Saturday, January 13, 2007

Berhijrah Perilaku dan Pola Pikir

KH. Dr. Tarmizi Taher

Tahun baru Hijriyah merupakan era baru dakam sejarah Islam yang sangat menentukan bagi perjuangan, penyebaran, dan dakwah Islam. Di bulan Muharram itu, Nabi Muhammad SAW melakukan hijrah dari Makkah menuju Madinah (Yastrib) untuk mengubah tatanan kehidupan masyarakat dalam berbagai bidang.

Menurut Ketua Umum pimpinan Puast Dewan Masjid Indonesia (DMI) KH. Dr. Tarmizi Taher, secara historis, hijrah merupakan titik awal kebangkitan Islam; Islam mengalami kemajuan pesat. Semangat nilai yang dikandung dalam hijrah itu pula yang mendasari khalifah kedua, Umar bin Khattab (memerintah : 634-644 M/13-23H) menetapkan penaggalan baru Islam yang dikenal dengan tahun baru Hijriyah. Berikut ini kutipan wawancara dengan mantan Menteri Agama RI itu:

Bagaimana Nabi Muhammad membangun umat Islam itu melalui semangat hijrah?
Di Madinah, Nabi Muhammad melakukan reformasi dan membangun masyarakat madani yang lebih bermartabat, berkeadilan, dan terbuka. Pertama-tama Nabi membangun Konstitusi Madinah (Piagam Madinah) yang dijadikan sebagai dasar bermasyarakat dan bernegara.

Reformasi bidang apa saja yang dilakukan Nabi Muhammad?
Reformasi bidang politik, agama dan hukum. Nabi Muhammad memegang langsung tiga kekuasan negara : eksekutif, yudikatif dan legislatif (yang artinya Nabi Muhammad adalah kepala pemerintahan atau kepala negara, sekaligus beliau adalah sorang Rasulullah). Pada saat yang sama, negara mengakomodasi semua kepentingan masyarakat. Mereka tidak dibedakan berdasarkan suku, kelompok politik, maupun agama. Semua lapisan masyarakat duduk sama rendah, berdiri sama tinggi, sehingga ketiga lembaga itu berdiri secara kuat dan independen.

Dalam bidang agama, demi tegaknya civil society, ketika berdakwah – yang diarikulasikan secara rasional, arif dan bijak, penuh hikmah dan argumentatif – Nabi Muhammad semata-mata hanya bertujuan meningkatkan kualitas beragama, bukan untuk konversi penganut agama lain. Prinsip yang dikedepankan Nabi adalah prinsip kebebasan beragama bagi setiap individu (pasal 25-33, Konstitusi Madinah). Prinsip ini terefleksikan melalui pengakuan negara dalam melindungi kebebasan beribadah bagi umat beragama. Secara teologis, landasannya adalah : “Tidak ada paksaan dalam beragama“ (QS.2:256).

Dalam bidang hukum, prinsip Islam adalah menjadikan nilai keadilan di atas segalanya. Jadi, masyarakat madani adalah masyakarat yang tak berkelas (aclassless society). Artinya, hukum tidak membedakan antara the have dan the have not, semua memperoleh keadilan hukum. Sikap dan kebijakan Nabi Muhamad sebagai kepala negara dan masyarakat sekaligus mengakui persamaan hak setiap warga negara, tanpa pandang bulu. (Pasal 34,40 dan 46, Konstitusi Madinah).

Dalam konteks kekinian, bagaimana aplikasi hijrah bagi kaum muslim?
Sebagai salah satu konsep penting dalam Islam, hijrah dalam konteks kekinian bukan lagi sekadar berpindah tempat, melainkan menuju perubahan, perjuangan, dan menyampaikan visi Islam. Karena itu, hijrah yang harus dilakukan kaum Muslim saat ini bukan lagi hijrah secara fisik, tetapi lebih pada perilaku. Misalnya, ikut berpartisipasi memberikan solusi terhadap berbagai masalah yang datang silih berganti yang tengah dihadapi bangsa ini.

Dalam kaitan hidup keberagaman yang harmonis, bagaimana penerapan makna hijriyah pada masyarakat Muslim Indonesia?
Dahulu Nabi hijrah untuk menciptakan peradaban yang lebih baik dan membentuk masyarakat Madani yang berperilaku terpuji serta menjunjung tinggi toleransi beragama. Ketika itu, selain umat Muslim, penganut agama lain juga hidup berdampingan di Madinah, penganut agama lain juga hidup berdampingan di Madinah. Kemajemukan dan keharmonisan itu yang tampaknya serupa dengan kehidupan masyarakat Indonesia. Perdamaian dalam masyarakat yang majemuk seperti itu patut kita teladani dari makna hijrah Nabi.

Kita harus kembali kepada komitmen ajaran agama masing-masing. Umat Islam kembali kepada ajaran Islam yang rahmatal lil alamin. Oleh karena itu, ajaran Islam harus benar-benar diimplementasikan dalam kehidupan bermasyarakat.

Artinya, kita mesti hijrah dalam hal pola pikir?
Tentu. Hijrah dalam hal perbuatan harus dimulai dengan hijrah dalam hal pola pikir. (dari kufur/ingkar menjadi beriman). Yang tak kalah penting, hijrah yang harus dilakukan oleh umat Islam di Indonesia adalah hijrah untuk memperbaiki mutu pendidikan. Sebab, sistem pendidikan yang harus dikembangkan umat Islam adalah sistem pendidikan yang tidak hanya menekankan pada kemampuan Iptek saja, tetapi juga tidak mengenyampingkan kemampuan iman dan takwa (imtak) anak didik. Jauhkan generasi kita dari sistem pendidikan yang sekuler.
(Sumber Indo.pos – Jum’at,12/01/ 2007)

Artikel terkait :
- Momentum Membangkitkan Semangat Islam
- Sistem pendidikan satu pipa

Bacaan Selanjutnya!

Thursday, January 11, 2007

Delapan Catatan Kritis Pendidikan

Oleh : Dr. H.Arief Rachman, MPd *)

Menutup tahun 2006 yang telah berlalu, kita bersyukur karena pemerintah mempunyai komitmen kuat untuk menyejahterakan dunia pendidikan. Menurut Dr. H. Arief Rachman MPd, Ketua Harian Komisi Nasional Indonesia untuk UNESCO, hal itu patut diapresiasikan.

PEMERINTAH merujuk pada UU No.20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional untuk berkomitmen memajukan pendidikan. Meski demikian, sebagai seorang pendidik, ada delapan hal yang harus dikritisi. Harapannya, catatan ini mampu menjadi refelksi yang jernih untuk melangkah dengan lebih baik.

Catatan yang pertama, hingga saat ini, dunia pendidikan di Indonesia ternyata belum memunculkan sikap kritis. Dalam praktiknya, evaluasi akhir dari keberhasilan seorang anak didik baru pada tingkat kognitif. Sama sekali belum mencantumkan ranah afektif dan psikomotorik. Padahal, dua ranah itu sama pentingnya sebagai indikator keberhasilan pendidikan.

Selain itu, penetapan standar kelulusan yang dipancung dalam indikator kelulusan minimal angka terendah yang sama untuk seluruh Indonesia sangat tidak tepat. Hal itu justru menunjukkan sikap tidak konsisten terhadap aplikasi undang-undang pendidikan.

Catatan yang kedua, kita mempunyai problem akut mutu guru. Kualitas tenaga pendidik harus selalu ditingkatkan. Memang harus diakui, banyak guru dengan gaji pas-pasan tetap memberikan dedikasi yang tinggi. Namun, semangat saja tentu tidaklah cukup. Karena itu, sistem yang mempersiapkan guru juga harus ditinjau ulang oleh pemerintah.

Menjadi seorang guru tidaklah cukup mempunyai intelektualitas belaka, namun harus mempunyai kemampuan untuk memproses pembelajaran dalam kelas. Saat ini guru cenderung mengikuti metodologi yang hanya memungkinkan anak berpikir konvergen dan tidak divergen. Karena itu, lembaga pendidikan yang mencetak guru harus diwaspadai.

Jangan sampai mereka mencetak guru yang tidak memenuhi standar. Guru yang sejati haruslah mampu menyeimbangkan cara berpikir sistematik dan cara berpikir kreatif. Kita prihatin sekali ada oknum guru yang mendidik tanpa cinta. Dengan kekerasan, bahkan guru melecehkan muridnya. Hal itu sangat mencemari citra seluruh guru.

Karena itu, hentikan praktik pembelian posisi guru dan gantikan dengan menciptakan suatu ujian praktik dan proses sertifikasi untuk para guru di tingkat nasional, kemudian kemukakan secara terbuka proses pendaftaran serta seleksinya.

Catatan ketiga adalah pada sisi manajemen pendidikan. Ada beberapa hal penting yang harus dibenahi bersama. Misalnya, faktor moralitas pengelola institusi pendidikan.

Perbaikan itu tentu saja dimulai dari tingkat teratas sampai level terbawah. Terutama tingkat keamanahan seorang pendidik. Jangan sampai seorang yang tidak mempunyai kapasistas sebagai manajer (baca : pimpinan) lembaga pendidikan harus diserahi tugas yang berat itu. Sistem pendidikan kita juga tidak boleh lagi memmunculkan manajer pendidikan yang berorientasi bisnis. Mereka yang menyalahgunakan wewenangnya untuk sebuah proyek memperkaya diri sendiri. Tentu pemerintah harus mendukung pendanaan sehingga pendidikan mura itu bukan lagi sekadar slogan.

Kita memang masih harus bersabar karena pemenuhan 20 persen anggaran APBN untuk pendidikan barus bisa tercapai tahun 2009. Tapi, dalam proses menjuju ke sana, kita tidak boleh memeras keuangan peserta didik. Tidak benar kalau pendidikan yang baik hanya bisa dinikmati oleh mereka yang kaya. Mereka yang mempunyai keterbatasan ekonomi juga harus diberi akses menikmati setiap proses pendidikan.

Catatan yang keempat, harus diakui Indonesia adalah negara yang luas. Perkembangan kualitas pendidikan di tiap daerah berbeda-beda. Pengeluaran pemerintahan daerah saat ini mencapai sekitar dua pertiga dari total pengeluaran pendidikan. Secara keseluruhan, dana yang tersedia sebelumnya mencukupi, di mana pengeluaran pemerintahan pusat ditambah dengan pengeluaran pemerintah daerah mencapai hampir tiga persen GDP.

Tetapi, ada sejumlah kabupaten yang tidak memiliki sumber daya yang cukup untuk memenuhi kebutuhan pendidikan mereka. Hal ini berdampak pada timpangnya pengeluaran per murid. Pemerintah pusat harus memberikan lebih banyak sumber daya untuk bidang pendidikan kepada pemerintah daerah melalui dana alokasi khusus ketimbang melalui proyek-proyek. Tentu saja disertai pengawasan dan mekanisme akuntabilitas yang tepat. Itulah yang dimaksud dengan pemerataan pendidikan yang tepat.

Ingat indikator keberhasilan pendidikan bukan hanya gedung sekolah yang luks atau megah. Bukan itu. Juga bukan hanya terletak pada beberapa orang anak didik kita yang menjadi juara olimpiade. Pendidikan yang merata tercipta ketika kualitas anak didik kita di pemda yang ekonominya tertinggal tersubsidi dengan baik sehingga menyamai kualitas pendidikan di daerah yang lebih maju.

Catatan kelima, proses pengembangan pendidikan di Indonesia belum didukung budaya penelitian yang kuat. Padahal, penelitian akan menentukan proses pengambilan sebuah kebijakan dan berujung pada pelaksanaan.

Inilah contohnya. Indonesia setiap tahun mencetak beribu-ribu lulusan sarjana. Namun, banyak di antara mereka yang tidak terpakai dalam dunia kerja. Kenapa? Sebab, tidak ditopang oleh data yang benar.

Jika ada survei yang membuktikan secara valid bahwa Indonesia sudah overload sarjana hukum, kenapa tidak diistirahatkan dulu fakultas hukum pada universitas-universitas kita. Kalua ada data valid yang menunjukkan bahwa Indonesia butuh ahli geologi dan pakar bencana alam untuk menafsirkan puluhan bencana secara rasional, mengapa tidak dibangun lebih banyak fakultas yang mendukung itu.

Yang keenam, dunia pendidikan kita tidak boleh dipisahkan dari ekonomi, politik, kebudayaan, dan pertanahan. Semua berhubungan. Salah besar kalau kita memandang problem negeri ini secara parsial. Ketika ada pertanyaan kenapa dunia pendidikan kita belum maju, jawabnya adalah karena dunia politik kita juga belum maju. Atau karena kebudayaan kita belum maju. Korupsi masih menjadi kelaziman. Jangan semata-mata mengambing-hitamkan pendidikan kita kalau dunia “lain” tidak mau melangkah bersama-sama.

Catatan ketujuh, pendidikan kita belum sepenuhnya berorientasi global. Pdahal, tantangan untuk go global itu sudah ada sejak reformasi dimulai. Membangun jaringan yang kuat dengan komunitas internasional harus segera dilakukan. Itu penting karena Indonesia mempunyai kebudayaan yang menarik untuk dipublikasikan secara luas. Biarkan masyarakat Barat belajar tentang kita secara utuh.

Terakhir, banyak mereka yang terdidik tapi tidak beradab. Tidak berbudaya. Siapa yang lebih berbudaya, seorang sarjana atau seorang warga Badui di pedalamam Banten? Saya mungkin akan menajwab orang Badui. Sebab, mereka lebih hormat kepada orang tuanya, taat kepada adat, dan komitmen terhadap nilai luhur tempat tinggalnya.

Apalah arti terdidik kalau memusuhi bangsa sendiri. Mengagung-agungkan bangsa lain secara berlebihan karena dirinya lulusan luar negeri. Terus terang, hal itu ironis dan memuakkan.

Mereka yang mahir dalam teori tapi tidak peka sosial juga useless. Sukses pendidikan adalah ketika apa yang dipelajari dalam ruang-ruang pembelajaran bermanfaat bagi masyarakatnya. Hal itu bisa dicapai dengan pembinaan secara integral unsur spiritual, emosional, dan intelektual.

Fajar baru tahun 2007 telah datang. Bagaimanapun, kita harus tetap optimistis. Bagaimana bangsa ini bisa lebih maju jika dibangun oleh mereka yang berjiwa kerdil. Optimisme diiringi dengan kerja keras pasti aka mewujudkan Indonesia madani yang kita cita-citakan bersama. Insya Allah.
*) Dr. H. Arief Rachman, MPd, Ketua Harian Komisi Nasional Indonesia untuk UNESCO (Sumber Harian Indo.pos– Sabtu, 06/01/2007).
Bacaan Selanjutnya!

Menghargai Tenaga Pendidik Berprestasi

Oleh : Eti Herwati, Mpd*)

Perkembangan dan perubahan yang cepat dalam sistem politik di tanah air yang berdampak pada reformasi di berbagai bidang membawa dampak terhadap dinamika di bidang sosial, budaya dan politik termasuk bidang pendidikan.

Pembangunan bidang pendidikan harus menyesuaikan dengan dinamika tersebut agar tetap aktual dan dapat diterma oleh masyarakat. Salah satu bentuk penyesuaian itu adalah penghargaan bagi guru/tenaga kependidikan yang mempunyai prestasi dan atau dedikasi yang luar biasa sehingga dapat meningkatkan mutu pendidikan.

Penghargaan tersebut merupakan salah satu wujud rasa terima kasih pemerintah kepada guru yang mempunyai prestasi dan atau dedikasi yang luar biasa. Pemberian penghargaan tersebut diharapkan dapat memacu guru/tenaga kependidikan untuk selalu meningkatkan prestasi dan dedikasinya, karena keragaman geografis, situasi dan kondisi tanah air menuntut guru selalu mempunyai sifat inovatif dan dedikasi yang tinggi dalam pelaksanaan tugasnya.

Untuk menjamin ketepatan dan kesesuaian dengan latar belakang dan tujuannya, maka pemberian penghargaan bagi guru (tanaga kependidikan) diselenggarakan dengan asas-asas sebagai berikut :

Pertama, Asas Pengganjaran, bahwa guru dalam pengabdiannya tidak meminta dihargai atau ganjaran, anmun jasa profesionalitasnya yang bersifat kemanusiaan disertai kemampuan dan kesetiaannya menanamkan rasa persatuan dan kesatuan sebagai bangsa Indonesia pada peserta didik memang layak diberikan ganjaran.

Kedua, Asas Keadilan, bahwa penghargaan pada guru harus bebas dari kepentingan kelompok atau golongan berdasarkan suku, agama, ras, daerah, politik dan lain-lain, tetapi sepenuhnya didasrkan atas pertimbangan keadilan berdasarkan prestasi, pengabdian, dedikasi dan loyalitasnya dalam mewujudkan proses pembelajaran yang berkualitas.

Ketiga, Asas Akuntabilitas, bahwa penghargaan harus didasarkan pada hasil penilaian terbuka, objektif dan jujur, dengan mengikutsertakan semua yang berkepentingan (stakeholders) pada proses dan hasil pembelajaran di sekolah dalam rangka mempersiapkan sumber daya manusia yang memilki kemampuan meningkatkan kesejahteraan hidup perseorangan , keluarga dan masyarakat.

Keempat, Asas Arus Bawah (buttom up), bahwa pemberian penghargaan harus didasari oleh kepercayaan pada kemampuan melakukan penilaian secara ojektif oleh aparat di lapangan termasuk pihak yang berkepentingan (stakeholders), yang langsung dapat mengamati dan mengikuti kegiatan guru dalam melaksanakan profesinya di sekolah dan pengabdiannya di masyarakat.

Kelima, Asas Motivasi dan Promosi, bahwa pemberian penghargaan harus difokuskan pada aspek-aspek yang berhubungan dengan pekerjaan guru sebagai suatu profesi/prestasi, kinerja, pengabdian, kesetiaan, disiplin, dedikasi dan loyalitas, agar berfungsi untuk meningkatkan motivasi kerja, dan berpengaruh pada pengembangan karir guru.

Keenam, Asas Keseimbangan, bahwa pemberian penghargaan harus seimbang dalam arti tidak hanya meberikan peluang yang tinggi bagi guru-guru yang bekerja di perkotaan yang dekat dengan pusat-pusat pendidikan tinggi sehingga selalu terbuka kesempatan meningkatkan kemampuan profesionalitasnya, dan mengabaikan guru-guru di desa-desa.

Ketujuh, Asas Demokrasi, bahwa pemberian penghargaan harus memberikan peluang yang sama pada semua guru untuk berkompetisi dalam untuk berkompetisi dalam suasana kebebasan dalam mengimplementasikan profesionalitasnya, melalui kreativitas, inisiatif, prakarsa dan kepeloporan dalam bekerja, sepanjang tidak merugikan kepentingan peserta didik, masyarakat bangsa dan negara.

Penghargaan yang diberikan kepada guru berprestasi dalam bentuk antara lain, (1), Pemberian medali dan piagam/sertifikat, (2) Hadiah berupa uang atau cendera mata, (3) Tugas belajar, izin belajar atau pendidikan dan latihan yang bersifat peningkatan kualitas, (4) Mengikuti seminar, studi banding, pendidikan dan pelatihan/penataran atau yang sejenis dalam rangka penyegaran atau peningkatan kemampuan profesi, (5) Beasiswa.
*) Eti Herawati, Mpd, Guru matematika SMP Negeri 1, Karang Ampel, Indramayu, Jawa Barat (Sumber Pikiran Rakyat – Sabtu, 21/10/2006).
Bacaan Selanjutnya!