majalah Berita Indonesia – 28/ 2006)
Bacaan Selanjutnya!

Menebar Jurus Enterpreneur Sejati


Kuliah Umum : HM Aksa Mahmud di Kampus Al-Zaytun

Wakil Ketua MPR RI HM Aksa Mahmud menyebut, Syaykh Abdussalam Panji Gumilang, pimpinan Al-Zaytun sama seperti dirinya seorang enterpreneurship atau pengusaha sejati. Bahkan, menurut Aksa gurunya enterpreneurship ada di Al-Zaytun yaitu Syaykh Panji Gumilang.

Sebab, kata Aksa, prinsip dasar seorang pengusaha adalah mengusahakan sesuatu dari yang tidak ada menjadi ada, dari barang tidak ada menjadi ada, dari tidak punya uang menjadi punya uang, dari tidak dapat untung menjadi dapat untung, dan berbagai prinsip dasar lainnya.

Dalam kuliah umumnya,bertemakan “Membangun Jiwa dan Perilaku Kewirausahaan (Entrepreneurship) di Kalangan Mahasiswa Universitas Al-Zaytun Indonesia”, Sabtu, 25 November 2006 itu, Aksa Mahmud menekankan bahwa setiap pelajar dan mahasiswa sedini mungkin harus sudah mempunyai jiwa enterpreneurship. Prinsip dasar dari enterpreneur tidak lain adalah harus berlatih. Tidak ada orang yang pintar berenang tanpa turun ke air untukbelajar berenang. Atau, tidak ada orang yang pintar berusaha tanpa harus berusaha latihan untuk mencari uang.

Aksa bercerita bagaimana dalam sejarah perjalanan hidupnya sudah terlatih belajar sambil berusaha. Sejak SD ia sudah terbiasa menjual bonbon. Atau membeli ikan di pinggir pantai seharga Rp 10, lalu menjualnya ke kota seharga Rp 12.

Enterpreneur harus memilki jiwa keberanian, kejujuran, dan percaya diri. Ketika masyarakat di Kota Makassar masih naik angkot, sesuai kemampuan ekonomi rata-rata masyarakat, Aksa justru sudah berbisnis jasa taksi. Seorang guru besar ekonomi di kota Anging Mamiri ini sampai-sampai mengingatkan Aksa untuk bertidak hati-hati.

Tetapi karena keyakinan dan rasa percaya diri yang tinggi, bahwa yang dipikirkan Aksa adalah angkutan umum buat orang-orang yang memiliki uang banyak, dan mereka berasal dari kelas menengah ke atas, maka pilihan sebagai pionir di bisnis jasa taksi terbukti berhasil.

Aksa berkesimpulan, jika tidak memiliki keberanian dan kepercayaan diri jangan terjun menjadi enterpreneur. Wilayah ini adalah profesi yang bagaikan perang, tidak ada habis-habisnya. Pengusaha mulai bangun sudah harus memikirkan bagaiman memenangkan usaha, mulai tidur itu pula yang dipikirkan, bahkan saat mimpi di malam hari atau siang bolong sekalipun mimpinya adalah bagaimana memenangkan usaha. Seorang pengusaha barus berhenti berusaha setelah dipanggil ke liang lahat.

Studi Kasus Semen Bosowa

Penerapan prinsip dasar pengusaha yang demikian sudah Aksa Mahmud terapkan betul sejak awal menjadi pengusaha, termasuk tatkala mendirikan perusahaan semen bernama Semen Bosowa di tahun 1997. Saat itu hanya ada dua pengusaha nasional yang membangun industri semen. Tetapi Aksa berprinsip, kalau kedua orang itu bisa maka iapun pasti bisa pula.

Aksa lalu mengikuti semuah seminar mengenai industri semen termasuk di luar negeri. Di Singapura Aksa tertarik salah seorang pemakalah ekspert warganegara Swiss dan beragama muslim pula. Keduanya lalu berkenalan, berbicara, Aksa dengan terus terang mengutarakan niatnya hendak membangun industri semen di Sulawesi Selatan.

Ekspert asing itu tertarik membantu rupanya hanya karena rasa kasihan, begitu sedikitnya pengetahuan Aksa akan industri semen. “Karena Anda bercita-cita tinggi dan tidak punya pengetahuan,” kata ekspert itu memberi alasan mengapa rasa kasihannya timbul. “Saya bilang, itulah sebabnya saya pakai kau karena kau yang pintar dalam bidang itu. Jadi, kau lebih besar dari saya. Tapi saya harus lebih besar dari kau nanti,” kata Aksa.

Aksa berprinsip pengusaha harus lebih cerdasr dari orang pintar. Prinsip pengusaha memakai orang pintar dengan kecerdasannya, hingga kini masih berjalan dalam roda usaha Bosowa. Dalam bisnis Aksa selalu didampingi oleh profesional, sebab dalam manajemen perusahaan modern enterpreneur hanya menemukan (inventing) saja sifatnya, selanjutnya serahkan kepada profesional.

Aksa tak ragu menggaji ekspert asing tadi 15 ribu dollar AS sebulan, setara Rp 150 juta perbulan. Kemana-mana dia dibawa sebagai orang yang akan bertanggung-jawab mendirikan industri semen, termasuk menemui direksi sejumlah bank untuk memperoleh kepercayaan. Sempat timbul perbedaan pendapat, ekspert maunya mengerjakan proyek dari awal hingga selesai, dikerjakan oleh kontraktor asing, dan pemilik tinggal terima kunci saja saat selesai, atau biasa dikenal sebagai turn-key project.

Aksa sempat tak setuju sebab merasa bangsanya punya kemampuan membangun industri semen. Namun karena ada ketakutan profesionalnya itu pergi meninggalkan dirinya, yang bisa berakibat proyek bisa batal dan hancur, Aksa lalu mengalah, oke, setuju.

Terbuktilah pilihan profesional yang sistem turn-key project benar adanya. Delapan bulan setelah penanda-tanganan kontrak, pada pertengahan tahun 1997 resesi mulai menimpa Indonesia. Tetapi ekspert asing sebagai profesional dengan yakin malah mengatakan proyek semen milki Aksa hanya akan batal kalau dunia sudah kiamat.

“Begitu yakinnya dia dengan konsep profesional. Selam dunia belum kiamat proyek ini pasti selesai. Itulah yang membuat saya mengalah,” kata Aksa. Ketika resesi mencapai puncaknya, Semen Bosowa justru sudah mulai beroperasi pada tahun 1999.

Jalan Tol Bintaro

Kata Aksa, pengusaha juga harus tetap bisa melakukan transaksi kendati tidak ada pembeli, tidak ada barang, dan tidak ada uang. Kalau bicara uang, baru beli barang, berarti itu bukan pengusaha namannya. Yang hebat adalah, kalau pengusaha bisa beli barang tapi tidak punya uang. Modalnya adalah kepercayaan.

Dengan konsep demikian Aksa Mahmud di tahun 2005 berhasil memilki proyek Jalan Tol Bintaro Pondok Aren. Saat itu bank mau menjual 98% saham perusahaan pengelola jalan tol ruas Bintaro Pondok Aren. Dalam lelang, Aksa yang diwakili salah seorang anaknya menagjukan harga penawaran tertinggi. Ia yakin para penawar lain yang hadir bukanlah pemilki uang, mereka tak bisa memutuskan harga penawaran dalam waktu segera, karena itu pastilah ia menawa dari harga terendah dulu.

Berbeda denga Aksa yang langsung menawar pada harga tinggi, satu kali, dua kali, dan tiga kali harga penawaran sebesar Rp 300 milyar langsung diputus. Sebab tidak ada waktu bagi penawar lain untuk berdiskusi dengan owner-nya untuk menaikkan harga tawaran.

Ketika tiba waktunya untuk membayar, kecerdasan berikutnya yang dibutuhkan adalah bagaimana supaya uang orang yang dipakai untuk membeli saham tadi dibayar. Arus kas perusahaan dari pendapatan harian jalan tol jelas tiak sanggup untuk membayar hutang. Padahal prinsip lain pengusaha adalah, pintar meminjam harus lebih pintar lagi mengembalikannya demi untuk menjaga nama baik hingga tak sampai kehilangan kepercayaan.

Langkah jitu Aksa Mahmud selanjutnya adalah membeli salah sebuah perusahaan yang sudah listing di Bursa Efek Jakarta (BEJ), tentu dengan harga murah, disepakati sebesar Rp 12 milyar. Setelah dibeli, dan pemegang saham barunya yang dicatatkan adalah sebuah perusahaan pemilik dan pegelola jalan tol ruas Bintaro Pondok Aren, maka harga saham perusahaan listing ini sontak naik. Dari harga per lembar Rp 25 saat dibeli seharga Rp 12 milyar, melejit menjadi Rp 100 per lembar.

Modal perusahaan pun naik dari sebelumnya Rp 12 milyar menjadi Rp 1.5 trilyun. Dengan demikian, melepas 10% saja saham ke publik sudah dapat mengembalikan hutan. Berarti 90% untung sudah di tangan.

“Jadi, itulah permainan dalam dunia usaha. Enterpreneur itu sebenarnya adalah bagaimana bisa bermain denga situasi-situasi,” kata Aksa memberikan kiat jitu berusaha.

Pembangkit Listrik

Aksa masih memiliki pengalaman menari saat mendirikan pembangkit listrik. Tatkala mengikuti rombongan perjalanan Wakil Presiden Jusuf Kalla ke China, Aksa berkenalan dan mendekati salah seorang pengusaha China di sana.

Aksa bercerita ingin membangun proyek pembangkit tenaga listrik kapasitas 2 X 100 MW di Cirebon, Jawa Barat, izin sudah di tangan tetapi uang tak punya. Pengusaha negeri tirai bambu itu lalu bilang oke, dan bersedia datang ke Indonesia untuk berdiskusi.

Pembelian Bank Kesawan merupakan kisah sukses lain dari Aksa Mahmud sebagai enterpreneur sejati. Sama serpti saat mendirik Semen Bosowa, atau mendirikan pembangkit listrik di Cirebon, Aksa membeli Bank Kesawan tanpa memiliki uang kecuali negosiasikan bagaimana cara pembayarannya saja.

“Jadi, bagaimana cara memainkan kita beli barang ini, kemudian kita bisa memilki bank ini tanpa keluar uang, dan uang bank ini sendirilah yang kita pakai untuk membeli dirinya,” kata Aksa.

Ketika proses pembelian ditanda-tangani disepakati direktur utama dan direktur kredit yang baru nantinya haruslah orangnya Aksa Mahmud. Direktur sisanya boleh dipegang oleh orang lain.
(Sumber Majalah Berita Indonesia – 27/ 2006)
Bacaan Selanjutnya!

Pendidikan Budi Pekerti Kita

Oleh : Mochtar Buchori*)

Ketika saya masih di tweede inlandsche school (pribumi kelas dua, setara SD), pendidikan budi pekeri (singkatan resminya PBP) disampaikan melalui dongeng. Tiap dongeng di tutup dengan kata-kata “Liding dongeng…”, artinya inti cerita. Di sinilah moral cerita dirumuskan.

Pada pendudukan Jepang, saya murid sekoalh guru. PBP dierikan dalam bentuk indoktrinasi. Dan, di zaman reformasi, fungsi PBP diambil alih pendidikan agama, dilakukan melalui khotbah atau nasihat. Bagaimana PBP sebaiknya dilaksanakan dalam situasi bangsa serta krisis ini?

Inilah pertanyaan dasar Temu Warga Sekolah membicarakan PBP dan dihadiiri sekitar 80 guru. Bersama Dr Daoed Joesoef, saya diminta menjadi narasumber.

Cara Berbeda

Melalui pertemuan itu, amat diharap agar pendidikan budi pekerti dipikirkan guna mengatasi krisis bangsa. Pertemuan diharapkan membahas cara-cara menyelenggarakan PBP. Untuk itu saya menggunakan pendekatan “Pendidikan Budi Pekerti dalam Konteks Regenerasi Bangsa”.

Untuk itu, penyelenggaraan PBP selayaknya berbeda dari cara-cara konvensional. Alasannya, tujuan utama PBP konvensional adalah melahirkan individu yang saleh, bermoral, berbudi pekeri luhur, dan sebagainya. Sedangkan tujuan utama PBP untuk regenerasi bangsa adalah melahirkan generasi yang berwatak dan cakap.

Dengan kata lain, PHP konvensional mengacu moralitas individual, sedangkan PBP regenerasi bangsa mengacu moralitas kolektif. Ini perbedaan esensial, sebab kemelut bangsa ini lahir dari lemahnya moralitas kolektif. Menghadapi ketidakadilan di masyarakat, kebayakan dari kita bersikap mengambil jarak. Saya terkena atau tidak? Untuk apa ribut, kalau ketidakadilan tidak menyentuh saya? Sikap ini lahir dari kuatnya tradisi moralitas individual dan lemahnya moralitas kolektif di masyarakat. Antara dua jensi moralitas ini tidak ada keseimbangan dan ketersambungan.

Maka, berdasarkan perbedaan itu, PHP konvensional mengutamakan pembinaan kepribadian perorangan, tidak memerhatikan pembinaan kepribadian kelompok. Kepribadian bangsa adalah bentuk terakhir kepribadian masyarakat kita.

Perbedaan kedua antara PBP konvensional dan PBP untuk regenerasi bangsa terletak pada cara memaknai kata “moral”, “moralitas”, dan “pendidikan moral”. Dalam PBP konvensional, “pendidikan moral” terbatas pada kegiatan membimbing siswa mengenal norma-norma etika, tidak menyentuh pengamalan nilai-nilai itu. Dalam PBP untuk regenerasi bangsa konsep “moralitas” dan “pendidikan moral” diperdalam, tak hanya mengenal nilai-nilai, tetapi juga memahami, menghayati dan mengamalkannya.

Ada perbedaan asumsi pada dua jenis PBP ini. PBP konvensional berasumsi, mengenal nilai-nilai, otomatis akan mengantar anak ke pengamalan. PBP regenerasi bangsa berasumsi, antara mengenal nilai-nilai dan mengamalkan, ada jarak mental yang panjang penuh hambatan. Hambatan mental akan teratasi bila ada bimbingan dari pendidik.

Hanya PBP yang berusaha membimbing siswa menjalani proses mental yang panjang akan melahirkan generasi yang memilki moralitas kolektif dan kepribadian kelompok. PBP yang hanya mengandalkan khotbah, nasihat dan indoktrinasi tidak akan mampu melahirkan generasi yang memiliki moralitas kelompok dan watak bangsa.

Selain itu, PBP konvesional melupakan kenyataan, jika tak diangga realisme akan menghasilkan moralitas naif. Reinghold Niebuhr (1892-1971), mengingatkan, “Moralitay without ralism is naivite or worse, and realism without morality is cynicism or worse”.

Bagaimana sebaiknya PBP diselenggarakan agar melahirkan generasi dengan moralitas realistik? Meminjam ungkapan Lawrence Pintak, kolumnis AS, untuk membuat generasi mendatan menerima nilai-nilai pembaruan, “kita harus melibatkan mereka dalam penyelesaian persoalan, tidak menyalahkan mereka karena tidak meneruskan jejak generasi lampau. Kita harus berkomunikasi dengan mereka, idak mengkhotbahi mereka” (You must engage them, and not dermonize / You must communicate, and not preach).

Berdasarkan prinsip-prinsip ini, dapat dikatakan, PBP untuk regenerasi bangsa mengharuskan para guru berbagi keresahan dan harapan (sharing concerns and hopes) dengan murid, selain berbagi ketahuan dan ketidak-tahuan (sharing knowledge and ignorance).

Pelaksanaan

Temu Warga Sekolah, juga mengajukan dua pertanyaan, siapa yang harus melaksanakan PBP? Serta, haruskah ada mata ajar khusus untuk PBP?

Seharusnya, setiap guru berkewajiban melaksanakan PBP ini. PBP dapat dilaksanakan melalui pelajaran apa saja: Matematika, Bahasa dan Sastra, Sejarah, Pendidikan Jasmani, dan sebagainya. Dalam setiap mata ajar, ada seperangkat nilai yang jarang diungkapkan eksplisit. Dengan demikian, nilai-nilai itu tidak diketahui, tidak dipahami, dan tidak diamalkan oleh siswa. Kebiasaan tidak mengungkap secara eksplisit nilai-nilai dalam mata ajar ini timbul dari tradisi lama yang memisahkan pendidikan untuk mendapatkan pengetahuan (education for knowledge) dari pendidikan untuk mengenal dan memahami nilai-nilai (value education). Dari tradisi ini timbul semboyan knowledge is power dan kebiasaan mengutamakan penguasaan pengetahuan faktual (factual knowledge) dalam ujian. Dari praksis pendidikan seperti ini muncul generasi dengan perkembangan yang tidak imbang antara ketajaman otak dan kepekaan perasaan.

Berdasarkan pandangan ini, menurut saya, tak perlu ada mata ajar khusus budi pekerti. Yang diperlukan ialah, tiap guru melalui mata ajar yang diambil, eksplisit menjelaskan nilai-nilai yang ada dalam mata ajarnya. Petugas bimbingan dan penyuluhan membimbing siswa mendiskusikan segenap jenis nilai yang telah disentuh guru. Melalui diskusi mereka dituntun memahami makna nilai-nilai itu dalam kehidupan nyata. Melalui proses ini para siswa akan meyusun sendiri nilai (value system) mereka, baik sistem nilai pribadi maupun sistem nilai kelompok. Perlu diingat, dalam setiap bangsa yang mampu memperbarui diri, tiap generasi menyusun sendiri sistem nilai yang akan dianut selama suatu kurun waktu.

Bisakah gagasan PBP ini dilaksanakan? Tergantung kuat-lemahnya tekad kita memperbarui diri terutama dalam kehidupan politik dan kultural.
*) Mochtar Buchori, Pendidik, (Sumber Kompas - Kamis, 28/12/2006).
Bacaan Selanjutnya!

Tuesday, December 19, 2006

Perguruan Tinggi, Cermin Globalisasi

Oleh : Imam Cahyono *)

A revolution is coming in the field of lobal education” (Kishore Mahbubani). Globalisasi tak lagi sekedar teori, tetapi kenyataan yang kita hadapi sehari-hari.

Ia tidak melulu soal sepak terjang lembaga keuangan internasional (IFIs) atau korporasi multinasional (MNCs). Dalam era kemajuan pengetahuan dan teknologi, laju globalisasi bisa disimak pada kiprah perguruan tinggi. Kini universitas kian mengglobal. Selain menjadi ajang komptetisi ilmu pengetahuan, perguruan tinggi juga menjadi instrumen perdamaian, menyemai toleransi, saling memahami keragaman nilai, budaya dan tradisi.

Miniatur Globalisasi

Kini, hampir semua universitas mencari mahasiswa dari berbagai penjuru dunia. Presiden Yale University Richard Levin mencatat, jumlah mahasiswa yang meninggalkan kampung halaman untuk belajar ke luar negeri selama tiga dekade terakhir tumbuh rata-rata 3,9 persen pertahun, dari 800.000 orang (1975), menjadi 2,5 juta orang (2004).

Sedikitnya 30 persen mahasiswa perantauan mendapat gelar doktor dari AS dan 38 persen dari Inggris. Untuk program S1, 8 persen mahasiswa asing meraih gelar dari AS dan 10 persen dari Inggris. Di AS, 20 persen profesor baru di bidang ilmu eksakta dan teknik berasal adalah mahasiswa perantauan.

Universitas juga memberi kesempatan kepada mahasiswa untuk melawat ke negara lain. Tiap tahun, sedikitnya 140.000 mahasiswa dari Eropa mengikuti program pertukaran ke berbagai negara. Institusi pendidikan di AS berupaya menyiapkan mahasiswa untuk berkarier global dengan magang atau ikut pelatihan di negara lain. Kerja sama antar universitas, seperti program John Hopkins-Najing, Program Duke-Goethe dan aliansi MIT-Singapore merupakan bukti interkoneksi dunia.

AS berupaya menjaga reputasinya dengan menanamkan investasi dan mendukung riset universitas berbasis ilmu pengetahuan (iptek) terutama bidang kesehatan, pertanian, pertahanan, dan energi. AS pun konsisten memimpin dunia dalam komersialisasi teknologi baru seperti komputer, infrastruktur internet dan aplikasi perangkat lunak (software). Ini tak lepas dari kerja sama universitas dengan dunia industri seperti hadirnya lembah silikon ciptaan Stanford University dan Route 128 Boston, hasil kolaborasi industri dengan MIT dan Havard.

Menurut data bidang pendidikan Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) 2006, Perancis, Italia, Inggris, dan Jerman terus mengalami penurunan prestasi. Sebaliknya, seperti Finlandia, Swedia, dan Norwegia, menduduki peringkat terbaik dalam investasi pendidikan maupun performa.

Replikasi Barat

Selama beberapa dekade, hampir semua universitas terbaik Asia mengadopsi gaya universitas Amerika Utara baik metode pendidikan, sistem, maupun riset. Jepang sukses melakukan modernisasi melalui aplikasi pendidikan model Barat. Sejak Restorasi Meiji, kaum muda Jepang ke Barat untuk belajar di universitas terbaik dan mempraktikkan apa yang mereka dapat. Jepang konsisten mengalokasikan dana riset universitas, jumlahnya terus meningkat, mencapai 57 persen dari tahun 2000 hingga 2004.

Perubahan dahsyat juga dilakukan China yang terus mengembangkan universitas kelas dunia. Sejak Deng Xiaoping mengizinkan warganya belajar di Barat tahun 1978, China terus mengirimkan pelajar terbaik demi menempuh pendidikan terbaik, terutama program doktoral. Universitas dijadikan instrumen stimulasi pertumbuhan ekonomi. Investasi dalam bidang riset ilmiah amat mendukung kekuatan ekonomi nasional. Kemajuan teknologi memengaruhi kampus-kampus di China terutama Peking University dan Tsinghua University di Beijing, serta Fudan University dan Shanghai Jiatong University di Shanghai.

India tak ketinggalan. Ia mengadopsi model pendidikan Inggris, dengan membuka sekolah ala Barat. Kini, negara itu memiliki 1.350 kampus teknik, termasuk Indian Institute of Technology. Tiap tahun, kampus memproduksi 280.000 insinyur ahli informasi dan teknologi. India melaju sebagai raksasa ekonomi yang diperhitungkan dunia.

Revolusi dari Timur

Buaian kemapanan paradigma lama fotokopi pendidikan tinggi ala Barat mendapat kritik keras dari Kishore Mahbubani. Dekan Lee Kwan Yew School of Public Policy itu menegaskan, kepemimpinan Asia adalah hal yang tak terelakan. Asia telah tumbuh sebagai kekuatan raksasa yang terus melaju menyaingi AS dan Uni Eropa. Pendulum peradaban bergerak dan berkiblat ke Timur. Dunia dapat belajar dari peradaban China dan India, mulai dari sastra hingga filsafat, dari pengobatan tradisional hingga strategi berpikir. Menurut Mahbubani, agar tidak terus mengekor ke Barat, universitas di Asia harus terus berkreasi dan giat melakukan inovasi.

Lantas, bagaimana dengan Indonesia? Kampus paling prestisius di Indonesia selalu menduduki peringkat bawah universitas-universitas di Asia, alias anak bawang. Dengan Malaysia saja, universitas kita jauh tertinggal.

Kemajuan atau kemunduran perguruan tinggi bisa dijadikan cermin sejauh mana sebuah negara menghadapi kompetisi pada era globalisasi. Di sinilah intervensi negara amat diperlukan.
*) Imam Cahyono, Peneliti. (Sumber Harian Kompas - Selasa, 19 Desember 2006)

Bacaan Selanjutnya!